Stasiun televisi SCTV mulai menayangkan Lokadrama Lara Ati perdana pada 15 Agustus 2022. Tayangan tersebut terinspirasi dari siaran ludruk Jawa Timur. Acara tersebut digagas Bayu Eko Moektito atau yang akrab disapa Bayu Skak, seorang YouTuber, komedian, penyanyi, dan penulis lagu.
Bukan hanya lokadrama Lara Ati yang mewarnai jagat hiburan Indonesia dengan spirit kesenian ludruk. Sebelumnya, perjalanan grup lawak Srimulat diangkat menjadi film. Hal itu sampai menyedot apresiasi dari Walikota Solo Gibran Rakabuming.
“Grup lawak asli Solo yang sudah berdiri sejak 1950 ini mampu menampilkan seni musik dan komedi yang melegenda,” kata Gibran dalam unggahan Twitter pribadinya pada 5 Mei 2022.
Baca juga: Dua Legenda Ludruk Indonesia
Srimulat bermula dari kelompok seni keliling sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan nama Gema Malam Srimulat. Pendirinya adalah Teguh Slamet Rahardjo. Nama Srimulat sendiri diambil dari nama istri Teguh: Raden Ayu Srimulat. Beberapa tokoh hiburan terkenal di tanah air seperti Tessy, Tukul Arwana, Tarzan, Nunung, Kadir, dan Doyok muncul dari kelompok ini.
Srimulat mengalami pasang surut. Pada 1990, Teguh membubarkan Srimulat. Itu tak bisa dilepaskan dari menurunnya animo masyarakat terhadap penampilannya. Sekitar tahun 1987, TVRI menghentikan penayangan Srimulat yang sempat mewarnai dunia pertelivisian. Bisa jadi karena peminatnya menurun dibandingkan dengan sajian hiburan lain.
Sebagai sebuah hiburan, Srimulat adalah gabungan dari berbagai jenis hiburan seperti ludruk, keroncong, kethoprak, dan beberapa genre seni pertunjukan lain. Pun dengan pemainnya. Beberapa anggota Srimulat awalnya adalah pemain ludruk, yang sedang naik daun ketika Srimulat dibentuk.
Mula Ludruk
Puluhan tahun sebelum ludruk menjadi pertunjukan populer yang difavoritkan masyarakat, seorang petani di Desa Ceweng, Kecamatan Goda, Jombang, Jawa Timur membutuhkan penghasilan tambahan. Petani bernama Samin itu merasa pendapatannya sangat kecil. Samin lalu memulai mengamen untuk mencari tambahan penghasilan. Ia berkeliling desa bermodalkan iringan musik lisan dan wataknya yang lucu.
Di masa Samin aktif “ngamen”, ludruk dikenal dengan nama Lerok. Kata “Lerok” merupakan plesetan kata “Lorek” yang berarti coretan. Nama itu berangkat dari penampilan para pengamen ludruk saat itu yang wajahnya dirias dengan model coretan agar tampak lucu dan sulit dikenali.
Samin kemudian berkenalan dengan Amir, pria asal Desa Plandi. Keduanya lalu sepakat “ngamen” bareng. Amir berposisi sebagai pemain kendang. Pertunjukan mereka semakin semarak. Agar masyarakat-penonton makin tertarik, keduanya mengajak Pono, yang bertindak sebagai wedokan (laki-laki berbusana perempuan).
Baca juga: Celetuk Dagelan Ludruk
Setiap pentas, ketiga pemain tersebut menuturkan semboyan dalam bentuk parikan: “Kenyong nyemplung neng blumbang, tinimbang nyolong aluwung mbarang.” Artinya, “Keong masuk ke kolam, daripada mencuri lebih baik mbarang (ngamen).” Keinginan untuk meningkatkan perekonomian guna memenuhi kebutuhan hidup membuat mereka rela mengamen di samping bertani sebagai pekerjaan utamanya.
“Masa ngamen yang dilakukan tiga seniman alam itu diperkirakan terjadi tahun 1907 sampai 1915,” tulis Henri Supriyanto dalam buku Lakon Ludruk Jawa Timur.
Setelah tahun 1915, lorek semakin mamikat hati masyarakat. Rombongan pengamen tersebut mulai sering diundang ke tempat orang pesta. Mereka menyebutnya dengan “nanggap lerok”.
Pada 1920-an, pertunjukan lerok diperkuat dengan tarian. Ciri khas tariannya terdapat pada bentuk kaki dan kepala. Penari menggerakan kepala (gela-gelo) dan menghentakan kaki (gedrak-gedruk) dalam pertunjukan itu. Dari kata “gela-gelo” dan “gedrak-gedruk” itulah lahir akronim Ludruk. Istilah “Lerok” dan “Ludruk” lalu berjalan beriringan.
