Masuk Daftar
My Getplus

Relief Sarinah dan Narasi Perjuangan Wong Cilik

Sosok-sosok dalam relief di Gedung Sarinah dibuat gagah dan elok untuk membentuk citra ideal wong cilik. Siapa seniman pembuatnya?

Oleh: Andri Setiawan | 16 Jan 2021
Perempuan-perempuan dalam relief Sarinah digambarkan secara elok dengan wajah yang tegas. (Dok. Yuke Ardhiati, 26 November 2020).

Perempuan dan perjuangan yang dimainkannya merupakan bagian penting dalam kehidupan Sukarno. Pada 1947, Sukarno menerbitkan buku berjudul Sarinah, yang berisi buah pikirnya tentang perempuan, tentang matriarki dan patriarki, hingga kaitanya dengan evolusi dan revolusi manusia. Dalam berbagai kesempatan, Sukarno kerapkali menegaskan tentang perjuangan dan peran perempuan dalam peradaban manusia dan Republik secara khusus.

Dalam Bab III Dari Gua ke Kota, misalnya, Sukarno menjelaskan bahwa perempuanlah yang mengawali pertanian. Ketika para lelaki berburu, terangnya, perempuan yang awalnya hanya mencari tumbuh-tumbuhan, lambat laun mulai menanam benih-benihnya. Inilah awal mula ilmu bercocok tanam dan perempuanlah petani yang pertama.

“Buat jasa ini saja kemanusiaan pantas mendirikan patung-terima-kasih bagi perempuan itu!” tulisnya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Relief Tersembunyi di Gedung Sarinah

Bung Karno barangkali tak pernah benar-benar membangun patung itu. Tapi, nama Sarinah sebagai representasi perempuan hebat itu kemudian diabadikan sebagai nama toserba pertama di Indonesia. Dan di dalamnya, ternyata dibangun relief yang menarasikan Sarinah itu sendiri.

Perjuangan Wong Cilik

Gedung Sarinah mulai dibangun pada 1963 dan diresmikan pada 15 Agustus 1966. Gedung 14 lantai ini awalnya direncanakan sebagai department store untuk mengatur harga pasar dan menjual barang-barang hasil berdikari rakyat Indonesia. Namun, ide untuk menyokong ekonomi sosialis itu gagal.

Sementara itu, relief di lantai dasarnya tak banyak diketahui publik hingga belakangan dibuka kembali dalam rangka renovasi. Relief berukuran sekitar 12 x 3 meter itu menampakkan sosok laki-laki dan perempuan berskala gigantik. Ada yang memakai caping, ada yang membawa bakul, ada yang menyunggi dagangan.

Yuke Ardhiati, arsitek sekaligus sejarawan yang turut dalam konservasi, menyebut dalam makalahnya, “Bung Karno dan ‘Sarinah’”, bahwa relief Sarinah merepresentasikan “The Struggle for Life of ‘Wong Cilik’”. Yuke juga menyebut, sosok-sosok dalam relief menggambarkan kaum kuli dan penjaja keliling, terutama perempuan, yang banyak ditemui pada masa kolonial Belanda.

Baca juga: Sukarno Ingin Patung Terbang

“Litografi banyak banget saya temukan. Orang-orang Indonesia di masa kolonial itu dijabarkan sebagai ya kuli tadi. Terus sama di foto-foto keluaran Tropen (Tropenmuseum –red.), itu kan juga orang yang lagi bawa barang-barang berat. Itu kan perempuan semua. Sambil bawa anak kalau perlu,” kata Yuke kepada Historia.

Yuke yang juga penulis buku Bung Karno Sang Arsitek ini menjelaskan bahwa para perempuan inilah yang seringkali disebut Sukarno sebagai penyangga beban kehidupan bangsa sekaligus representasi perjuangan wong cilik.

“Nah di situ Bung Karno melihat bahwa the struggle for life itu perempuan yang memikulnya. Dengan perempuan yang memikulnya tadi, Bung Karno pengen memberikan satu fasilitas untuk meringankan dia,” jelas Yuke.

Menurut Yuke, dibangunnya gedung Sarinah merupakan bentuk kehadiran negara untuk memfasilitasi kaum penjaja keliling tersebut. Sarinah dibangun agar penjaja keliling bisa mendapat tempat layak sehingga dapat menaikkan nilai barang dagangannya.

Dalam relief Sarinah, wong cilik tidak digambarkan kecil, kurus, dan lemah. Sebaliknya, laki-laki digambarkan gagah dan menantang, sedangkan perempuan dilukiskan cakap dan elok. Mereka ditampilkan tengah bekerja dengan percaya diri.

