Aroma Kopi yang Menggugah Revolusi Dunia
Tanaman eksotis Afrika yang disempurnakan jadi minuman di Jazirah Arab. Mengglobal di Eropa dan sampai kini tetap hype di kalangan milenial.
SELAIN kaya rasa, kopi di Indonesia juga kaya cerita. Ia bisa dinikmati kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun. Rakyat jelata di pinggir jalan dengan “Starling” andalan ataupun sang penguasa di istananya, semua menikmati kopi.
Kaya rasa dan kaya cerita, itulah yang jadi tema pameran bertajuk “Coffee Revolution: From Coloniality to Equality” helatan Pasar Kopi di Posthoonrkerk, Amsterdam, Belanda. Perhelatan dari 1-7 September 2022 ini diprakarsai Roemah Indonesia dalam rangka memperkenalkan kopi-kopi asal Indonesia di negeri “Kincir Angin”.
“Inti dari pameran ini memberikan penguatan informasi mengenai kopi Indonesia. Yang mau berbisnis tak hanya menikmati kopinya yang rasanya enak tapi juga narasi sejarah di balik kopi itu sendiri. Bahwa kopi Indonesia menjadi kaya rasa dan kaya cerita. Bagaimana kopi dimulai dari komoditi kolonial, lambat laun jadi komoditi yang bisa dinikmati siapapun,” terang sejarawan Bonnie Triyana dalam live tour pameran via Youtube Historia.id, Senin (5/9/2022) malam WIB.
Beragam produk kopi dan kultur kopi di Indonesia dipajang lewat berbagai stand kopi dalam pameran tersebut yang digelar di koridor utama Gereja Posthoornkerk rancangan arsitek PJH Cuypers yang berdiri pada 1863. Ada juga sebuah sepeda “jengki” yang membawa berenceng-renceng kopi sachet khas “Starling” sebagai seni instalasinya.
Di berbagai sudut dinding di belakang stand-stand kopi itulah dipamerkan banyak narasi sejarah pameran kopinya. Antara lain tentang awal eksistensi kopi yang dibawa masuk kolonialis Belanda untuk dibudidayakan di Sumatera hingga di Jawa.
“Kopi ditanam dengan cara tanam paksa melibatkan orang-orang Jawa. Dulu menjadi komoditas kolonial (khusus orang Eropa). Seiring berjalannya waktu, kopi menjadi minuman yang sifatnya equal. Dinikmati semua orang tanpa perbedaan kelas,” lanjut Bonnie.
Baca juga: Hikayat Kopi di Tanah Jawa
Salah satu narasi yang diangkat adalah pengisahan kopi oleh Multatuli alias Eduard Douwes Dekker dalam roman Max Havelaar-nya. Semasa di Hindia Belanda, Multatuli pernah ditugasi jadi makelar kopi di Sumatera dan Jawa.
“Sebelum di Lebak, dia pernah ditugaskan di Mandailing Natal. Berkaitan dengan kopi yang tidak boleh dikonsumsi (kaum bumiputera), di dalam buku Max Havelaar ada cerita tentang orang Sumatera yang punya kebiasaan membuat kopi dari daun kopi. Jadi daunnya (kopi) yang diseduh,” sambung Bonnie.
Muasal Belanda membawa kopi ke Nusantara hingga membudidayakannya dengan tanam paksa bermula dari Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) yang punya secuil wilayah di Ceylon (kini Sri Lanka) dan selatan India pada pertengahan abad ke-17. Demi mencegah jatuhnya harga akibat menumpuknya persediaan, VOC mengalihkan budidaya kopinya ke Jawa dan Suriname. Belanda kemudian jadi salah satu super-power di Eropa dalam hal perdagangan kopi.
Aneka Cerita Muasal Kopi
Seperti juga teh, sejarah kopi diramaikan dengan beragam mitos atau legenda yang disebarkan dari mulut ke mulut dan turun-temurun. Tidak ada bukti sahih berbentuk fisik tentang muasal kopi.
Legenda tentang muasal kopi begitu bertebaran dalam banyak literatur Barat, yang mengklaim sebagai pembawa globalisasi kopi. Namun, mereka sepakat bahwa kopi ditemukan di Ethiopia dan kemudian bertransformasi menjadi minuman berkhasiat di tangan orang-orang Arab.
Pakar sejarah kopi Bennet Alan Weinberg dan Bonnie K. Bealer dalam The World of Caffeine: The Science and Culture of the World’s Most Popular Drug mencatat, beragam versi mitos atau legenda itu muncul dari kisah seorang penggembala kambing di suatu wilayah Kerajaan Kaffa (kini Ethiopia) pada abad ke-9, bernama Kaldi.