Ludruk dan Politik Penguasa
Pada gilirannya, sebagaimana bentuk kesenian rakyat lain, ludruk menyerempet urusan politik. Para perintis kemerdekaan memanfaatkan relasi mereka dengan para seniman ludruk untuk menyampaikan pesan perjuangan. Pementasan ludruk pun acapkali digunakan para senimannya untuk mengkritik penguasa. Yang paling kentara adalah yang dilakukan Cak Durasim lewat Loedroek Organizatie yang didirikannya pada 1933.
“Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan Belanda maupun Jepang,” tulis Aji Jawoto dalam Mengenal Kesenian Nasional 4: Ludruk.
Pemerintah Hindia Belanda “kebakaran jenggot” dibuatnya. Aturan pun dikeluarkan sebagai respon.
“Ludruk yang akan pentas harus mengajukan izin pentas. Ketentuannya lakon yang dibawakan dilarang mengkritik pihak Belanda,” tulis Henri mengutip Yasema.
Pemanfaatan ludruk berlanjut di masa pendudukan Jepang. Antara 1940-1943, komunitas ludruk dimanfaatkan oleh penguasa Jepang untuk media propaganda demi kepentingannya di Indonesia.
“Setiap perkumpulan ludruk yang akan melakukan pementasan oleh Jepang diwajibkan mengajukan izin pementasan dengan melampirkan sinopsis lakon,” kata Henri.
Baca juga: Ludruk Marhaen di Kiri Panggung
Sesudah Proklamasi, ludruk pun masuk istana. Presiden Sukarno kerap mengundang grup ludruk bernama Marhaen pentas di Istana Negara.
“Berdasarkan pengakuan Rukun Astari (pelawak), tercatat 16 kali Ludruk Marhaen (nama komunitas ludruk) menerima undangan presiden Soekarno,” ungkap Henri.
Fenomena ludruk menarik minat James L. Peacock, antropolog asal University of North Carolina. Dia lalu mengadakan riset di Jawa pada 1963-1964. Selain menemukan fakta bahwa saat itu di Surabaya saja terdapat 594 grup ludruk, Peacock juga meneliti grup ludruk Marhaen yang kerap diundang ke istana.
“Ludruk Marhaen condong ke perjuangan kaum kiri, sedangkan Ludruk Tresna Enggal condong ke perjuangan nasionalis,” kata James L. Peocock dalam bukunya Rites of Modernization.
Sebagaimana pentas politik saat itu yang diwarnai persaingan kuat antara PKI dan Angkatan Darat (AD), pentas ludruk pun diwarnai “kubu-kubuan”. Bila Ludruk Marhaen “dekat” dengan kalangan Kiri, grup Ludruk Trsena Enggal erat bekerjasama dengan URIL (Urusan Moril) Kodam VIII Brawijaya. Kelompok-kelompok ludruk “Kiri” acap menjadikan pentas mereka untuk menyiarkan idealisme atau mendukung kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat, bahkan provokatif sebagaimana lakon “Matine Gusti Allah” atau “Paus Rabi” yang ditujukan untuk menyindir orang Katolik.
Setelah Peristiwa G30S, banyak komunitas ludruk dibekukan. Komunitas-komunitas tersebut dianggap berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap underbouw PKI. Akibatnya, komunitas-komunitas ludruk lain tidak berani menyelenggarakan pementasan, meskipun mereka tidak terkait PKI.
Bukan hanya menghilangkan ladang rezeki para seniman ludruk, kebijakan itu juga merepotkan mereka. Salah satu pemain ludruk yang merasakan akibat kebijakan tersebut adalah Kartolo, seniman ludruk legendaris yang saat itu bergabung dengan grup Ludruk Margo Santoso di Malang.
“Ketika Ludruk Margo Santoso sedang naik daun, tiba-tiba pecah peristiwa 30 September 1965 di Jakarta. Imbasnya, kesenian tradisional, termasuk ludruk, dilarang berpentas. Tak sedikit seniman yang dicurigai terlibat Partai Komunis Indonesia. Saya pun diwajibkan mengurus surat bersih diri ke komando rayon militer setempat. Oleh koramil, saya dinyatakan bersih,” kata Kartolo, dikutip Pusat Data Dan Analisa Tempo dalam Kartolo: Tokoh Ludruk Indonesia.
Ludruk baru dipentaskan kembali pada 1966 –menurut Kartolo, ludruk baru dipentaskan lagi pada 1967. Tentu dengan pengawasan ketat dari AD. Pengawasan tersebut untuk memastikan seniman-seniman ludruk yang terlibat tidak terkait dengan kegiatan Lekra dan PKI.
