SUATU hari di tahun 1995, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J. Habibie mengajak Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan berdiskusi. Dia mengeluhkan soal seringnya Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Edi Sudradjat absen dalam berbagai rapat mengenai “sistem senjata Hankam” yang dipimpinnya.
“Padahal ada yang ingin sekali saya diskusikan dengan Pak Edi mengenai rencana pembelian tank buat ABRI,” ujar Habibie kepada staf ahli Menristek itu.
Baca juga: Habibie dan Sang Jenderal
Sebagai orang yang merasa dekat dengan kedua lelaki yang secara politik bersebrangan itu, beberapa hari kemudian Sintong berinsiatif menemui Edi yang tak lain adalah seniornya di ABRI tersebut. Dia mendatangi Kantor Departemen Hankam dan menyatakan kekecewaan dirinya secara langsung kepada Menhankam.
“Kenapa sih Mas, selalu tidak hadir dalam rapat itu?” tanya Sintong.
Edi langsung menukas,” Maksudnya apa kau, ngomong begitu?”
“Mas, kita ini kan tentara. Yang memerintahkan soal itu kan Pak Harto, Panglima Tertinggi. Apa kata orang jika Mas “membangkang” perintah Panglima Tertinggi? Saya rasa itu tidak benar. Boleh tidak menyukai seseorang, tetapi sebagai bawahan Panglima Tertinggi kita harus ikut garis komando. Datanglah ke rapat itu nanti, Mas. Kalau tidak, enggak enaklah nanti sama Pak Harto,” ungkap Sintong.
Menhankam tidak bereaksi. Wajahnya datar saja. Lama sekali mereka saling berdiam diri, hingga akhirnya Sintong merasa tidak enak hati lalu pamit dan kembali ke kantor. Namun baru saja dia sampai di ruangannya, tetiba ada telepon untuk dirinya. Siapa lagi kalau bukan dari Menhankam Edi Sudradjat.
“Ya sudahlah Tong, kau yang atur supaya saya langsung bertemu Habibie. Saya tidak mau menunggu lama,” katanya.
Edi menegaskan “tidak mau menunggu lama” karena saat itu semua orang sudah pada mafum jika ingin menemui Habibie maka seseorang harus ekstra sabar. Bisa jadi itu disebabkan oleh begitu banyaknya tamu yang datang ke Habibie setiap harinya.
Baca juga: Kekecewaan Soeharto pada Habibie
Selesai bicara dengan Edi, Sintong langsung bergegas menuju ruangan Habibie. Ia menceritakan perihal pertemuan itu. Sintong menyarankan Habibie agar langsung menjemput Edi begitu dia tiba di kantor Kemenristek. Tanpa banyak pertimbangan, Habibie langsung menyanggupi.
Singkat cerita, bertemulah kedua “seteru politik” itu dalam suasana yang ramah dan akrab. Ketika rapat berlangsung, Habibie membahas masalah rencana pembelian beberapa unit tank. Pilihannya ada tiga: K200 KIPV (Korean Infantry Fighting Vehicle) buatan Korea Selatan sesuai permohonan yang diajukan oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung kepada Presiden Soeharto pada 25 Januari 1995 atau tank jenis FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer buatan Inggris.
Secara kualitas dan harga, Habibie menyatakan setuju dengan pilihan ABRI itu. Selain harganya murah (3 KIFV=1 Scorpion), KIFV sudah teruji di berbagai medan dan lebih sesuai dengan situasi di alam Indonesia. Persoalannya, pemegang tender proyek tersebut yakni Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut (putri sulung Presiden Soeharto) dan Jenderal Hartono lebih cenderung memilih Scorpion dan Stormer.
Baca juga: Bisnis Senjata Keluarga Cendana
Edi mendukung keinginan Habibie. Terlebih setelah Habibie memberikan uraian tentang keunggulan dan kelemahan dua jenis tank itu, Edi semakin mantap untuk memilih KIFV sebagai tank yang akan dipergunakan ABRI.
“Pak Edi dan Pak Habibie itu sebetulnya sama-sama orang yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Jadi ya keduanya bisa kompak kalau terkait soal itu,” ujar Sintong Panjaitan.
Sejarah mencatat, pilihan keduanya kandas. Tanpa sepengetahuan Menhankam, Scorpion dan Stormer terlanjur dibeli. Padahal menurut Sintong, Korea Selatan sudah berniat untuk membeli lagi pesawat CN-235-200 lewat cara imbal beli dengan peralatan militer dari Korea Selatan.
“Tetapi karena kita sudah membeli 50 tank Scorpion dan Stormer dari Inggris, maka Indonesia tidak jadi membeli tank dan ranpur dari Korea Selatan,” ujar Sintong dalam biografinya yang ditulis Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Menurut Sintong, pilihan Habibie dan Edi sebenarnya sudah tepat. Andaikan Indonesia jadi membeli K200 KIFV (berharga di bawah 1 juta dollar AS) dan tidak menggunakan FV 101 Scorpion dan FV 103 Stormer (berharga 2,5 juta dollar AS), maka ABRI akan memiliki 150 tank dan ranpur atau setengah dari kebutuhan Angkatan Darat.
“Jadinya kita hanya dapat 50 tank buatan Inggris,” ujar Sintong.
Baca juga: Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet