Masuk Daftar
My Getplus

Lakon Bung Karno di Panggung Tonil

Acap mentas tonil dengan gaun yang disumpal roti di masa mudanya, Bung Karno beralih menjadi penulis naskah dan sutradara seiring bertambah usia.

Oleh: Randy Wirayudha | 29 Jun 2021
Ir. Sukarno (Bung Karno) mencintai beragam seni, termasuk seni peran dengan bermain dan menyutradarai tonil (nationaalarchief.nl)

SEBAGAI bapak bangsa, Bung Karno tidak hanya visioner di pentas politik. Sang proklamator itu juga pecinta seni, mulai dari seni rupa, seni musik, hingga seni peran.

“Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni,” ujarnya sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam otobiografi berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Sebagai pecinta seni, Bung Karno tidak sekadar jadi penikmat. Ia merupakan kolektor seni rupa pertama dan terbesar di negeri ini. Jauh sebelum itu, sejak di bangku sekolah hingga ia di pembuangan Ende dan Bengkulu, ia juga pelaku seni peran di atas panggung tonil atau sandiwara (kini teater).

Advertising
Advertising

Bung Karno kerap mendapat peran sebagai tokoh perempuan. Selain karena di zaman itu di sekolahnya belum jamak murid perempuan, wajah rupawan Sukarno muda dianggap teman-temannya paling cocok memerankan karakter perempuan.

Baca juga: Sastrawan Peranakan yang Terlupakan

Rumah pengasingan Bung Karno di Ende (kemdikbud.org)

Dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen, Walentina Waluyanti de Jonge menguraikan, wajah “ayu” Sukarno muda sangat mudah disulap jadi perempuan hanya dengan disolek menggunakan bedak dan lipstik. Ia memparipurnakan transformasinya sebagai gadis anggun dengan gaun dan dua potong roti untuk disumpalkan di dada sehingga menyerupai payudara.

“Untung saja dalam adegan (tonil) itu aku tidak perlu mencium laki-laki,” kata Bung Karno, dikutip Walentina.

Dari penampilan-penampilannya di atas pentas, Sukarno kerap mendapat apresiasi positif.

“Dari serangkaian pertunjukan di panggung tonil, Sukarno termotivasi oleh komentar-komentar positif. Ia kerap mendapatkan pujian bahwa ia punya bakat untuk tampil di depan umum. Dari situlah tumbuh rasa percaya dirinya untuk meyakinkan massa melalui pidato-pidatonya. Setelah pertunjukan tonil itu, ia mulai berani tampil. Pidato pertamanya dilakukan di depan sebuah studie-club ketika usianya masih 16 tahun,” lanjut Walentina.

Baca juga: Patung Bung Karno Berdiri di Aljazair

Bung Karno dalam pembuangannya di Bengkulu (Penyambung Lidah Rakyat)

Di Belakang Panggung

Seiring bertambahnya usia, Bung Karno mengekspresikan jiwa seninya dengan beralih dari pemain menjadi pelaku dan pemimpin produksi di belakang panggung pertunjukan tonil. Ia melakukannya ditemani istri keduanya, Inggit Garnasih kala dibuang ke Ende, Flores.

“Diceritakan bahwa suatu hari Soekarno dan Inggit melihat seorang polisi rahasia Belanda (PID) yang mengikuti mereka. Singkat cerita, polisi itu dikejar anjing dan menghindarinya dengan cara memanjat pohon. Tingkah PID ini membuat Soekarno mendapatkan ide untuk membuat kelompok sandiwara, atau saat itu disebut toneelclub,” ungkap Adimitra Nursalim dalam The Remarkable Story of Soekarno.

Baca juga: Bung Karno Dikerjai Anggota Grup Sandiwaranya

Bermodal kedekatannya dengan masyarakat, Bung Karno dibantu Inggit lalu mencari orang-orang untuk membentuk kelompok tonilnya. Terkumpullah sekitar 47 orang, meliputi pemain maupun kru produksi. Kelompok itu lalu dinamakan “Toneel-club Kelimutu”.

Inggit amat berjasa dalam tonil tersebut. Dialah yang membantu menyiapkan wardrobe maupun properti dengan para kru perempuan. Sebagaimana di masa sekolahnya, Bung Karno menggarap kelompok tonilnya bergaya ludruk.

