Masuk Daftar
My Getplus

Permukiman Kuno di Proyek Tol Pandaan-Malang

Temuan bangunan di proyek tol Pandaan-Malang diperkirakan sebuah kompleks permukiman kuno pada masa Hindu-Buddha.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 14 Mar 2019
Temuan situs arkeologi di dekat proyek tol. (Dok. Komunitas Jelajah Jejak Malang).

Struktur bata merah kuno tersingkap di tengah pengerjaan proyek jalan tol Pandaan-Malang akhir Februari 2019. Beberapa bata pecah dan susunannya ambrol tak beraturan. Tak cuma bata merah kuno yang muncul akibat galian pembangunan jalan tol itu, banyak pula artefak lainnya yang ditemukan tanpa sengaja, seperti fragmen keramik, uang kepeng, benda-benda yang terbuat dari emas dan kuningan. 

Tak lama setelah temuan di Dusun Sekaran, Desa Sekarpuro, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang itu banyak diberitakan, penggalian liar pun makin sulit dihindari. “Mereka sebagian besar adalah kolektor dan kolekdol barang-barang antikan bahkan juga masyarakat desa sekitar ikut juga mencari, demi mengambil artefak-artefak yang ada di lokasi,” ujar Devan Firmansyah, sejarawan Komunitas Jelajah Jejak Malang, melalui pesan singkat.

Proyek jalan tol ini setingkat provinsi. Warga menyebutnya Jalur Proyek Tol Mapan Seksi V Desa Sekarpuro atau Tol Nomor 37. Sebelum tol dibangun, warga setempat sudah beberapa kali tanpa sengaja menemukan artefak. “Sejak dulu bahkan sebelum dibongkar, mereka memungut dan menjual artefak dari situ. Ada yang dapat motor ninja ada juga yang dapat Rp10 juta,” kata Devan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Selamatkan Situs Sekaran di Proyek Tol Pandaan-Malang

Berdasarkan “Laporan Tinjauan Awal Situs Sekaran” yang disusun Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang dan Komunitas Jelajah Jejak Malang, diduga situs itu memiliki korelasi dengan wilayah kuno Kabalan dari masa Mataram sampai Majapahit. Laporan itu untuk diteruskan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan dan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Jawa Timur.

Jika dilihat sekilas reruntuhan di Situs Sekaran itu seakan membentuk pagar yang terbuat dari bata merah dengan posisi memanjang, pada bibir DAS (Daerah Aliran Sungai) Amprong. Berdasarkan laporan itu, kemungkinan daerah itu merupakan sebuah kompleks permukiman kuno pada masa Hindu-Buddha.

Sekira 100 meter dari bawah reruntuhan ditemukan sebuah arung kuno yang tersisa bagian mulutnya saja. Arung adalah gua atau lorong bawah tanah yang umumnya digunakan untuk saluran air.

Arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono menjelaskan wilayah Sekarpuro, di mana situs itu berada, merupakan salah satu dari empat tempat yang punya unsur toponimi -puro yang artinya kota: Madyopuro di tengah, Lesanpuro di selatan, Sekarpuro di utara, dan Dusun Ngadipuro di timur. Wilayah di Kelurahan Madyopuro dan sekitarnya adalah desa-desa kuno. Karenanya tak heran jika di tempat itu dijumpai jejak arkeologis.

“Kelurahan Madyopuro beserta Kampung Ngadipuro di dalamnya, Kelurahan Lesanpuro, dan Desa Sekarpuro, ketiganya berdekatan, mengingatkan kita kepada konsep panyaturdesa (catur berarti empat), pada Masa Hindu-Buddha,” kata Dwi.

Baca juga: Proyek Tol Pandaan-Malang dan Kerajaan Bawahan Majapahit

Dwi menjelaskan unsur nama madyo dalam Madyopuro menjadi petunjuk lokasinya berada di tengah dari suatu kesatuan yang terdiri atas lima atau sembilan desa (visayapumpunan). “Mestinya ada satu lagi -puro di barat, kelimanya memiliki formula kosmologis 4+1, yaitu empat penjuru mata angin dan titik sentrum, yang konon merupakan kawasan pusat kota, sekaligus pusat peradaban,” kata Dwi.

Menurut Dwi bukan kebetulan jika keempat nama daerah itu berunsur puro. Secara harfiah kata pura, dari bahasa Sanskerta, bisa berarti benteng, kota, ibukota, istana (tempat tinggal raja), atau apartemen wanita.

“Dalam arti demikian, timbul pertanyaan apakah pada masa lalu subarea ini pernah menjadi pusat kota?” kata Dwi.

Di desa-desa kuno itu, kata Dwi, misalnya di Lesanpuro terdapat Dusun Tegaron. Konon dulunya bernama Tugaran. Wilayah ini pernah menjadi pusat daerah watak pada era Mpu Sindok, pada paruh pertama abad ke-10 M. Ia menjadi salah satu di antara tiga watak di Kawasan Malangraya, selain watak Kanuruhan dan Hujung. Pemimpinnya adalah Rakai Tugaran.

Baca juga: Persebaran Situs-situs Kecil di Pesisir Utara Jawa

Di Kampung Ngadipuro Lor, Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, terdapat sebuah punden desa yang bernama Punden Mbah Sentono. Letak kampung ini tak jauh dari Dusun Sekaran, Desa Sekarpuro.

Punden desa itu terdiri dari kumpulan artefak batu andesit yang berbentuk seperti pengapit, sebuah umpak yang mirip yoni, sebuah umpak berbentuk trapesium, dan beberapa fragmen bata merah berukuran besar. Tak jauh dari lokasi, Kampung Ngadipuro Ringin, di mana terdapat pohon beringin, terdapat sebuah lingga di pekarangan milik warga.

“Keberadaan artefak-artefak tersebut dan juga adanya dua pohon beringin yang letaknya tidak berjauhan seakan menggambarkan pada masa lalu tempat ini adalah alun-alun kuno tak jauh dari sebuah kedaton,” demikian disebut dalam “Laporan Tinjauan Awal Situs Sekaran”.

Melihat sebaran temuan itu, bisa dikatakan situs yang baru saja muncul di pinggiran proyek tol itu merupakan bagian dari kompleks permukiman kuno, setidaknya sejak zaman Hindu-Buddha.

Selain itu, kata Dwi, bisa ditambahkan juga wilayah Kelurahan Kedungkandang. Di dalamnya termasuk Dusun Kebalon dan Desa kuno Ampeldenta.

TAG

Majapahit

ARTIKEL TERKAIT

Selamatkan Negarakertagama dari Aksi KNIL Mengatur Orang Asing di Jawa Kuno Akulturasi Budaya dalam Naskah Pegon Naskah Pegon Tertua di Jawa Memahami "Preman" yang Diberantas Gajah Mada Hikayat Putri Cempa dan Islam di Majapahit Bencana Gunung Api Menghantui Majapahit Syekh Jumadil Kubra dan Orang Islam di Majapahit Blambangan dan Kuasa di Ujung Timur Jawa Menak Jingga yang Ganteng