LAKSAMANA Madya TNI Soedibyo Rahardjo dilantik menjadi Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI pada Januari 1988. Beberapa hari kemudian ada permintaan menghadap dari Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut. Dia prioritaskan untuk menerima putri sulung Presiden Soeharto itu. Soedibyo kenal baik dan Mbak Tutut memanggilnya dengan sebutan “Mas.”
Mbak Tutut meminta semua pembelian senjata dipegang oleh grup perusahaannya. Alasannya, masalah persenjataan sangat strategis dan tak bisa dipegang oleh sembarang orang. “Itu perintah presiden,” kata Mbak Tutut.
Saat itu, Soedibyo memperkirakan ada 350 perusahaan yang menjadi rekanan Mabes ABRI/Dephankam dalam pengadaan senjata.
“Saya sih, bisa saja,” kata Soedibyo dalam memoarnya, The Admiral, “tapi jangan lupa, 350 pengusaha ini tiap satu perusahaan ada lima pensiunan ABRI yang duduk di dalamnya. Jadi, coba hitung 5 x 350 = 1750 pensiunan yang dengan anak lima, itu yang akan terkena aturan seperti you inginkan ini, seperti yang diinginkan Bapak Presiden.”
“Kalau itu terjadi, ya mungkin mereka tidak akan berbuat apa-apa, cuma kan, masa sih Tut, Anda masih kurang duit,” kata Soedibyo.
Mbak Tutut tadinya diam saja tapi akhirnya menjawab juga, “Lho, ojo ngono to Mas (jangan begitulah Mas).”
“You are rich, tapi you are poor in hearth (Anda kaya tapi miskin di hati),” kata Soedibyo.
“Wah, gak enak ki ngomonge, Mas Dibyo (Wah, gak enak ngomongnya, Mas Dibyo),” kata Mbak Tutut.
“Kan, kita bekerja untuk kepentingan banyak orang,” kata Soedibyo. “Gini deh saya bikin aturan, projek di atas 20 juta dolar, it’s your area. Ini saya akan keluarkan SK yang begitu bunyinya, saya tanggung jawab. Ini solusi. Kalau semua you pegang, saya keberatan, karena saya ada banyak ekor yang di sini. Sing kepengen sugih dudu kowe dewe lho, Tut. (yang mau menjadi kaya itu banyak),” kata Soedibyo.
“Lho kok ngono (Lho, kok begitu)?” kata Mba Tutut.
“Saya juga ingin kaya,” kata Soedibyo. “Asop (Asiste Operasi) saya juga ingin kaya. Aspers (Asisten Personalia) saya juga ingin kaya. Tetapi kalau semua tadi tidak mendapat apa-apa dan yang kaya hanya satu, tidak cocok saya. Mana demokrasi.”
Mbak Tutut tidak mendebat lagi dan pamit pulang. Soedibyo yakin, Mbak Tutut akan melaporkan percakapan itu, entah kepada ayahnya atau kepada Panglima ABRI Jenderal TNI L.B. Moerdani.
Benar saja. Pagi-pagi, Soedibyo dipanggil Benny. Soedibyo sudah menebak pasti karena urusan sehari sebelumnya.
“Cangkemmu ngomong opo? (Mulutmu ngomong apa?),” tanya Benny.
“Tutut, Pak?”
“Yo. Kowe ngomong opo? (Kamu ngomong apa?).”
Rupanya, Presiden Soeharto berkata kepada Benny, “Yo, karepe Dibyo iku yo bener (mungkin keinginan Dibyo itu benar), tapi masak orang tidak boleh berusaha. Kan semua punya hak untuk berusaha.”
Soedibyo menjelaskan percakapannya dengan Mbak Tutut. Dia membantah telah mematikan usaha Mbak Tutut. Dia hanya menolak menyerahkan semua pembelian senjata dan menawarkan projek di atas 20 juta dolar menjadi milik Mbak Tutut.
“Berusaha, nek kabeh dipek, yo dudu berusaha iku. Monopoli, Pak. (Berusaha, tapi kalau semua diambil, itu monopoli),” kata Soedibyo.
“Wis, koen ojo kakehan cangkem ngono, lho (Ya sudah, tapi jangan kebanyakan ngomong),” kata Benny menasihati Soedibyo.
“Ya, nggak apa-apa, pokoke saya disalahkan juga nggak apa-apa,” kata Soedibyo menutup percakapan.
Soal bisnis senjata, Sumitro Djojohadikusumo, mengungkapkan bahwa anaknya, Prabowo Subianto, pernah amat prihatin dengan sepak terjang bisnis anak-anak presiden. “Dia pernah menentang pembelian tank dan pesawat lantaran mark up-nya mencapai empat kali lipat dari harga sebenarnya. Prabowo dengan ketus menyebut perbuatan itu sebagai penjarahan,” kata Sumitro dalam biografinya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (Baca: Kala Prabowo Mempersunting Putri Soeharto).
Dalam Korupsi Kepresidenan, George Junus Aditjondro menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir kekuasaannya, anak-anak Soeharto memperoleh hak untuk mengimpor senjata-senjata standar militer untuk ABRI.
“Dengan demikian,” kata Aditjondro, “mereka mengambil keuntungan dari kendaraan lapis baja Scorpion yang memenuhi jalan-jalan Jakarta pada Mei 1998, pada saat kejatuhan ayah mereka dari tampuk kekuasaannya.”