“Itu semua bekerja itu, nggak ada yang tidur. Menunjukkan apa? Orang Indonesia itu gigih lho, struggle lho, elok lho, meskipun dia orang kecil,” ungkap Yuke.

Secara keseluruhan, Yuke melanjutkan, gaya relief Sarinah membentuk gambaran ideal bagi sosok wong cilik Indonesia. Selain memberi sugesti positif dan kebanggaan bagi rakyat kecil, relief ini kemungkinan dipakai juga untuk memberikan kesan baik pada pandangan politik dunia.

Baca juga: Jejak Cinta yang Terpahat di Bandara

Yuke menambahkan, ketika proses pembangunan Sarinah masih berlangsung, Indonesia juga mendirikan Patung Pahlawan (Tugu Tani). Patung garapan seniman Uni Soviet itu juga memiliki semangat yang sama dengan relief Sarinah: penghormatan kepada rakyat kecil. Sukarno sendiri, jelasnya, memang banyak menyebut dalam pidatonya bahwa ia lebih senang membangun monumen bagi rakyat kecil ketimbang untuk tokoh-tokoh besar seperti di negara lain.

Narasi tentang Sarinah dan wong cilik ini nampaknya sesuai dengan apa yang dikatakan Sukarno dalam kata pendahuluan Sarinah.

“Ia ‘mBok’ saya. Ia membantu Ibu saya, dan dari dia saya menerima banyak rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya mendapat banyak pelajaran mencintai ‘orang kecil’. Dia sendiripun ‘orang kecil’. Tetapi budinya selalu besar! Moga-moga Tuhan membalas kebaikan Sarinah itu!” tulis Sukarno.

Seniman Penganggit

Sejauh ini, belum ditemukan prasasti yang menjelaskan siapa saja seniman yang mengerjakan relief tersebut. Berdasarkan catatan dan arsip yang ditelusuri Yuke, relief Sarinah kemungkinan dikerjakan oleh kelompok seniman Sanggar Pelukis Rakyat.

Dalam catatan pematung Edhi Sunarso, misalnya, disebutkan bahwa ketika ia membuat Monumen Pembebasan Irian Barat, Bung Karno mengirim 18 orang yang belajar ke Korea, Jepang, Italia, Belanda, Prancis, dan Meksiko. Para seniman itu diminta belajar membuat diorama sejarah untuk nantinya bekerja membuat diorama Monumen Nasional.

Baca juga: Sukarno Sebagai Seorang Arsitek

“Sepulangnya belajar diorama sejarah dari luar negeri, mereka diberi pekerjaan di lantai dasar gedung Sarinah, dengan peralatan sangat cukup dan tenaga sekitar 30 orang. Semua diasramakan, dan mereka mendapatkan uang saku sebagaimana umumnya tenaga ahli yang dipekerjakan di pemerintahan,” sebut Edhi.

Dalam penelusurannya, Yuke juga membandingkan beberapa karya patung dan lukisan kelompok seniman Pelukis Rakyat dengan relief Sarinah. Seniman Sudarso dan Trubus Soedarsono misalnya, beberapa kali melukis perempuan berkebaya dan berkonde yang dianggap merepresentasikan Sarinah. Hal serupa juga ditemukan ketika membandingkan relief Sarinah dengan patung-patung karya Trubus, Djoni Trisno dan Batara Lubis. Selain itu, Yuke juga menemukan spirit yang sama dalam karya-karya Rustamadji, seniman yang juga menggarap detil relief Tugu Muda Semarang. Mereka adalah anggota Sanggar Pelukis Rakyat.

Namun, sementara ini belum ada catatan otentik yang menuliskan nama-nama pasti seniman pembuat relief Sarinah. Di sini, arsip mengenai karya seni menjadi penting dalam penelusuran sejarah. Yuke berharap, ke depan para seniman menyimpan arsip dari karya-karya mereka di Arsip Nasionasi Republik Indonesia (ANRI) agar lebih terawat.

TAG

relief sarinah

ARTIKEL TERKAIT

Siapakah Sarinah? Sarinah akan Dikembalikan ke Khittah Relief Tersembunyi di Gedung Sarinah McDonald's Sarinah Akhirnya Punah JPO Pertama di Indonesia Siapa Sebenarnya Angling Dharma? Begal di Jawa Kuno Sarinah Toko Murah, Bukan Toko Mewah Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I)