Soerat Makan Kolonial
Wisatawan Eropa tak hanya menikmati keindahan alam Hindia Belanda tapi juga hidangan makanannya.
BELAKANGAN ini, wisata kuliner menjadi tren. Media cetak maupun elektronik menyediakan ruang untuk icip-icip makanan. Sebenarnya, wisata kuliner bukan barang baru. Ia telah hadir di zaman kolonial.
Untuk memfasilitasi wisatawan asing, pemerintah Hindia Belanda mendirikan perhimpunan turisme, Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) di Batavia, pada 1908. Anggotanya para pengusaha yang berhubungan dengan turisme, seperti perusahaan transportasi, perhotelan, pemilik toko, dan perbankan. Kantor ini bertugas untuk mempromosikan, memberikan informasi, dan membuat reklame turisme.
Buku panduan wisata Java: the Wonder Land, terbitan VTV, memberikan daftar makanan atau minuman khas Hindia Belanda yang menggugah selera. Selain itu terdapat pula saran dan larangan menikmati makanan atau minuman tertentu. Hal ini penting karena makanan berhubungan dengan kesehatan.
Selain petunjuk mengenai makanan, buku itu mencantumkan kosakata dan kalimat-kalimat perintah praktis berhubungan dengan kuliner dalam bahasa Inggris dan Melayu. Misalnya: Where is the menu? (mana soerat makan?), I want some half boiled eggs (minta telor stengah mateng), dan Let me have some rice but none of the hot dishes (minta nasi tapi tida maoe sambal).
Salah satu menu yang digemari wisatawan Eropa adalah rijsttafel, biasanya dihidangkan di hotel-hotel mewah. Keistimewaan menu ini, selain jenis hidangannya komplit, cara penyajiannya unik, yaitu dihidangkan banyak pelayan (jongos) yang masing-masing hanya membawa satu jenis makanan. Keunikan dan keeksotisan itulah yang membuat banyak wisatawan menjadi penasaran untuk menikmatinya.
Komposisi hidangan yang disediakan dalam rijsttafel biasanya terdiri dari: rijs (nasi), groenen atau sayur-sayuran (seperti sayur lodeh, sayur asem, dan sup), vlees (daging), vis (ikan), eieren (telur), sambal-sambalan dan acar, kerupuk, gebakken bananen (pisang goreng), hingga buah-buahan. Hidangan tersebut lebih didominasi oleh citarasa pribumi, terutama dari Jawa. Namun dalam perkembangannya, variasi makanan pun bertambah, dari kuliner Tionghoa maupun Belanda.
Pengalaman menyantap rijsttafel diceritakan seorang wisatawan Belanda, M. Buys, pada 1898. Sebagaimana termuat dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial karya Fadly Rahman, Buys menceritakan: “Siang-siang pukul setengah satu atau djam satu dihidangkan apa jang dinamakan rijsttafel, dengan makanan pokok nasi dengan lauk-pauk beranekan matjam seperti ajam jang dimasak dalam pelbagai cara, saus kare, daging, sajur majur, kaldu, banjak djenis sambal-sambalan, ikan merah Makasar, chutney, dan seterusnja. Sesudah itu masih dihidangkan makanan Eropah seperti sajur-sajuran, daging, dan selada. Makan siang itu diakhiri dengan dessert.”
Tempat-tempat yang biasa dikunjungi wisatawan untuk berwisata kuliner adalah hotel-hotel mewah yang menyediakan hidangan khas tanah Hindia. Dalam buletin Travelers Official Information, terbit 1930, tercantum beberapa hotel yang menyediakan hidangan khas Hindia, terutama rijsttafel: Hotel Des Indes dan Hotel Koningsplein di Batavia, Hotel Savoy Homan Bandung, Hotel Belle Vue Buitenzorg (Bogor), serta Grand Hotel De Djogja dan Hotel Toegoe Yogyakarta.
Wisata kuliner memang tak lekang oleh waktu. Kegiatan ini selalu mengajak untuk berburu makanan yang menggugah selera.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar