Masuk Daftar
My Getplus

Just Mercy, Tiada Kata Terlambat untuk Keadilan

Diskriminasi dalam hukum bagi orang Afro-Amerika jadi isu klasik yang masih terjadi hingga kini. Diangkat dalam biopik “Just Mercy”.

Oleh: Randy Wirayudha | 29 Apr 2021
Drama biopik "Just Mercy" membuka kembali perkara klasik diskriminasi dalam sistem hukum di Amerika. (Warner Bros.).

LANGIT mulai temaram saat Walter ‘Johnny D’ McMillian (diperankan Jamie Foxx) berkendara di sebuah jalan sepi di Monroeville, Alabama pada suatu petang di bulan Juni 1987. Perjalanan pulang itu dinikmatinya sambil menghayati lagu “Ode to Billie Joe” yang ditembangkan Martha Reeves & the Vandellas dari radio.

Namun, tiba-tiba mobilnya dicegat aparat Kepolisian Monroe County. Johnny diciduk begitu saja tanpa dijelaskan kesalahannya, lalu dijebloskan ke penjara. Kenyataan pahit kemudian menghampiri pengusaha pengolahan kayu berkulit hitam itu. Ia didakwa membunuh gadis kulit putih berusia 18 tahun, Ronda Morrison, pada 1 November 1986.

Pengadilan distrik memvonis Johnny bersalah walau tanpa bukti. Hakim menghukum mati Johnny sekadar berdasarkan kesaksian amat meragukan dari residivis Ralph Myers (Tim Blake Nelson). Johnny pun dijebloskan ke Lapas Holman dan masuk daftar “death row” alias menunggu waktu eksekusi yang belum ditentukan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Richard Jewell dalam Kemelut Bom Olimpiade

Begitulah sutradara Destin Daniel Cretton membuka film Just Mercy. Drama biopik berdasarkan kisah nyata ini diadaptasi dari memoar pengacara HAM Bryan Stevenson bertajuk Just Mercy: A Story of Justice and Redemption.

Cretton tak bertele-tele dalam menghadirkan sosok Stevenson (Michael B. Jordan) yang tetiba datang untuk jadi juru selamat Johnny pada alur cerita berikutnya. Pengacara muda lulusan Universitas Harvard itu punya motivasi tersendiri dalam membela tahanan yang kasusnya meragukan seperti Johnny.

Tokoh Herbert Richardson, veteran Perang Vietnam yang gagal diselamatkan Bryan Stevenson. (Warner Bros.).

Dibantu advokat setempat, Eva Ansley (Brie Larson), Stevenson mendirikan lembaga bantuan hukum Equal Justice Initiative yang didanai The Southern Prisoners Defense Committee. Selain Johnny, ada lima klien lain di daftar “death row” yang ditangani Stevenson. Salah satunya veteran Perang Vietnam Herbert Richardson (Rob Morgan).

Perjuangan Stevenson dan Ansley jelas sarat gangguan. Beragam intimidasi, termasuk ancaman bom, mereka terima walau itu tak menyurutkan niat mereka membantu keenam klien. Konflik keduanya juga terjadi dengan Sheriff Tom Tate (Michael Harding) dan jaksa distrik Tommy Chapman (Rafe Spall) yang cenderung rasis dan bersikeras Johnny bersalah kendati tanpa bukti kuat.

Baca juga: Medali Pahlawan Perang Vietnam yang Dipertanyakan

Nurani Stevenson makin terpukul ketika upayanya membela Richardson gagal. Veteran Perang Vietnam itu menerima tanggal eksekusi setelah peninjauan kembali (PK) yang diajukan Stevenson ditolak Mahkamah Agung Negara Bagian Alabama.

Bagaimana proses dan hasil perjuangan Stevenson agar tak kecolongan lagi dalam menyelamatkan Johnny dari eksekusi mati? Saksikan sendiri kelanjutan drama Just Mercy di aplikasi daring Mola TV.

Diskriminasi Hukum

Selain menyisipkan lagu-lagu bergenre soul khas Afro-Amerika di era 1980-an, Cretton mengiringi adegan-adegan diskriminatif dengan music scoring orisinil nan mengharukan karya komposer Michael West. Suasana adegan demi adegan tambah terasa nyata karena pengambilan gambarnya dilakukan di Alabama, negara bagian dengan tingkat diskriminasi tinggi.

Cretton mencoba menggarapnya seotentik mungkin dengan menulis skenario berdasarkan memoar Stevenson yang juga terjun langsung jadi konsultan. Beberapa cerita tak didramatisir berlebihan dan Cretton mengupayakan adegan-adegan di ruang pengadilan senyata mungkin lewat arahan Stevenson.

“Adegan-adegan di ruang pengadilan paling membuat saya dan Michael B. gugup hanya karena kami ingin membuatnya senyata mungkin. Tetapi Michael B. didampingi Stevenson terkait pertanyaan-pertanyaan tertentu dalam menghadapi saksi dan tentunya bahasa tubuh, agar bagaimana dia sebagai pengacara muda Afro-Amerika bisa tetap tegar menghadapi sistem peradilan yang dikuasai orang kulit putih,” ungkap Cretton, dilansir Collider, 29 Desember 2019.

Baca juga: Percy Pantang Kibarkan Bendera Putih

Michael B. Jordan (kiri) & Jamie Foxx yang memerankan tokoh utama Bryan Stevenson & Walter 'Johnny D' McMillian. (Warner Bros.).

Walau kemasannya semi-dokumenter dengan gaya klasik dan minim plot twist tentang perjuangan mendobrak sistem rasis dan diskriminatif, toh Just Mercy tetap menuai banyak pujian. Selain karena kisah nyatanya inspiratif, Just Mercy cukup laris di pasaran dengan meraup keuntungan dua kali lipat dari budget-nya, 25 juta dolar. Kesuksesan itu antara lain berkat penampilan Foxx dan Michael B. sebagai dua tokoh utama yang berhasil memancing empati penonton.

“Tak seperti kebanyakan film berlabel ‘berdasarkan kisah nyata’, Just Mercy tetap setia pada fakta-fakta kasusnya. Terlebih fakta-faktanya sendiri sudah merupakan drama tersendiri,” kata kritikus Ty Burr di Boston Globe, 8 Januari 2020.

Walau kisah nyata itu sudah berlalu tiga dekade, isunya sampai kini masih sangat relevan. Mayoritas masyarakat Afro-Amerika di sejumlah negara bagian selatan Amerika mengalami diskriminasi dalam sistem hukum yang dikuasai orang kulit putih.

Baca juga: Dagelan Hukum The Trial of the Chicago 7

Just Mercy berhasil membuka kembali problem klasik tentang bagaimana terdakwa dan tahanan Afro-Amerika lazimnya tak mendapatkan hak hukum semestinya. Penderitaan mereka bertambah berat karena sedikit pihak yang mau peduli. Stevenson yang datang dari belahan utara Amerika salah satu yang peduli. Baginya, “tidak ada kata terlambat bagi keadilan.”

Perkara serupa yang dialami tokoh Johnny dan Richardson –yang kemudian dieksekusi mati sebelum kasusnya berhasil ditinjau ulang– jadi bukti ketidakberesan sistem hukum bagi orang-orang kulit hitam. Cretton menegaskannya dalam keterangan tersurat di akhir film: “Dari sembilan orang yang masuk daftar ‘death row’ dan diseksekusi di Amerika, satu di antaranya terbukti tak bersalah dan dibebaskan, sebuah angka kesalahan (sistem hukum) yang mengejutkan.”

To Kill a Mockingbird

“Home of ‘To Kill a Mockingbird,’” demikian bunyi tulisan di papan jalan menuju Monroeville. Beberapa orang kulit putih yang ditemui Stevenson selalu menganjurkannya untuk mengunjungi museum yang dinamakan dari novel laris era 1960-an karya Harper Lee itu. Bagi Stevenson, novel itu memuat ironi karena menyelipkan kisah ketidakadilan rasial orang kulit putih terhadap Afro-Amerika.

Di kota kecil itulah Johnny D lahir pada 27 Oktober 1941. Sebagaimana umumnya anak-anak Afro-Amerika, Johnny tumbuh jadi pemetik kapas.

“Walau dia tinggal di Monroe County sepanjang hidupnya, Walter (Johnny D) McMillian tak pernah mendengar tentang Harper Lee atau To Kill a Mockingbird. Monroeville begitu bangga merayakan buku Harper Lee setelah jadi novel terlaris. Para petinggi kota bahkan mengubah gedung pengadilan tua menjadi museum ‘Mockingbird’,” ungkap Stevenson dalam memoarnya, Just Mercy: A Story of Justice and Redemption.

