Jenderal TNI A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, menerima telepon dari Mayor Jenderal TNI Ibrahim Adjie, Panglima Divisi Siliwangi, yang melaporkan bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, imam DI/TII, terlah ditangkap.
Besoknya, Nasution terbang ke Bandung. Dia bersama Ibrahim Adjie pergi ke Cipanas untuk menyaksikan dan mendengar laporan peristiwa penangkapan Kartosoewirjo.
"Saya mendengar laporan terperinci," kata Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5. Termasuk laporan tentang Kartosoewirjo yang pernah hampir tertangkap.
"Pernah satu patroli kita membersihkan suatu vak (bidang) di mana dia (Kartosoewirjo, red.) berada. Dia bersembunyi di mana satuan TNI berhenti di tempat itu. Walaupun lama di situ, dia dapat tetap di sudut persembunyian tanpa bergerak sedikit pun," kata Nasution.
Nasution tidak menyebut dan menceritakan lebih lanjut kesatuan TNI yang hampir menangkap Kartosoewirjo itu. Namun, Letjen TNI (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo mengaku nyaris menangkap Kartosoewirjo.
"Memang cara kita menghadapi DI dengan cara menggerakkan patroli terus-menerus secara sistematis," kata Sayidiman dalam otobiografinya, Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI.
Baca juga: Akhir Hidup SM Kartosoewirjo, Imam Negara Islam Indonesia
Pada 1950-1951, Sayidiman menjadi komandan Kompi 2 Batalion 303 Divisi Siliwangi. Dia dan pasukannya ditempatkan di daerah Tawangbanteng yang terletak di sebelah barat Tasikmalaya di kaki Gunung Galunggung. Mereka bermalam selama tiga malam di kawah Galunggung yang saat itu tidak dipenuhi air.
Kompi 2 tengah mengikuti operasi umum yang direncanakan dan dikendalikan Brigade A atau Brigade XII di bawah Letnan Kolonel Rukman yang bertanggung jawab atas wilayah Priangan Timur.
Kompi 2 ditugaskan untuk mencegat pasukan DI yang mundur dari daerah Sukajadi, Singaparna, karena diserang oleh kompi batalion lain.
"Waktu itu kompi saya hampir mendapat Kartosoewirjo dan rombongannya," kata Sayidiman.
Rombongan Kartosoewirjo terpergok Kompi 2 di atas Galunggung. Tidak ada jalan untuk menghindar. Mereka tidak mau menyerah dan memilih terjun ke jurang di kanan dan kiri jalan. Kompi 2 berusaha mengejar mereka tapi terkendala gelapnya hutan dan turunnya hujan.
"Maka, kita hanya mendapatkan beberapa tawanan dan korban yang mati. Kita juga dapatkan mesin tik dan buku-buku yang menunjukkan bahwa itu rombongan Kartosoewirjo," kata Sayidiman.
Sayidiman yakin itu rombongan Kartosoewirjo karena salah satu buku berbahasa Belanda berjudul Religie van den Islam (1938) karangan Soedewo, ditandatangani Kartosoewirjo di halaman pertama. Buku itu terjemahan dari The Religion of Islam (1935) karya Maulana Muhammad Ali, pemimpin gerakan Ahmadiyah Lahore.
"Juga ada kitab suci Al-Qur’an dengan tanda tangan Kartosoewirjo," kata Sayidiman.
Baca juga: Banjir Darah di Cibugel oleh DI/TIl
Sayidiman pun berandai-andai, "tentu akan berpengaruh kepada karier saya pribadi andai kata waktu itu berhasil menangkap atau melikuidasi Kartosoewirjo." Karier militer Sayidiman terus menanjak hingga mencapai wakil KSAD, gubernur Lemhanas, dan duta besar untuk Jepang, setelah itu pensiun tahun 1982.
Namun, bagi Sayidiman, yang paling penting adalah keadaan di Jawa Barat seandainya Kartosoewirjo tertangkap. Daerah itu tidak akan mengalami kerusakan besar yang terjadi antara tahun 1953 dan 1956 ketika DI/TII berhasil mengadakan konsolidasi bahkan memberikan pukulan balik terhadap TNI.
"Kondisi pedesaan Jawa Barat pada 1950/1951 tampak jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1956 ketika saya menjadi komandan batalion," kata Sayidiman.
Baca juga: Detik-detik Terakhir SM Kartosoewirjo
Akhirnya, Kartosoewirjo berhasil ditangkap Kompi C Batalion 328/Kujang II Divisi Siliwangi pada 4 Juni 1962.
Kartosoewirjo menjalani persidangan selama 14–16 Agustus 1962. Dia dikenai tiga tuduhan: memimpin dan mengatur penyerangan, hendak merobohkan pemerintahan Republik Indonesia yang sah, dan berusaha membunuh Presiden Sukarno.
"Tuntutan kedua dan ketiga ditolak oleh Kartosoewirjo," kata Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsunya.
Pengadilan Mahkamah Militer menyatakan Kartosoewirjo bersalah dan menjatuhkan vonis hukuman mati. Dia dieksekusi mati di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, pada 12 September 1962 –sumber lain tanggal 5 September 1962.