HALAMAN belakang Museum Kesejarahan Jakarta Kamis (20/10/2022) siang itu ramai. Sebuah gapura bergaya neoklasik turut “menyambut” serombongan pelajar SMP ke sebuah ruangan yang bersolek dengan dua lampu gantung keemasan yang menaungi tiga meja makan bundar berbalut kain putih susu serta kursi-kursi dengan ukiran cantik.
Di atas masing-masing meja itu beraneka perangkat makan era kolonial, termasuk dua lembar surat makan alias menu, diletakkan. Beberapa siswa tadi tak buang kesempatan untuk mengabadikannya lewat kamera smartphone dengan beragam pose seolah sedang menembus waktu ke masa yang sama dengan tata ruang dan peralatan makan itu.
Itu memang jadi salah satu tujuan digelarnya pameran “Jejak Memori Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori”. Pameran yang dihelat Museum Kesejarahan Jakarta bersama Tugu Kunstkring Paleis itu berlangsung sepanjang 12-29 Oktober 2022.
Baca juga: Soerat Makan Kolonial
Tujuan pameran yakni untuk mengenalkan kembali sebuah kebudayaan Indies –merupakan kebudayaan hasil perkawinan dua budaya yang harmonis di era kolonial– dalam konteks tradisi dan budaya makan. Narasi-narasi historis rijsttafel yang bukan sekadar menggoyang lidah dan asal perut kenyang itu cukup apik dan atraktif ditampilkan dalam beragam panel yang mengelilingi ruangannya guna membuka awareness khalayak tentang budaya yang kini sudah sulit ditemui.
“Meskipun merupakan bagian penting dalam perkembangan kuliner di Indonesia, rijsttafel belum banyak dikaji dari sudut pandang kesejarahan. Sejarah rijsttafel perlu diketahui oleh masyarakat Indonesia apalagi sumber-sumber primer dan sekunder terkait rijsttafel sendiri dapat dilacak keberadaannya, sehingga memungkinkan untuk ditelusuri jejaknya,” tulis sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942.
Secara etimologi, rijsttafel berhulu pada dua lema bahasa Belanda, rijst yang artinya nasi dan tafel berarti meja. Sastrawan cum jurnalis Indo, Hans van de Wall (Victor Ido), dalam kumpulan transkrip kisah acara radio NIROM, Indië in den goeden ouden tijd: radio-voordrachten voor de NIROM gehouden, mengartikan rijsttafel sebagai hidangan nasi yang disajikan dengan cara spesial.
Kendati zaman kolonial sarat dengan penindasan dan rasisme, lanjut Fadly, budaya makan rijsttafel memberi pengaruh dan inspirasi bagi evolusi kuliner modern Indonesia. Pengaruhnya meliputi gaya hidup, tata penyajian, hingga jadi pelopor daya tarik wisata kuliner.
“Maka dari itulah untuk pertama kalinya dalam perkembangan kuliner di Indonesia, makanan Pribumi mendapat kedudukan istimewa pada masa kolonial. Bahkan hingga sekarang rijsttafel masih menjadi daya tarik pariwisata di Belanda,” sambungnya.
Hidangan Nusantara, Cara Makan Eropa
Anna Augusta Henriette de Wit terpukau pada keriuhan dan kesibukan kota Batavia (kini Jakarta) yang ramai dengan beragam aktivitas di suatu siang medio 1896. Dari sebuah hotel di kawasan Rijswijk (kini kawasan Lapangan Banteng), jurnalis Belanda berusia 32 tahun itu dalam pelesirannya penasaran pada sebuah bangunan bertuliskan “Roemah Makan”.
Jawa dengan Batavia sebagai etalasenya selalu menghadirkan pengalaman baru bagi De Wit. Padahal, sudah dua tahun ia mengajar di sebuah asrama perempuan. Selain mengajar, sosok kelahiran Sibolga itu juga menjadi kontributor untuk suratkabar berbahasa Inggris The Strait Times. Di suratkabar itulah artikel-artikelnya tentang beragam pengalamannya di Jawa, termasuk pengalamannya di sebuah restoran tadi, dialihbahasakan.
“Sejak saya melihat Batavia, saya sudah melihat hotel di Batavia – sebuah roemah makan. Ah! Itu jadi pencerahan yang mengejutkan. Bagi saya Batavia ibarat ‘un frisson nouveau’. Tapi ketika melihat sebuah misteri besar yang dirayakan pada siang hari, sebuah sajian nasi (rijsttafel), bagi saya itu ibarat ‘un étouffement nouveau’,” De Wit mengisahkannya dalam kumpulan artikel yang dibukukan dengan judul Java: Facts and Fancies.
Baca juga: Jejak Eropa dalam Kuliner Nusantara
Kesaksian De Wit menjadi jendela penting untuk mendapatkan gambaran tentang apa dan bagaimana rijsttafel di masa-masa puncak popularitasnya. Bukan hanya hidangannya, tata cara makan para pengunjung Eropa hingga laku para pelayannya pun ia kisahkan.
“Menu utamanya adalah nasi dan ayam yang mungkin terdengar sederhana. Tapi di atas itu terdapat sebuah sistem yang terdiri dari banyak hal yang ditata baik: selain ikan, daging, dan semur, segala macam kari, saus, acar, manisan buah, telur asin, pisang goreng, ‘sambal’ goreng ati ampela, telur ikan, di mana semuanya sarat rempah dan taburan (potongan) cabai,” lanjutnya.
Karbohidrat, protein, hingga vitamin dalam sayur-mayur semua disajikan dalam satu waktu di atas meja. Bukan seperti di Eropa, di mana sajian dikeluarkan berurutan dari makanan pembuka, makanan utama, dan makanan penutup. Yang tak berubah adalah manner-nya yang menggunakan dan menempatkan alat-alat makan seperti pisau, garpu, dan sendok yang tidak terdapat dalam kebiasaan makan pribumi yang mayoritas makan menggunakan tangan.
Menu-menu yang disebutkan De Wit tentu tidak sama dalam setiap rijsttafel. Namun yang pasti, setiap makanan Nusantara yang dikonsumsi orang-orang elite Eropa itu lazimnya dikombinasikan dengan makanan yang cita rasanya sesuai selera masing-masing.
Baca juga: Dari Tangan hingga Prasmanan
Pun dengan sistem pelayanannya. Para pelayan yang biasanya berasal dari kalangan bumiputera tak hanya diberi seragam pelayan tapi juga dididik untuk melayani ala Eropa.
“Semuanya berawal dari sebuah galeri belakang berupa aula panjang dan besar. Kemudian sajiannya diserahkan pada pelayan-pelayan lokal yang bertelanjang kaki tapi berpakaian semi-Eropa, bersarung Jawa, dan blangkon.”
Popularitas rijsttafel dimulai saat masifnya kedatangan orang-orang Eropa, terutama Belanda, setelah dibukanya Terusan Suez pada 1869. Selain mempengaruhi gaya kuliner banyak elite bumiputera, rijsttafel juga mempengaruhi gaya berpakaian mereka.
“Istilah rijsttafel sendiri memang baru muncul seiring meningkatnya jumlah orang Eropa pasca-pembukaan Terusan Suez yang secara tidak langsung berdampak besar terhadap perubahan sosial budaya di tanah jajahan. Perkembangan rijsttafel dimulai dari kebiasaan hidup membujang para pria Eropa. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan perempuan Eropa ke Hindia memunculkan percampuran darah dengan perempuan Pribumi dan kemudian menghasilkan gaya hidup campuran,” sambung Fadly.
Baca juga: Hidangan Favorit Napoléon
Rijsttafel makin “naik daun” setelah mulai disukai para pejabat Eropa saat menggelar acara-acara besar. Lambat-laun para kolega mereka dari elite bumiputera pun latah mengikuti.
Popularitas itu ikut melahirkan tren penulisan buku-buku masak atau catatan harian yang mengulas tentang rijsttafel pada peralihan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-21. Sebut saja misalnya Ons Huis in Indië (1908), Eet Rijst! De Indische Rijsttafel (1922), Groot nieuw volledig Indisch kook-boek (1925), dan Het Geheim van de Rijsttafel (1934).
Seiring perjalanan waktu, budaya makan hibrid itu secara tidak langsung menaikkan derajat kuliner Nusantara di mata orang-orang Eropa. Rijsttafel turut mempengaruhi minat orang Eropa yang ingin datang ke Nusantara hanya untuk “wisata kuliner”. Tak pelak, selain di rumah-rumah pribadi dan acara-acara pejabat, rijsttafel mulai marak disuguhkan berbagai hotel dan restoran.
“Melalui rijsttafel pula untuk pertamakalinya nasi dan hidangan daerah-daerah di Indonesia mulai dikemas dalam penyajian bergaya Barat serta dipopulerkan sebagai daya tarik wisata kolonial,” lanjut Fadly.
Namun, pergantian situasi politik amat mempengaruhi eksistensi rijsttafel. Kendati tak serta-merta hilang sepenuhnya kala Hindia Belanda ditumbangkan Jepang dan berlanjut masa kemerdekaan Indonesia, rijsttafel jadi langka ditemui di Indonesia yang terus berdinamika.
“Ketika Indonesia merdeka pasca-1945 orang-orang Belanda membawa pulang cita rasa rijsttafel ke negeri Belanda dan justru sejak itu berkembang pesat, mengingat banyaknya imigran dari Indonesia yang mengerti cara menyiapkan berbagai macam makanannya. Hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Rijsttafel menghilang begitu saja. Saat ini hanya ada sedikit restoran yang masih menyajikannya,” tulis epikur yang menulis 30 buku masak, Georgeanne Brennan dalam kolomnya yang dimuat di laman The Cook’s Book.
Baca juga: Aroma Kopi yang Menggugah Revolusi Dunia