Versi pertama mengisahkan, Kaldi yang tengah menggembala kambing-kambingnya di sebuah perbukitan, kaget ketika melihat kambing-kambingnya berlompatan tak karuan hingga mengembik lantang usai memakan tanaman yang berbuah merah. Kaldi yang penasaran lalu menjajal buah itu dan kemudian juga merasakan efek serupa.
Kaldi membawa pulang sejumlah buah merah yang ia sebut “pemberian surga” itu. Kemudian Kaldi memberitahukannya kepada para pemuka agama. Para pemuka agama yang keheranan justru marah dan membuang buah yang dianggap “buah setan” itu ke tungku api. Tetiba muncul aroma yang menggelitik hidung dan para pemuka agama itu mengambil sisa-sisa bijinya dan ditempatkan di air panas. Airnya berubah hitam dan aromanya menggoda. Para pemuka agama itu pun mencicipi air itu lalu merasakan tubuh mereka jadi segar dan terjaga kala sembahyang.
Versi kedua, lanjut Weinberg dan Bealer, berasal dari kalangan sufi asal Yaman. Dikisahkan, pemuka sufi Ghothul Akbar Nooruddin Abu al-Hassan al-Shadhili dalam pengembaraan spiritual ke Ethiopia melihat seekor burung terbang dengan enerjik setelah memakan semacam buah merah. Penasaran, ia pun mencicipinya dan merasakan efek serupa.
Adapun versi ketiga, mengisahkan tentang pengasingan tabib asal Yaman, Sheikh Omar, ke Pegunungan Ousab. Dalam pengasingannya, Sheikh Omar yang kelaparan menemukan buah-buahan yang rasanya pahit. Ia mencoba memanggangnya dengan harapan menghilangkan rasa getirnya. Tapi air hasil rebusan airnya menghitam dan mengeluarkan aroma yang unik.
Baca juga: Dari Kopi hingga Anggur
Sheikh Omar urung memakan biji yang tersisa dan justru meminum hasil rebusannya. Dampaknya kondisi tubuhnya menjadi lebih fit dan ia menceritakannya ke semua orang di kota kelahirannya, Mocha, usai masa pengasingan. “Air Kopi” hasil rebusan buah itu seiring waktu dianggap mujarab sebagai obat.
“Meski kemudian para sejarawan Eropa dan Arab mengulang legenda-legenda itu, dokumen tertulis tentang meminum kopi atau pengetahuan tentang tanaman kopi baru ada di awal abad ke-15 di masjid-masjid Sufi Yaman di selatan Jazirah Arab. Mitos Kaldi si penggembala kambing yang banyak ditemui dalam literatur Barat, menghiasi tradisi yang kredibel bahwa para kaum sufi itu mengenal kopi di Ethiopia, yang mana jaraknya hanya terpisahkan Laut Merah,” tulis Bennet dan Bealer.
Dokumen yang dimaksud adalah Umdat al Safwa fi hill al-Qahwa yang ditulis Abd al-Qadir al-Jaziri. Meski dirilis pada 1556, dokumen itu mengisahkan awal-mula qahwah (kopi) yang lazim dikonsumsi para pemuka sufi agar bisa terjaga saat sembahyang malam maupun penyebarannya ke semua arah mata angin di Jazirah Arab, termasuk Makkah dan Madinah.
Dalam manuskrip itu Al-Jaziri menyebut cara menyeduh dan meminum kopi diperkenalkan oleh mufti kota Aden Muhammad Ibn Said al-Dabhani (beberapa sumber menyebut Sheikh Jamal al-Din al-Dhabhani). Al-Dabhani pula yang disebut Al-Jaziri mengimpor berbagai komoditas dari Ethiopia, termasuk kopi, ke Yaman lewat para pedagang dari Berbera dan Zeila (kini Somalia).
“Di Eropa, dokumen itu diterjemahkan arkeolog dan orientalis Prancis, Antoine Galland (De l’origine et du progrès du café) dan sebagian besar pengetahuan orang Eropa tentang kopi didasarkan terjemahan Galland tersebut,” ungkap sejarawan Ina Baghdiantz-McCabe dalam A History of Global Consumption: 1500-1800.
Kopi pun menyebar lebih dulu di dunia Islam, mulai dari Makkah sejak abad ke-15 hingga Afrika Utara dan Kekaisaran Utsmaniyah pada peralihan Abad ke-16. Tak hanya perkebunan kopi yang berkembang, tapi juga kedai kopi umum yang sudah eksis di Kairo, Aleppo, dan Istanbul di pertengahan abad ke-16.
Lika-liku Sejarah Kopi di Eropa
Kopi dengan aroma semerbaknya dan rasanya yang unik menjamah Eropa lewat peperangan dan perdagangan. Bangsa Turki membawanya ke Eropa lewat Pertempuran Mohács (29 Agustus 1526) di Hungaria dan Pengepungan Wina (27 September-15 Oktober 1529). Di jalur perdagangan Mediterania, kopi masuk melalui Republik Venezia yang mengimpor banyak komoditas Afrika Tengah dan Arab, termasuk kopi di dalamnya. Itu diungkapkan pakar botani Prospero Alpini dalam karyanya De Plantis Aegypti.
Seperti halnya di Jazirah Arab dan Afrika Utara, seiring perjalanan masa kedai-kedai kopi pun menjamur di Eropa. Penguasaan kopi kemudian jadi rebutan para kolonialis. Belanda menjadi salah satu supplier kopi terbesar Eropa lewat budidayanya di Hindia Belanda.
Maraknya kopi di Eropa kemudian memunculkan sejumlah penentangan. Pada abad ke-16 di dunia Islam, sejumlah ulama pernah mendebatkan pelarangan kopi.
Baca juga: Hidangan Favorit Napoléon
Di Eropa, pertentangan tentang kopi marak di abad ke-17 dan abad ke-18. Salah satunya lewat larangan membuka kedai kopi umum yang dikeluarkan Raja Inggris Charles II pada 29 Desember 1675. Alasan Charles II adalah, eksistensi kedai-kedai kopi itu membuat warga dan para pejabatanya mengabaikan tanggungjawab sosial hingga mengganggu stabilitas kerajaan.
“Proklamasi itu dinyatakan akan berlaku setelah 10 Januari 1676. Guncangan protes dari beragam pihak terjadi. Butuh 11 hari sampai sang raja menyadari blunder yang ia lakukan. Maka pada 8 Januari 1676 sebuah proklamasi lain diterbitkan untuk mencabut proklamasi larangan itu,” tulis William Harrison Ukers dalam All about Coffee.
Di Prusia (Jerman), Raja Friedrich II alias Frederik Agung juga “memerangi” kopi dengan caranya sendiri. Maraknya kopi yang mulai menyaingi bir membuatnya muak. Manifesto tentang bir lebih baik daripada kopi pun dikeluarkannya pada 13 September 1777.
“Sangat menjijikkan melihat meningkatnya kopi yang dikonsumsi para bawahan saya dan jumlah yang yang keluar dari negeri ini sebagai konsekuensinya. Semua orang minum kopi. Harus dicegah jika dimungkinkan. Rakyat saya mestinya minum bir. Para raja berkuasa karena bir, juga para leluhur kami dan para perwiranya. Banyak pertempuran dimenangkan para serdadu yang menenggak bir dan raja tak meyakini para serdadu peminum kopi bisa diandalkan untuk mengalahkan musuh-musuh dalam peperangan berikutnya,” kata Raja Friedrich dalam manifestonya, dikutip Ukers.
Baca juga: Kopi yang Mengubah Eropa
Di Prancis ceritanya lain lagi. Pada 1679-1696, perdebatan tentang kopi mencuatkan adu argumentasi para pakar kesehatan yang pro dan kontra-kopi. Kopi saat itu jadi saingan terberat anggur yang jadi minuman populer di berbagai kalangan di Prancis.
“Pada 1679 seorang dokter Prancis menyebarkan pamflet bahwa kopi menyebabkan keletihan, kelumpuhan pada beberapa bagian tubuh, dan impotensi,” ungkap Mark Pendergrast dalam Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World.
Enam tahun berselang giliran dr. Sylvestre Dufour tampil ke publik untuk membela khasiat kopi. Fritz Allhoff dalam Coffee Philosophy for Everyone: Grounds for Debate mencatat, Dufour menyatakan zat-zat yang terkandung dalam kopi justru baik untuk kesehatan. Antara lain bisa meluruhkan batu ginjal, mengurangi migrain, hingga mencegah encok.
Kafein yang terkandung dalam kopi sangat manjur memberi stimulan dalam menjaga mood, ingatan, dan konsentrasi saat berpikir, bekerja, atau berkarya. Hal itu sangat dirasakan para tokoh Eropa dalam beragam revolusi. Dalam beberapa petite histoire-nya, pemikiran Revolusi Amerika (1765-1784) dan Revolusi Prancis (1798-1799) bermula dari kedai kopi.
“Di Prancis, Voltaire (François-Marie Arouet, red.), (Jean-Jacques) Rousseau, (Denis) Diderot meneguk kopi demi Era Pencerahan dan mendiskusikan mimpi-mimpi tentang Revolusi Prancis di sebuah kafe di Paris, ‘Le Procope’. Di Amerika, bercangkir-cangkir kopi di kedai kopi Boston, ‘Green Dragon’, John Adams, James Otis, dan Paul Revere merencanakan kampanye mereka untuk pemberontakan (revolusi) Amerika. Setelahnya para pemberontak membuang teh di Pelabuhan Boston sebagai aksi pembangkangan terhadap pajak-pajak Inggris,” ungkap Johm Farndon dalam The World’s Greatest Idea.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar