Masuk Daftar
My Getplus

Wadah Lahirnya Kesadaran Berbangsa

Kongres Kebudayaan 1918, fondasi kesadaran berbangsa pada bangsa Indonesia.

Oleh: M.F. Mukthi | 04 Des 2018
Panitia Kongres Kebudayaan 1918

BEBERAPA penumpang keretaapi Commuter Line serius menatap layar televisi di langit-langit gerbong. Acara yang mereka tonton bukan film, siaran olahraga, atau infotainment. Mereka menonton sebuah iklan yang menampilkan beragam kesenian dan produk budaya di tanah air.

Iklan itu makin intens tayang sejak beberapa pekan terakhir menjelang Desember. Pada bulan itulah Kongres Kebudayaan (KK) 2018, yang diiklankan di Commuter Line tadi, akan dihelat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari tanggal 5 sampai 9.  

“Kongres Kebudayaan yang rencananya diselenggarakan nanti bertujuan membentuk strategi kebudayaan yang menjadi acuan 22 kementerian dalam menjalankan kebijakan terkait budaya,” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid.

Advertising
Advertising

Nasionalisme Jawa kontra nasionalisme Hindia

Kongres Kebudayaan pertamakali diadakan pada 5-7 Juli 1918 di Surakarta dengan nama Kongres tentang Pengembangan Kebudayaan Jawa. Pemrakarsanya para anggota Boedi Oetomo cabang Surakarta dan sejumlah intelektual bumiputra lain dengan dukungan penuh Pangeran Prangwadono (kemudian menjadi Mangkunegoro VII).

Panitia KK I, diketuai R. Sastrowidjono, menghelat acara tersebut di Kepatihan Keraton Surakarta. Lebih dari 50 asosiasi di Jawa dan 1200 peserta, termasuk dari luar Jawa, menghadiri KK I. Sembilan intelektual, lima intelektual Jawa dan empat intelektual Belanda, menjadi pemakalah dalam kongres tersebut.

Baca juga: Jalan berliku menuju Kongres Kebudayaan pertama

Sebagaimana saat dipersiapkan, KK I menghadirkan banyak perdebatan. Begitu selesai membacakan makalahnya, masing-masing pemakalah dalam KK I langsung mendapat sanggahan bahkan kritikan pedas dari para peserta. Perdebatan tersengit terjadi antara RM Soetatmo Soerjokoesoemo, pemimpin Komite Nasionalisme Jawa, dan dr. Tjipto Mangoengkoesoemo, tokoh nasionalisme Hindia.

Soetatmo mengemukakan, sebuah bangsa semestinya dapat dan dibangun atas landasan bahasa dan kebudayaan. Oleh karena itu, katanya, yang bisa diperjuangkan adalah nasionalisme Jawa karena punya landasan kebudayaan, bahasa, dan sejarah yang sama dari etnis Jawa. Nasionalisme Jawa merupakan alat ekspresi diri bagi orang Jawa.

Nasionalisme Hindia, katanya, tak pantas diperjuangkan karena tidak memiliki landasan kebudayaan. Ia merupakan produk pemerintah kolonial. “Nasionalisme Hindia pada Indische Partij atau Islamisme pada Sarekat Islam hanya merupakan reaksi terhadap penjajahan Belanda atas Hindia,” ujarnya sebagaimana dikutip Takashi Shiraishi dalam “Satria vs Pandita, Sebuah Debat dalam Mencari Identitas”, dimuat dalam buku Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang yang dieditori Akira Nagazumi. 

Baca juga: Solusi Takashi Shiraishi untuk negeri Ini

Soetatmo menekankan pentingnya bimbingan dalam mengembangkan kebudayaan Jawa. Pendidikan Jawa, yang disampaikan antara lain lewat wayang, mesti menjadi dasar dalam pengembangan itu. “Pendidikan yang didirikan menurut dasar Barat perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi bangsa dan negeri kita. Jangan dilupakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengambangkan intelek –daya pikir– akal budi manusia Jawa,” ujarnya sebagaimana ditulis Nunus Supardi dalam Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013.

