PEMERINTAH berpikir zebra cross mampu menjawab kebutuhan pejalan kaki untuk menyeberang. Namun, perilaku berkendara di Jakarta membuyarkan pikiran tersebut.
“Pengendara Jakarta kalau mendekati zebra cross bukan mengurangi kecepatan mobil, tapi justru mempercepatnya untuk mendahului si pejalan kaki yang mau menyeberang,” tulis Kompas, 12 Oktober 1965.
Muncul pikiran lain untuk memecahkan urusan menyeberangkan orang di jalan besar dan ramai. Di jalan-jalan semacam inilah nyawa pejalan kaki sering melayang. Orang menyebutnya ‘jalan setan’. Antara lain di Jalan Matraman, Salemba, Hayam Wuruk-Gajah Mada, Sudirman, dan Thamrin.
"Penyeberangan manusia pada tempat-tempat ramai sejak adanya lalu-lintas modern merupakan masalah rumit dan sulit. Ribuan warga kota telah menjadi korban keganasan lalu-lintas," F Bodmer dan Moh. Ali dalam Djakarta Djaja Sepandjang Masa, terbitan 1969.
Ada alat bantu lain untuk menyeberang bernama flicker lights atau lampu kedip di sejumlah simpangan ramai. Pengendara harus melambatkan kendaraannya saat melewati flicker lights lantaran banyak pejalan kaki menyeberang. Tapi flicker lights juga gagal menggugah kesadaran pengendara mobil dan motor agar mengutamakan pejalan kaki.
“Mereka main serobot dan ngebut saja tanpa mempedulikan pejalan kaki,” tulis Kompas, 24 Juni 1967.
Ahli transportasi mengatakan zebra cross tak cocok lagi berada di jalan-jalan besar dan ramai. Mereka mengajukan dua usul untuk mengganti zebra cross. Usul pertama berupa terowongan bawah tanah seperti di kota Paris, Prancis, dan Roma, Italia.
Usul kedua berkutat pada jembatan penyeberangan orang berbentuk huruf H (viaduct) meniru penerapan di kota-kota besar Amerika Serikat dan Jepang. Selain aman bagi pejalan kaki, ada pula keindahan kota yang bisa dinikmati dari atas jembatan.
"Jembatan penyeberangan manusia di atas jalan-jalan ramai menyelematkan sesama manusia dari kecerobohan lalu-lintas di kota internasional. Dengan aman dan tenteram kesibukan dan keramaian kota besar dinikmati oleh setiap warga kota," tulis F. Bodmer dan Moh. Ali.
Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966-1977, menolak usul terowongan bawah tanah. Biaya pembangunannya kelewat mahal. Dia juga khawatir banjir dan para gelandangan suatu saat akan memenuhi terowongan. Maka usul kedua, jembatan penyeberangan, menjadi pilihan terbaik untuk diwujudkan.
Jembatan penyeberangan itu mulai berdiri kokoh pada 21 April 1968. Letaknya persis di depan Sarinah, toko-serba-ada-modern pertama di Jakarta, di Jalan M.H. Thamrin. Pada hari peresmian, Ali Sadikin menamakannya ‘Jembatan Kartini’, sebab bertepatan dengan tanggal kelahiran R.A. Kartini, Pahlawan Nasional.
Jembatan Kartini mempunyai panjang 15 meter dan tinggi 8 meter. Bentuknya menyerupai huruf H. Terdapat dua tangga pada masing-masing sisi jalan sehingga totalnya empat tangga. Konstruksinya terbuat dari baja dan menelan biaya sebesar Rp2,3 juta setara Rp200 juta pada masa sekarang.
Ratusan orang bergantian menjajal jembatan itu pada hari-hari awal penggunaannya. Inilah jembatan penyeberangan orang pertama di Jakarta dan Indonesia. Ia menjadi lambang perkembangan pesat Jakarta sebagai metropolitan. Dan salah satu ciri metropolitan adalah perilaku tertib warga kotanya.
“Dengan dibukanya jembatan seberangan ini, semoga warga kota akan menjadi warga yang baik dengan mematuhi peraturan-peraturan serta mengunakan jembatan itu dengan baik pula,” kata Ali Sadikin dalam Kompas, 22 April 1968.
Jadi Sarang Kere
Pemda Jakarta sebenarnya tak punya dana untuk membangun ‘Jembatan Kartini'. Mereka melemparnya ke perusahaan swasta. Sebagai kompensasinya, perusahaan swasta boleh memasang reklame di badan jembatan penyeberangan selama lima tahun.
Hal demikian berlaku pula untuk pembangunan jembatan penyeberangan orang berikutnya. Hingga 1972, Jakarta telah memiliki 16 jembatan penyeberangan. Semuanya bernasib sama: ramai pengguna pada hari-hari awal, sepi ketika masuk hari-hari berikutnya.
Pejalan kaki rupanya cepat bosan menggunakan jembatan penyeberangan. Mereka rusak pagar pembatas di bawah JPO dan lebih senang menyeberang di jalan sembari menggantungkan hidup pada kebaikan pengendara mobil atau motor untuk melambatkan kendaraannya.
Tapi para gelandangan dan pengangguran justru girang dengan keberadaan jembatan penyeberangan. Itulah rumah mereka, tempat mereka berkeluh-kesah dengan sesamanya tentang beratnya hidup keseharian di Jakarta.
Sebuah cerpen berjudul “Djembatan Penjeberangan” terbit di harian Kompas 16 Mei 1972. Kisahnya tentang dua lelaki pengangguran. Mereka bertemu saban sore di jembatan penyeberangan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Dari atas jembatan penyeberangan, dua lelaki itu melihat mobil keluaran terbaru mengalir bak arus sungai. “Menghanyutkan orang-orang berpunya ke muara kesenangan.” Mereka kemudian berniat menyudahi hidup dengan melompat dari jembatan.
Selain menjadi rumah untuk para kere, jembatan penyeberangan adalah sarang para penyamun. Para penodong melakukan aksi kriminalnya di sana. Misalnya di JPO Medan Merdeka Barat, tak jauh dari dari Istana Merdeka. Warga pun semakin enggan melewatinya. Pemerintah daerah juga tak punya dana untuk merawat dan mengawasnya. Lama-lama banyak jembatan penyeberangan rusak. “Anak tangga hilang, dicopot tangan usil,” tulis Kompas, 28 Mei 1971.
Kemudian zaman bergerak cepat pada milenium baru. Warga kota terhimpit oleh waktu. Pengendara mobil dan motor saling berebut ruang di jalan demi cepat sampai di tempat tujuan. Melupakan benda berwujud rem dan makhluk bernama pejalan kaki. Maka di Jakarta menyeberang juga sebentuk perjuangan merebut ruang dan hak, baik itu melalui zebra cross atau lewat jembatan penyeberangan.
Baca tulisan sebelumnya: Awal Mula Zebra Cross di Indonesia