Masuk Daftar
My Getplus

Tat-Tit-Tut, Ding-Dong…

Berawal dari alat simulasi perang, kini video game merambah ke rumah-rumah.

Oleh: Jay Akbar | 21 Mei 2010

COLORADO, Amerika Serikat, 20 April 1999. Eric David Harris dan Dyland Klebold, pemuda berusia 18 tahun, menembaki teman dan guru sekolahnya di SMA Colombine. 12 murid dan seorang guru tewas. 24 orang lainnya luka-luka. Inilah pembunuhan tersadis sepanjang SMA Colombine berdiri. Orang kemudian mencari tahu bagaimana mungkin anak seusia mereka bisa bertindak brutal?

Aksi brutal Eric dan Dyland ternyata terinspirasi dari sebuah permainan video game, Doom II, permainan komputer menembak tunggal yang dibuat tahun 1993. Kembali orang membicarakan dampak buruk video game, khususnya bagi anak-anak dan remaja. Tapi tetap saja popularitas video game tak surut. Perusahaan video game terus mengembangkan berbagai strategi untuk meningkatkan angka penjualan. Termasuk dengan memasukkan unsur kekerasan.

Kelahiran video game memang erat kaitannya dengan perang. Video game berawal dari pengembangan tabung sinar katoda yang terdapat dalam sistem peluru pertahanan pada akhir Perang Dunia II. Program-program ini kemudian diadaptasi ke dalam bentuk permainan sederhana.

Advertising
Advertising

Pada 1947 Thomas Toliver Goldsmith Jr dan Estle Ray Mann menciptakan permainan simulator rudal Cathode Ray Tube Device Amusement. Permainan ini terinspirasi dari kecanggihan radar Perang Dunia II. Inilah game elektronik pertama yang tercatat dalam sejarah. Meski memiliki unsur permainan, game ini tak popular. Penggunaannya terbatas untuk kepentingan simulasi latihan militer. Tampilannya juga masih sederhana; belum berwarna dan hanya mengeluarkan suara “tat-tit-tut”.

Baru pada 1970-an game elektronik bisa dinikmati di rumah-rumah. Ralph Baer, seorang Jerman berdarah Yahudi, mendesain video game rumahan pertama dengan prototipe bernama Brown Box. Baer menjual idenya ke perusahaan Magnafox. Prototipe Baer kemudian dirilis ke pasar dengan nama Magnafox Odyssey. Produk ini berisi 16 game built-in yang dapat diganti-ganti dengan menggunakan sebuah switch. Ralph Baer kemudian tercatat sebagai “bapak game dunia”.

Popularitas video game kian menanjak ketika pengusaha Nolan Bushnell mendesain mesin game koin (arcade) pertama di dunia bernama computer space –di Indonesia popular dengan sebutan Ding-Dong. Bushnell kemudian membuat game simulasi ping-pong yang diberi nama Pong. Game ini laku keras di pasaran. Hampir setiap keluarga di Amerika bermimpi bisa membeli game ini. Di berbagai taman hiburan dan kafe, Pong bahkan harus dibongkar setiap 24 jam sekali untuk mengeluarkan koin yang berjejalan.

“Selama puluhan tahun, orang Amerika lebih banyak menghabiskan uangnya untuk sistem home video game dan di tempat-tempat permainan Ding-Dong daripada untuk menonton film atau musik –jumlah totalnya mencapai lebih dari sebelas milyar dolar,” tulis Roger Fidler dalam Mediamorfosis.

Belum puas dengan Pong, Bushnell meluncurkan Atari 2600, video game pertama yang berbasis konsol, lalu Atari 7800 yang disebut-sebut sebagai pelopor penggunaan joystick.

Tapi semua kejayaan itu tak bertahan lama. Pasar jemu. Angka penjualan merosot. Sebagian perusahaan video game Amerika beralih ke bisnis komputer lain atau bangkrut. Sebagian besar kaum eksekutif dan analis industri melihat hal ini sebagai pertanda bahwa video game hanyalah sebuah keisengan.

Pada saat itulah muncul pendatang baru dari Jepang, Nintendo, yang menggebrak pasar video game dunia dengan merilis Famicom. Konsol ini menampilkan gambar dan animasi resolusi tinggi untuk kali pertama. Setelah mendapat sambutan hangat di Jepang, Famicom melakukan ekspansi pasar ke Amerika.

“Pada 1989, Nintendo mengendalikan 80 persen pasar video game Amerika. Bahkan pada 1990-an, satu dari setiap lima rumah tangga di Amerika memiliki perangkat permainan Nintendo,” tulis Fidler.

Pada tahun-tahun berikutnya, Nintendo berhasil menikmati posisi istimewa di pasar video game. Pesaing-pesaingnya tak mampu membendungnya. Sega sempat memberi perlawanan sengit melalui Sonic The Hedhog. Sayang, perusahaan ini lebih sering kalah cepat dalam pengembangan game ketimbang Nintendo.

Penantang serius Nintendo muncul pada 1994. Sony, perusahaan elektronik terkemuka, merilis Sony Playstation (PSX), konsol berbasis CD. PSX terjual hingga ratusan juta unit. Sony bahkan kian merajalela melalui PlayStation 2, yang sudah berbasis DVD. Nintendo, Sega, dan Microsoft, yang mengeluarkan produk tergres mereka, belum mampu mengalahkannya.

Tapi perang belum berakhir. November 2005 Microsoft datang dengan Xbox 360, konsol generasi terkini yang memanfaatkan media HD-DVD. Dengan segudang fitur istimewa, Xbox 360 menarik banyak penggemar game. Tak mau kalah, Nintendo meluncurkan terobosannya, Nintendo Wii. Dengan inovasi pada stik kontrol mereka yang “motion sensitive”, Nintendo kembali mengambil-alih pasar video game. Sony, sekalipun mengeluarkan Playstation 3, sudah terlambat.

Tinggallah kini persaingan antara Microsoft dan Nintendo. Tapi pesaing-pesaing baru akan bermunculan. Salah satunya Apple, sebuah perusahaan notebook terkemuka yang sukses dengan iPhone dan iPod. Ada rumor mereka berencana terjun ke industri konsol video game. Pihak Nintendo sudah mewaspadai Apple sebagai musuh masa depan mereka.

Seberapa dahsyat perang di antara mereka? Untuk kita, cukup rasakan kedahsyatan video game yang mereka ciptakan, tanpa harus menjadi seperti Eric dan Dyland di Colorado, Amerika.

TAG

video game

ARTIKEL TERKAIT

PlayStation dan Nostalgia Mainan Anak-anak 1990-an Kala Liem Swie King Bicara Mental Tak Mau Kalah Mengenal Lebih Dekat Beladiri Kurash Selayang Pandang Tim Gajah Perang Medali Emas SEA Games 32 Tahun Lalu Arena Sejarah Kun Khmer "Kembaran" Muay Thai Bokator dan Legenda Beladiri dari Peradaban Angkor Gendhing Mares, “Anak Kandung” Perkawinan Musik Jawa dan Eropa Seni Pertunjukan dalam Resepsi Pernikahan Jawa Kuno Ki Narto Sabdo Sang Pembaru Kesenian Tradisi Jawa