“Soetatmo menganjurkan pendidikan budi pekerti, namun ia tak bermaksud mempersoalkan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Pendapatnya ialah bahwa orang Jawa dapat mengungguli modernisasi dengan jalan memajukan diri lewat pendidikan budi pekerti dan dengan berbuat demikian modernisasi dapat dikaitkan dengan kebudayaan Jawa. Mengingat arti ideologis dari konsep pendidikan menurut pemikiran etis, makalah Soetatmo yang sebetulnya merupakan suatu usaha untuk membentuk atau merumuskan kembali konsep pendidikan dalam konteks kebudayaan Jawa tradisional, sangat provokatif,” tulis Shiraishi.

Tjipto, yang berbicara tepat setelah Soetatmo, langsung mendebat argumen Soetatmo yang dinilai terlalu menjurus ke chauvinisme sehingga minim unsur perkembangan sejarah dunia. “Bangsa Jawa harus menyadari bahwa mereka tidak dapat hidup terpisah, menyendiri, melainkan merupakan bagian dari dunia yang lebih luas,” kata Tjipto, dikutip Nunus. Orang Jawa harus mengakui keunggulan bangsa Eropa. “Oleh sebab itu, orang Jawa dapat belajar dari pengalaman-pengalaman sejarah orang Eropa mengingat pembentukan bangsa di Hindia akan mengikuti arah itu,” tulis Shiraishi.

Para pendukung nasionalisme Jawa juga dipandang Tjipto hanya memusatkan perhatian pada bidang humaniora tanpa mau memperhatikan ilmu eksakta dan teknik sehingga kehilangan kemandirian. Padahal, Jawa telah kehilangan kedaulatannya dan hanya merupakan bagian dari Hindia yang dijajah Belanda. Tanah air orang Jawa bukanlah Pulau Jawa semata lagi tetapi seluruh Hindia Belanda dan tugas yang dipikul oleh para pemimpin sekarang adalah bekerja untuk nasionalisme Hindia tersebut.

Baca juga: Wadah pembahasan arah kebudayaan dari beragam masa

Meski sarat perdebatan, KK I berajalan lancar. “Masalah yang timbul antara Soetatmo dan Tjipto bukanlah masalah tentang apakah modernisasi itu harus diutamakan atau apakah kecerdasan akal atau pendidikan budi pekerti yang harus didahulukan. Sesungguhnya, masalah yang mereka bahas dan pertengkarkan, walaupun tak pernah dibicarakan secara eksplisit dalam makalahnya, ialah bagaimana merumuskan tradisi itu dan bagaimana zaman serta dunia pergerakan itu seharusnya dipahami. Pada hakekatnya masalah yang sesungguhnya dihadapi ialah mencari apa arti zaman dan dunia pergerakan dalam kebudayaan dan sejarah Jawa dan selanjutnya bagaimana mereka harus hidup di zaman pergerakan sebagai cendekiawan Jawa yang ikut serta dalam pergerakan itu,” tulis Shiraishi.

KK I juga menghasilkan keputusan pendirian sebuah lembaga penelitian kebudayaan, yang setahun kemudian bermaujud dalam Java Instituut. Harian De Locomotief, Majalah Djawa, dan Sri Pestaka memberitakan kongres bersejarah itu. “KK pertama tahun 1918 pantas disebut sebagai peristiwa budaya yang bersejarah karena merupakan peristiwa ‘lahirnya kesadaran tentang nasib budaya bangsa’, di samping ‘lahirnya kesadaran berbangsa’,” tulis Nunus.  

TAG

Budaya

ARTIKEL TERKAIT

Riwayat Erasmus Huis: Titik Balik Diplomasi (1960-1971) Riwayat Erasmus Huis: Yang Tersisa dari Kolonialisme Belanda (1945-1960) Cagar Budaya Menuju Industri Kreatif Sanghyang Dedari, Pertunjukan Penolak Marabahaya dari Bali Menyelundupkan Seniman Bali Tiga Arca Selundupan Dikembalikan ke Indonesia Dilema Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam Investasi Asing dalam Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam Kampung Akuarium, Cagar Budaya dan Kehidupan Baru Babi dalam Masyarakat Batak Toba