Baca juga: Allied, Kisah Mata-Mata Perempuan di Tengah Perang

Johnny tak pernah tahu Harper Lee atau novel larisnya lantaran buku itu sekadar beredar di kalangan kulit putih. Toh Johnny juga tak pernah punya waktu lantaran sejak kecil sudah harus menguras keringat di perkebunan kapas.

Saat dewasa dan sudah menikahi Minnie, kondisi ekonomi Johnny membaik karena punya pengolahan kayu. Namun hal itu menyeretnya ke gaya hidup yang menyimpang. Selain terlibat perdagangan ganja, Johnny sering kelayapan ke bar-bar, bahkan selingkuh dengan perempuan kulit putih bernama Karen Kelly.

Sosok asli Walter "Johnny D" McMillian (kiri) & Bryan Stevenson. (eji.org).

Pada 1 November 1986 pagi, pegawai dry-cleaning Jackson Cleaners bernama Ronda Morrison ditemukan tak bernyawa dengan tiga luka tembak di belakang kepalanya oleh beberapa pengunjung. Menurut Pete Earley dalam Circumstantial Evidence: Death, Life, and Justice in a Southern Town, laporan kepolisian dan Alabama Bureau of Investigation (ABI) menyimpulkan Ronda tewas sebagai korban perampokan dan transaksi narkoba.

“Teori (kesimpulan) itu sangat pas dengan kasus rekayasa terhadap Johnny D yang mereka klaim adalah seorang bandar ganja yang biasanya melakukan pencucian uang di tempat dry-cleaning,” ungkap Earley.

Baca juga: Race, Kisah Atlet Kulit Hitam di Pentas Olahraga Nazi

Selain atas dasar itu, Johnny ditetapkan sebagai tersangka sebagai kulminasi kebencian orang-orang kulit putih terhadapnya. Nama Johnny cukup dikenal karena hobinya masuk bar-bar orang kulit putih dan selingkuh dengan perempuan kulit putih.

Betapapun Johnny berulangkali mengungkapkan dirinya sedang di gereja untuk makan malam dengan para jemaat di hari ketika Ronda dibunuh, Sherif Tom Tate dan pihak kejaksaan bersikeras mendakwanya. Kesaksian para anggota jemaat tak dipedulikan otoritas peradilan yang ironisnya justru mempercayai kesaksian seorang kriminal bernama Ralph Myers. Para juri kemudian memutuskan Johnny bersalah dan memvonisnya penjara seumur hidup. Namun hakim Robert E. Lee Key Jr. menolaknya dan meningkatkan hukuman menjadi hukuman mati.

Ilustrasi tokoh Atticus Finch yang membela Tom Robinson dalam persidangan. (imageofjustice.org).

Ketidakberesan kasus itu mendorong Stevenson membantu Johnny agar tak senasib dengan Tom Robinson, tokoh di novel Harper Lee. Stevenson melihat Johnny ibarat Tom yang pada 1930-an didakwa bersalah atas kasus pemerkosaan. Dalam persidangannya, Tom dibela pengacara kulit putih Atticus Finch yang sebelumnya melindungi Tom dari aksi main hakim sendiri para warga kulit putih.

“Cerita tentang orang kulit hitam tak bersalah yang dengan berani dibela pengacara kulit putih begitu dikagumi jutaan pembaca. Karakter Atticus Finch dan putrinya yang masih remaja, Scout, memikat pembaca seiring mengkonfrontir mereka dengan realitas dan keadaan tentang ras dan keadilan di selatan,” sambung Stevenson.

Baca juga: Seberg Melawan Arus

Finch percaya bahwa Tom tidak bersalah memerkosa gadis bernama Mayella Ewell karena Tom cacat pada tangan kirinya. Namun dia nahas, tetap diputus bersalah. Ia tewas ditembak saat berusaha kabur dari penahanannya.

Pengalaman pahit Tom itulah yang hendak dihindarkan Stevenson terkait nasib Johnny yang diyakininya tidak bersalah. Ketiadaan motif maupun alat bukti fisik menjadi alasan utama Stevenson. Lantas, siapa pembunuh sebenarnya?