“Kenapa aktor perempuan enggak main di tonil-tonil Bung Karno? Itu mengikuti tradisi ludruk, sebenarnya. Jadi ludruk di Surabaya itu hanya laki-laki yang main, tokoh perempuan ya yang memainkan laki-laki. Sementara perempuan siap di belakang meja dengan Bu Inggit sebagai penata produksinya,” ujar budayawan Taufik Rahzen dalam dialog sejarah Historia bertajuk “Drama Bung Karno”, 30 Juni 2020.

Toneel-club Kelimutu (kiri) dan Monte Carlo (Bung Karno: Maestro Monte Carlo)

Bung Karno lebih banyak berkutat sebagai penulis skenario dan sutradara. Mengutip Rhien Soemohadiwidjojo dalam Bung Karno Sang Singa Podium, selama empat tahun di Ende (1934-1938), tak kurang dari 13 naskah tonil yang diproduksi dari buah pikiran Bung Karno. Antara lain Rahasia Kelimoetoe, Taon 1945, Nggera Ende, dan Koetkoetbi; semua dipentaskan di Paroki Santa Maria Imaculata.

“Sukarno bisa leluasa mengadakan pertunjukan di paroki yang berada di satu kompleks dengan gereja Katolik itu tak lepas dari jasa para pastor Belanda yang dikenalnya. Para pastor Belanda tersebut seakan tidak peduli dengan larangan pemerintah (Hindia Belanda) untuk tidak mendekati tahanan politik dari tanah Jawa. Para misionaris Belanda yang akrab dengan Sukarno di antaranya adalah Pastor Huijtink, Pastro Bouma, Pastor M. van Stiphout, dan Pastor Johannes van der Heijden,” sambung Walentina.

Ketika pengasingannya dipindah ke Bengkulu pada 1938-1942, Bung Karno meneruskan kegiatan seni perannya dengan membentuk kelompok tonil baru, Monte Carlo. Empat naskah baru ditelurkannya, di antaranya Djakarta-Chungking dan Hantoe Goenoeng Boengkoek.

Baca juga: Makna Patung Bung Karno di Aljazair

Royal Cinema Bengkulu, venue Bung Karno menggelar tonilnya di semasa di Bengkulu (Bung Karno: Maestro Monte Carlo)

Dari sekira 17 naskah yang ditulisnya semasa di Ende maupun Bengkulu, Bung Karno menyiratkan sandi-sandi rahasia sebagai misi perlawanannya terhadap kolonialisme. Taufik melihat banyak pesan terselubung dari 17 naskah Bung Karno, semisal terkait demokrasi, sosialisme, isu-isu sosial, kemanusiaan, hingga perkembangan teknologi dunia pada zaman itu.

“Tema-tema yang dikembangkan sebenarnya semua kode rahasia untuk memberikan sinyal kepada gerakan perjuangan karena surat-surat saat itu sulit, disensor. Coba lihat Koetkoetbi. Itu sebenarnya kode: ‘Kalian harus mulai menghimpun diri untuk membangun gerakan bawah tanah!’ Atau ketika menulis Taoen 1945, di mana itu kode bahwa Asia mungkin akan masuk ke dalam fase baru pada 1945,” imbuhnya.

Pada naskah Djoela Goebi, Amoek, dan Nggera Ende, sambung Taufik, juga termuat kode-kode rahasia terkait persatuan dan pemberontakan. Sedangkan dalam naskah Djakarta-Chungking dan Hantoe Goenoeng Boengkoek, terdapat sandi-sandi tentang solidaritas dan patriotisme.

“Sandiwara Bung Karno itu kan sandarannya sandi, rahasia; dan wara sebagai wacana. Kalau kita lihat bahasa Jawa kuno yang lama, itu disebut Alamkara, di mana dalam sastra, dia menciptakan dunia lain di dunia yang ada. Seperti halnya relief-relief Candi Borobudur yang berupa cerita tafsiran Alamkara. Itu tidak ada dalam bahasa percakapan, lho, hanya dalam tulisan dan itu ada kode, pesan tesembunyi,” tandas Taufik.

Baca juga: Perempuan dalam Teater Bung Karno

TAG

bulan bung karno 2021 bulan sukarno teater tonil sandiwara

ARTIKEL TERKAIT

Ribut Sengketa Nama Miss Riboet Katarsis Bekas KNIL yang Merindukan Tanah Kelahiran Operasi Batavia dan Ingatan Kemudian Dardanella Menembus Panggung Dunia Ludruk, Awalnya Pekerjaan Parttime Omar Rodriga, Aktor Sandiwara di Medan Laga Ketika Sukarno Berdandan Perempuan Perempuan dalam Teater Bung Karno Negara Teater dan Teater Negara Bung Karno Misteri Kematian Frida Kahlo