Masuk Daftar
My Getplus

Menahan Laju Uang Merah

Belanda membawa dan mencetak mata uang sendiri ketika berupaya kembali menjajah Indonesia. Mata uang terlarang bagi kaum nasionalis di masa revolusi.

Oleh: Martin Sitompul | 08 Okt 2020
Penukar uang di Indonesia tahun 1947. (Cas Oorthuys/geheugen.delpher.nl).

Bahkan sekalipun sudah angkat kaki karena kalah melawan Jepang, Belanda berpikir bakal kembali menguasai Indonesia. Segala persiapan dilakukan. Termasuk mencetak mata uang Hindia Belanda yang baru. Persiapan itu mulai dilakukan pemerintah Belanda di London awal Desember 1942. Ratu Belanda memberi restu dengan mengeluarkan surat keputusan tanggal 2 Maret 1943.

Uang kertas tersebut dicetak pada 1943 di American Bank Note Company, Amerika Serikat, dalam sembilan pecahan dari 50 sen hingga 500 gulden/rupiah. “Pada saat itu pemerintah telah memperkirakan bahwa DJB sulit untuk langsung berfungsi setibanya mereka di wilayah Hindia Belanda,” tulis Unit Khusus Museum Bank Indonesia dalam bahasan sejarah pra-Bank Indonesia dalam situs resminya. DJB adalah singkatan dari De Javasche Bank.

Dalam uang kertas itu dicantumkan nilai gulden dalam bahasa Belanda dan nilai rupiah dalam bahasa Indonesia. Semua pecahan uang NICA menampilkan gambar Ratu Wilhelmina dan ditandatangani bersama oleh Pejabat Gubernur Letnan Jenderal H.J. van Mook dan Presiden DJB R.E. Smits.

Advertising
Advertising

Dalam Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Repulik Indonesia, tim peneliti BI mengatakan, penggunaan kata “rupiah” pada uang NICA merupakan upaya Belanda untuk menarik hati rakyat Indonesia. Ketika diedarkan, 1 rupiah uang Jepang sama nilai tukarnya dengan 3 sen uang NICA. Dengan beredarnya uang NICA, perang mata uang terjadi di Indonesia.

Baca juga: Merentang Sejarah Uang

Rupanya harapan itu terwujud. Pendudukan Jepang berakhir. Sekalipun Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda tetap kembali ke wilayah bekas koloninya dengan membonceng Sekutu. Tak hanya membawa tentara sipil (NICA), Belanda juga membawa mata uangnya. Masyarakat menyebutnya dengan uang NICA atau “uang merah” karena pecahan 50 sen dan 10 rupiah yang banyak digunakan berwarna merah.

Para petinggi NICA seperti Charles van der Plas dan Van Mook semula berpikir ulang untuk mengedarkan mata uang NICA. Mereka melihat kebijakan ini berisiko tinggi bagi rencana menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Namun para pemimpin di Belanda, seperti tercermin dari hasil sidang Kementerian Daerah-daerah Seberang Lautan yang diadakan 30 September 1945, telah memutuskan untuk menarik mata uang rupiah Jepang dan menggantinya dengan uang NICA.

“Akhirnya, ada semacam persetujuan dari van Mook untuk mengedarkan mata uang NICA di luar Jawa dengan kurs penukaran 3 sen uang NICA untuk setiap 1 rupiah uang Jepang. Sedangkan peredaran uang NICA di Jawa dilakukan kemudian,” kata sejarawan Mohammad Iskandar dalam “’Oeang Republik’ dalam Kancah Revolusi” pada Jurnal Sejarah Vol. 6 No. 1, Agustus 2004.

Indonesia bereaksi terhadap peredaran uang NICA tersebut. “Uang ini kita anggap tidak laku; janganlah diterima, supaya jangan timbul inflasi di sini,” demikian maklumat pemerintah Indonesia pada 2 Oktober 1945 dalam arsip Sekretariat Negara RI No.48 koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Suasana penukaran uang di Indonesia tahun 1947. (Cas Oorthuys/geheugen.delpher.nl).

Ditodong Senjata

Peredaran uang NICA berjalan mulus kecuali di Jawa dan Sumatra. Muncul perlawanan dari rakyat yang mematuhi maklumat pemerintah Indonesia bahwa uang NICA bukanlah uang sah oleh Republik Indonesia.

