Kecintaannya terhadap seni dan arsitektur menjadi sisi lain Sukarno yang banyak dikisahkan oleh para seniman. Ia gandrung mengoleksi lukisan dan memiliki ketertarikan pada patung. Edhi Sunarso, pematung kesayangannya, pernah dibikin pusing karena harus bikin patung yang terlihat seolah-olah terbang.
Pasca Pemilu 1955, Sukarno banyak diundang ke luar negeri. Dalam kunjungannya, ia melihat ikon-ikon yang bisa dibanggakan negara-negara terkemuka. Ia pun pulang dengan obsesi baru, membuat monumen-monumen megah sebagai ikon negeri. Yuke Ardhiati, arsitek sekaligus penulis buku Sukarno Sang Arsitek, menyebut sejak itu visi arsitektur Sukarno lebih internasionalis dan abadi.
“Beliau maunya arsitektur modern dan semua konstruksinya harus tahan cakaran zaman dengan beton. Jadi konsep keabadian itu sudah menjadi obsesi beliau,” ujar Yuke dalam dialog sejarah daring Historia bertajuk “Bung Karno Sang Arsitek”, Selasa, 2 Juni 2020.
Pematung Andalan
Edhi Sunarso lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 2 Juli 1932. Sejak umur belasan tahun, ia bergabung sebagai pejuang revolusi dan tak sempat menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Bakat seninya ditemukan oleh seniman rakyat Hendra Gunawan. Ia kemudian menjadi anggota Sanggar Pelukis Rakyat yang dipimpin oleh Hendra dan Affandi.
Kepiawaiannya dalam seni patung membuatnya dilirik Sukarno. Ia kemudian ditantang untuk membangun monumen-monumen di Jakarta yang menjadi obsesi Bung Besar. Kepada Edhi, Sukarno minta proyek tersebut harus jalan jika tidak mau diberikan kepada seniman luar negeri.
Baca juga: Edhi Sunarso, Makanan Jiwa dari Sang Pematung
Berbagai monumen pun dibuat. Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Monumen Pembebasan Irian Barat, hingga Patung Dirgantara yang kini lebih populer sebagai Patung Pancoran. Patung yang disebut terakhir ternyata membuat kewalahan sang seniman.
“Beliau mau itu (patung) yang bisa seperti terbang, ya dibikin bentuk seperti itu. Itu cukup rumit teorinya,” kata Yuke.
Patung Dirgantara dibangun di tempat strategis yang merupakan pintu gerbang Jakarta Selatan dari lapangan terbang Internasional Halim Perdanakusuma. Lokasi ini berdekatan dengan Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia. Pendiriannya dimaksudkan agar menjadi ikon dunia penerbangan atau kedirgantaraan Indonesia.
“Waktu itu saya sedang mengerjakan Monumen Dirgantara. Saya sudah mengumpulkan banyak desain, tetapi tak ada satu pun yang memuaskan Bung Karno,” kata Edhi dalam Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra 1950-1965.
Baca juga: Sukarno Sebagai Seorang Arsitek
Bung Karno pun berkata kepadanya, “Ed, kita ini tidak bisa membuat pesawat terbang, apalagi pesawat tempur. Tetapi waktu zaman revolusi, kita tetap berani menerbangkannya. Jadi, buatlah patung yang bisa menonjolkan semangat keberanian itu. Itulah yang kita punyai. Apa yang kita punya? Kita punya semangat. Kita punya Gatutkaca!”
Sukarno kemudian berdiri dengan pose seperti tokoh Gatutkaca di hadapan Edhi, “Cepat Ed! Segera kamu buat sketnya. Seperti ini! Seperti ini!” kata Bung Karno.
Maka, Patung Dirgantara simbol penerbangan itu bukanlah pesawat, melainkan seorang manusia yang hendak terbang. Padestalnya yang dikerjakan oleh Ir. Sutami dibuat melengkung untuk mendukung kesan terbang itu.
Tak Sempat Lihat
Ketika Sukarno lengser, Patung Dirgantara belum jadi. Pengerjaannya memang sempat terhenti karena geger peristiwa 30 September 1965. Namun, Edhi tetap bertekad menyelesaikan patung “manusia terbang” itu.
“Dengan spirit yang sepenuhnya mencintai Sukarno, pembangunan patung terus dilangsungkan, sedikit-sedikit, sampai akhirnya merenggut biaya Rp16 juta,” sebut Agus Dermawan T dalam Dari Lorong-Lorong Istana Presiden.
Dari biaya Rp16 juta tersebut, ternyata Rp6 juta merupakan uang dari studio Edhi sendiri. Sukarno sendiri sempat menjanjikan akan melunasi kekurangan biaya jika nanti keluar dari Wisma Yaso.
“Dengan uangku sendiri, nanti. Negara tidak punya uang. Istana Presiden tidak pernah punya duit!” kata Presiden seperti dikutip Agus.
Baca juga: Dasar Patung Pancoran Bertekstur Kasar
Namun, tampaknya janji itu tak pernah terwujud. Bung Karno tak sempat membayar utang dan bahkan tak boleh melihat patung itu oleh rezim Orde Baru.
Patung Dirgantara ternyata menjadi patung terakhir yang dipesan Sukarno dan ia tak pernah melihat si “manusia terbang”. Ia keburu lengser, sakit, dan meninggal ketika patung tengah diselesaikan.
“Yang paling menyedihkan, jenazah Bung Karno melintas di bawah patung Monumen Dirgantara yang sedang saya selesaikan. Dan kebetulan saya sedang bekerja di sana,” kata Edhi kepada Agus.