Earley yang kala itu berkarier sebagai jurnalis merangkap penulis buku kriminal mengungkapkan, setelah kasus Johnny D diliput program televisi “60 Minutes” yang ditayangkan CBS News, agen-agen ABI membuka kembali arsip-arsip tentang pembunuhan Ronda dan mengubah laporan mereka dari korban perampokan menjadi korban kekerasan seksual.

“Kemudian agen-agen ABI Thomas Taylor dan Thomas Greg Cole tiba pada kesimpulan dalam mengidentifikasi tersangka sesungguhnya. Tersangka bernama samaran Howard Denmar. Saya samarkan karena dia belum pernah ditangkap dan didakwa,” imbuh Earley.

Baca juga: Minggu Berdarah di Kota Selma

Howard tak pernah melarikan diri dan justru menikmati kesenangan kala Johnny D dihukum atas kejahatan yang dilakukan Howard. Earley sempat bertemu Howard karena dia dianggap salah satu warga Monroeville yang paling antusias membicarakan kasus Ronda Morrison.

“Ia (Howard) punya obsesi yang aneh soal pembunuhan Ronda. Dia sering memberi teori-teori tertentu tentang pembunuhan itu. Tampaknya setiap ada orang baru yang tertarik pada kasus itu, Howard sudah akan tiba di depan pintu,” lanjutnya.

Sebelum Howard diperiksa ABI, Earley sempat mewawancarainya. Kepada Earley, Howard memberi teori yang menyiratkan bahwa dialah pelakunya. Si pelaku, katanya, menelepon Ronda untuk mengancam setelah sehari sebelumnya terlibat pertikaian di Jackson Cleaners.

“Oke, ini teori saya. Pada pagi di hari pembunuhan si penelepon mendatangi Ronda. Mungkin dia sebelumnya menelepon untuk menggoda dengan kata-kata cabul. Katakanlah mungkin si penelepon datang ke tempat itu dan Ronda tiba-tiba meneriaki dia di depan wajahnya. Ronda menjadi sangat marah dan mengancam akan telepon polisi. Mungkin si pelaku tak merencanakan untuk mengambil pistolnya dan jadi marah serta kehilangan kendali. Itu terjadi begitu saja karena mungkin orang itu panik,” tutur Howard, dikutip Earley.

Setelah wawancara itu, agen ABI mendatangi Earley untuk meminta informasi tentang Howard. Howard akhirnya ditemukan dan diinterogasi walau tak ditahan.

“Para agen ABI merekomendasikan Howard untuk didakwa atas pembunuhan Ronda setelah investigasi mereka rampung. Akan tetapi sejumlah pejabat kota menolak dan kemudian Howard keburu kabur ke luar kota. Ia berasal dari keluarga terpandang. Pembunuh Ronda pun tetap bebas dan tuduhan terhadap Johnny D jelas tidak adil dan semua yang mencintai Ronda masih menunggu keadilan ditegakkan,” tandas Earley.

Data Film:

Judul: Just Mercy | Sutradara: Destin Daniel Cretton | Produser: Gil Netter | Pemain: Michael B. Jordan, Jamie Foxx, Brie Larson, Rob Morgan, Tim Blake Nelson, Rafe Spall, Michael Harding, Karan Kendrick | Produksi: Endeavor Content, One Community, Macro Media, Gil Netter Productions, Outlier Society | Distributor: Warner Bros. Pictures | Genre: Drama Biopik | Durasi: 129 menit | Rilis: 25 Desember 2019, Mola TV

Baca juga: Spike Lee Joints, dari Malcolm X hingga Viagra

TAG

film molatv

ARTIKEL TERKAIT

Hasrat Nurnaningsih Menembus Hollywood Alkisah Eksotisme dan Prahara Sarawak lewat Rajah Sabra, Superhero Israel Sarat Kontroversi Alain Delon Ikut Perang di Vietnam Nostalgia Wolverine yang Orisinil Anak-anak Nonton Film di Zaman Kolonial Belanda Nyanyi Sunyi Ianfu Heroisme di Tengah Kehancuran dalam Godzilla Minus One House of Ninjas dan Bayang-Bayang Masa Lalu Ninja Hattori Misteri Kematian Aktor Inggris yang Dibenci Nazi