Pada 3 Oktober 1945, para pelajar sekolah menengah di Yogyakarta merazia uang NICA. Mereka keluar-masuk kampung untuk menyita mata uang NICA. Dua hari kemudian, kaum buruh mengadakan rapat raksasa untuk menyatakan kebulatan tekad mendukung Republik Indonesia. Mereka menyatakan, dilansir harian Merdeka, 7 Oktober 1945, “semua bentuk tipu daya kaum imperialis seperti mendirikan NICA dan mengeluarkan mata uang kertas yang bertuliskan ‘Nederlandsch Indie’ akan ditentang.”

Di Jakarta, banyak pedagang pribumi menolak menjual barang dagangan kepada orang Belanda. Mereka juga enggan menerima pembayaran dalam bentuk mata uang NICA. Sementara iu kaum Republik di Bandung menyatakan penolakannya terhadap mata uang NICA. Demikian pula di Semarang, banyak rakyat yang tidak mau menerima uang merah.  Tidak jarang arena jual beli, sebagaimana diwartakan Berita Indonesia, 7 Oktober 1945, berubah menjadi arena perkelahian.

Baca juga: Lahirnya Uang Putih

Pihak Sekutu ikut turun tangan mengatasi perang mata uang tersebut. Pada 6 Oktober 1945, Brigjen Bethell selaku komandan penanggung jawab Sekutu sekaligus pemimpin pembebasan tawanan perang menerbitkan pengumuman tentang penggunaan senjata dan mata uang. Salah satu isinya menyatakan bahwa uang NICA tak berlaku dan hanya uang rupiah Jepang yang berlaku sebagai alat tukar.

Namun, pada bulan-bulan berikutnya Sekutu memperlihatkan sikap tak konsisten. Memasuki tahun 1946, alih-alih netral, kebijakan Sekutu cenderung menguntungkan Belanda. Di sisi lain Belanda tetap menjalankan siasat memperluas peredaran uang NICA.

Uang NICA senilai Lima Rupiah. (Historia.id/Koleksi Museum Bank Indonesia).

NICA sudah memperoleh akses ke kantor-kantor pusat bank Jepang di Jakarta pada 10 Oktober 1945. Bank-bank Jepang kemudian ditutup. DJB dihidupkan kembali dan diberi tugas sebagai bank sirkulasi.

Pada 6 Maret 1946, NICA melalui komandan pasukan Sekutu Sir Montagne Stopford secara resmi mulai mengedarkan uang NICA emisi 2 Maret 1943. Pada bulan berikutnya, DJB membuka kembali kantor-kantor cabangnya di kota yang telah diduduki NICA. Melalui cabang-cabangnya inilah uang NICA diedarkan. Dengan demikian, uang NICA menjadi alat pembayaran yang sah di daerah-daerah pendudukan.

Baca juga: ORI, Uang Perjuangan dan Persatuan

DJB kemudian mengeluarkan uang kertas dengan tanda tahun 1946. Uang kertas DJB tersebut juga disebut sebagai uang kertas DJB emisi darurat 1946, terbit dalam pecahan 5, 10 dan 25 gulden/rupiah. “Ketiga pecahan ini tersu beredar di wilayah Indonesia hingga nantinya ditarik dari peredaran sehubungan dengan kebijakan Gunting Sjafruddin pada 1950,” tulis Unit Khusus Museum Bank Indonesia.

Banyaknya mata uang yang beredar membingungkan rakyat kecil. Di Makassar misalnya, seperti dicatat Pramoedya Ananta Toer, dkk dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid 1, rakyat hanya mau menerima uang rupiah cetakan Jepang. Tapi kadang-kadang para pedagang dipaksa dengan todongan senjata untuk menerima uang NICA. Tapi, menggunakan uang NICA pun sama nahasnya. Pejuang atau Tentara Republik akan mencap siapa saja yang kedapatan menyimpan uang NICA sebagai mata-mata Belanda.

Uang NICA senilai Sepuluh Rupiah. (Historia.id/Koleksi Museum Bank Indonesia).

Perang Mata Uang

Pada 15 Maret 1946, pihak Republik mengeluarkan maklumat yang melarang penduduk mengedarkan uang NICA. Sebagaimana diberitakan majalah Pantja Raya, 1 April 1946, “Barang siapa menyimpan atau mengedarkan mata uang NICA akan mendapat hukuman berat.” Pihak Belanda pun melaporkan bahwa orang-orang yang memegang uang NICA dikeroyok tentara resmi Republik Indonesia di Wonotor, Probolinggo. Tak pelak, kehadiran uang NICA di tengah masyarakat seolah jadi momok menakutkan.

Pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Setelah Bank Nasional Indonesia (BNI) berdiri pada 5 Juli 1946, pemerintah Republik menetapkan penarikan beberapa mata uang dari peredaran. Mata uang itu antara lain uang De Javasche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan uang pemerintah pendudukan Jepang. Setiap penduduk hanya diperbolehkan memegang uang maksimal 50 rupiah Jepang untuk kebutuhan sehari-hari.

Kemudian, Menteri Keuangan berdasarkan surat keputusan No. SS/1/25 tanggal 29 Oktober menetapkan berlakunya Oeang Republik Indonesia (ORI). Pada 30 Oktober 1946 pukul 00.00, ORI menjadi mata uang yang sah di wilayah Republik Indonesia. Hasil cetakan ORI dikirim ke seluruh Jawa dan Madura dalam gerbong-gerbong kereta api. Kawalan ketat mengiringi pengiriman itu guna menghindari perampokan di tengah jalan. 

Baca juga: Dari Kopi Sampai ORI

Kehadiran ORI menandai dimulainya babak baru perang mata uang. Uang ORI mulai memasuki daerah-daerah pendudukan melawan uang NICA. Rakyat menyambut antusias. Umpamanya, tukang becak di Jakarta lebih memilih dibayar uang ORI senilai 20 sen ketimbang 1 rupiah uang NICA. Di Pasar Tanah Abang, harga ayam potong harganya f2 uang NICA tapi para pedagang pribumi malah menawarkan dagangannya senilai Rp 50 uang ORI.

NICA tak mau tinggal diam, Pada 15 Juli 1947, setelah hampir semua uang NICA beredar, DJB mulai mencetak uang kertasnya sendiri (post-war banknotes). Melalui Ordonansi 20 November 1947 keluarlah uang kertas pemerintah Belanda dengan tanggal emisi Batavia/Djakarta, Desember 1947, dengan pecahan 10 sen dan 25 sen. “Uang kertas pemerintah ini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia serta dicantumkan kata ‘INDONESIA’ sebagai penerbit uang,” tulis Unit Khusus Museum Bank Indonesia.

Kemudian saat uang tersebut habis, uang DJB dan uang pemerintah Hindia Belanda yang pernah beredar sebelum perang dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah mulai 27 Mei 1948. Dengan demikian, di wilayah yang diduduki Belanda beredar berbagai macam uang seperti uang NICA, uang kertas DJB, uang kertas dan uang logam pemerintah Hindia Belanda, dan uang Jepang.

Uang NICA senilai Seratus Rupiah. (Historia.id/Koleksi Museum Bank Indonesia).

Kenyataan Pahit

Seperti halnya perang dalam palagan, persaingan uang NICA dengan uang ORI terus berlangsung. Setelah Belanda meninggalkan Yogyakarta menjelang akhir 1949, Menteri Negara/Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengkubuwono menetapkan ORI tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Begitu pula dengan uang NICA yang beredar selama masa pendudukan.

“Kebijakan itu diambil karena pada hakikatnya pemerintah RI sangat kekurangan uang,” tulis Darsono dkk dalam Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia.

Baca juga: Perang Uang Palsu Masa Revolusi

Semula pemerintah Belanda meminta agar uang NICA dijadikan sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah selama proses perundingan Konferensi Meja Bundar berjalan. Sultan menolak. Meski demikian, Sultan menawarkan usulan nan jitu. Dia mempersilahkan pihak Belanda melakukan survei guna mengetahui respon masyarakat Indonesia terhadap kedua mata uang tersebut.

Pihak Belanda harus menerima kenyataan pahit.  Survei tersebut membuktikan bahwa masyarakat tetap memilih menggunakan ORI sebagai alat pembayaran yang sah. Uang NICA tak sanggup menyumpal warga Republik Indonesia yang ingin merdeka dan berdaulat.*

TAG

uang oeang74 kemenkeu

ARTIKEL TERKAIT

Tentara Jepang Bantai Pejuang Semarang di Rumah Sakit Peredaran Rupiah Palsu di Taiwan Tiga Lagu jadi Rebutan Serumpun Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Bayang-bayang Mega-Bintang Akhir Perjuangan Demang Lehman Pembagian Minyak, Gula, dan Garam dalam Peringatan Hari Ibu Alex Maramis: Bergelut dengan Kesehatan Alex Maramis: Menikmati Masa Pensiun Alex Maramis: Diplomat dalam Situasi Gawat Darurat