Baca juga: Alkisah Cenderamata Lekra
Setelah Orde Baru berdiri, penataan kembali masing-masing perkumpulan ludruk di Jawa Timur diupayakan antara lain dengan diadakannya Musyawarah Seniman Ludruk se-Jawa Timur pada 21-22 Juni 1968. Ada 23 perkumpulan ludruk yang terlibat. Salah satu mata acaranya adalah pidato pengarahan dari para pejabat TK I di Jawa Timur dan ceramah Perjuangan Orde Baru dari Pangdam VIII Brawijaya Brigjen M. Jasin.
Musyawarah tersebut menandai keterlibatan resmi militer dalam ludruk, yakni dengan istilah pembinaan. Beberapa grup ludruk yang dibina oleh ABRI itu antara lain Ludruk Anoraga, dibina oleh Brimob Kompi A Yon 412; Ludruk Karya Sakti dibina oleh Kodim 0818 Malang, Ludruk Perkasa Angkasa dibina oleh AURI, dan Ludruk Kusuma Sakti dibina oleh Veteran Malang. Di bawah naungan pemerintah, grup-grup ludruk itu juga berfungsi sebagai media kampanye kebijakan pemerintah. Peneliti Ludruk lulusan Universitas Negeri Surabaya, Ismawati mengungkap bahwa para seniman ludruk wajib mengikuti penataran P-4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila).
“Pada masa rezim Orde Baru, secara ideologis seniman ludruk diseleksi dengan ketat melalui lembaga penelitian khusus atau Litsus,” tulis Ismawati dalam dalam artikelnya di Jurnal Avatara Volume 5, No. 3, Oktober 2017.
Baca juga: Pencipta Mars ABRI
Sebagaimana di masa-masa sebelumnya, ludruk dijadikan penguasa sebagai wahana untuk meraih dukungan rakyat. Antara lain untuk suara dalam pemilu 1971.
“Orde Baru, dalam upayanya memanfaatkan ludruk untuk mendulang suara bagi Golkar di masayarakat bawah, menghidupkan kembali kelompok-kelompok ludruk di bawah binaan kepolisian atau tentara,” tulis Dadang Ari Murtono dalam Ludruk Kedua.
Sesudah 1975, perkumpulan-perkumpulan ludruk kembali menjadi profesional dan independen. Meski beberapa kelompok ludruk masih di bawah naungan militer, sebagian lain sudah lepas dan tidak lagi terpakem pada kampanye-kampanye yang diinginkan pihak tertentu.
Berangsur-angsur, ludruk kian populer. Salah satu pintu masuk popularitas ludruk adalah RRI Surabaya. Stasiun radio plat merah itu rutin menyiarkan Ludruk RRI.
“Bergabung dengan Ludruk RRI kala itu bisa dikatakan impian semua seniman, karena ada kemungkinan diangkat menjadi pegawai negeri. Padahal seniman yang ditarik masuk Ludruk RRI umumnya sudah punya nama dan diakui kehebatannya. Saat itu Ludruk RRI memang gudangnya seniman top. Trio lawaknya, Kancil Sutikno, Markuat, dan Sidik Wibisono, sudah tenar,” kenang Kartolo, yang bergabung dengan Ludruk RRI pada 1971.
Baca juga: Gelombang Sejarah Radio
Sukses di radio, ludruk kemudian masuk televisi. Srimulat menjadi grup ludruk yang paling populer di layar kaca. Kendati grup itu telah dibubarkan pendirinya pada 1990, para anggota Srimulat yang kadung populer di masyarakat kemudian “ngamen” sendiri-sendiri di layar kaca. Nama-nama mereka lalu tenar dan beberapa di antaranya bahkan bertahan hingga kini, seperti Nunung misalnya.
Kemajuan zaman yang di dalamnya juga terkandung perkembangan dunia seni, ikut meramaikan persaingan di dunia hiburan. Ludruk yang kian berat bersaing, perlahan kehilangan peminat. Jumlah grup ludruk berkurang dari tahun ke tahun. Pada 1994, kata Aji Jawoto, jumlah ludruk keliling hanya 14 kelompok.
“Mereka bermain di desa-desa yang belum mempunyai listrik. Grup ini didukung oleh 50-60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat minim. Bila pertunjukan sepi, mereka terpaksa mengambil uang kas untuk dapat menyambung hidup,” tulis Aji.
Kini, ludruk seakan hidup segan mati tak mau. “Generasi Z” lebih doyan K-Pop ketimbang ludruk atau seni tradisional lain.