Masuk Daftar
My Getplus

Babi Ngepet, Mitos, dan Krisis

Babi dianggap sebagai binatang yang merusak. “Babi ngepet” dikambinghitamkan kala terjadi krisis.

Oleh: Andri Setiawan | 30 Apr 2021
Babi liar. (Wiaskara/Wikimedia Commons).

Fenomena “babi ngepet” kembali menggegerkan masyarakat. Seekor babi ditangkap warga Depok dan dianggap sebagai binatang jadi-jadian yang gemar mencuri uang. Belakangan terungkap bahwa kasus ini adalah rekayasa seorang ustad agar menjadi populer dan punya banyak pengikut.

Alih-alih menjadi guyonan, fenomena babi ngepet sesungguhnya dapat menjadi diskusi menarik mengenai sejarah dan budaya masyarakat Indonesia. Bagaimana sebetulnya latar belakang kemunculan fenomena ini hingga mengapa binatang babi dipilih menjadi perwujudan praktek ilmu hitam?

Dalam Dialog Sejarah “Riwayat Babi Ngepet” di saluran Youtube dan Facebook Historia pada Jumat, 30 April 2021, sejarawan Satrio Dwicahyo menyebut bahwa dipakainya binatang babi dalam pesugihan babi ngepet lebih merujuk pada konteks kultural ketimbang zoologi. Dalam masyarakat agraris Jawa, babi dianggap sebagai binatang hama. Babi seringkali muncul ke ladang-ladang dan merusak pertanian. Dari situ, babi dianggap sebagai musuh dan memiliki citra yang buruk.

Advertising
Advertising

“Terutama babi hutan atau celeng,” terang sejarawan yang akrab disapa Ody ini.

Baca juga: Mengungkap Sejarah Babi Ngepet

Hal itu berbeda dengan budaya di luar masyarakat Jawa yang memiliki pemaknaan lain terhadap babi. Orang Bali, Papua, dan beberapa daerah di Indonesia timur menganggap babi sebagai aset sehingga dipelihara dengan baik. Sementara, orang Tionghoa menaruh babi dalam menu meja makan mereka.

Sebagai binatang yang memiliki citra minor, babi kemudian dipakai dalam mitos “babi ngepet”. Hal ini menunjukkan bahwa babi memiliki derajat yang rendah dan kotor. Bahkan, babi menempati posisi di bawah anjing. Dalam tradisi adu bagong di Jawa Barat misalnya, jelas Ody, jika babi belum kalah oleh seekor anjing maka jumlah anjing ditambahkan hingga babi tersebut mati.

Lalu, kenapa babi jadi-jadian mencuri uang?

Ody menyebut, praktik-praktik ilmu hitam termasuk ”babi ngepet” yang berorientasi pada pengumpulan kekayaan disebabkan oleh ketimpangan sosial ekonomi. Pada masa Tanam Paksa, misalnya, penduduk Jawa yang sebelumnya memiliki tingkat ekonomi cenderung sama tiba-tiba dipisahkan oleh jurang ketimpangan yang mencolok. Ada yang dirugikan Tanam Paksa hingga jatuh miskin, ada pula yang diuntungkan besar-besaran dari politik kolonial ini.

Sementara, dalam sistem kolonial yang rasis dan diskriminatif, hanya ada dua acara untuk masuk ke dalam kelas yang diakui. Pertama, lewat lahir dari keluarga bangsawan atau priyayi, kedua, dengan memiliki kekayaan.

Baca juga: Alkisah Celeng, Celengan dan Babi Ngepet dari Zaman Majapahit

Tentu hanya segelintir orang yang memiliki prasyarat itu. Jalan singkat untuk menjadi kaya kemudian ditempuh terlepas dari apakah kekayaan itu benar-benar didapat. Salah satunya dengan praktik pesugihan “babi ngepet”.

“Jadi ukurannya adalah akumulasi harta, gitu ya. Bahwa untuk naik (kelas) harus jadi orang kaya. Dan cara jadi orang kaya adalah dengan melakukan hal-hal itu,” jelas Ody.

Praktik-praktik pesugihan ini juga dipengaruhi oleh krisis. Ketika krisis, terang Ody, muncul dua fenomena. Pertama, munculnya “pegangan”, yang berupa benda-benda seperti jimat, yang dipercaya dapat menyelamatkan seseorang dari ketidakpastian di masa krisis.

Kedua, krisis menyebabkan ketimpangan sosial-ekonomi semakin besar. Ada orang yang justru kaya raya karena krisis, ada pula yang mengalami kemiskinan bahkan pemiskinan. Dari situ lahirlah isu yang dipersalahkan sebagai penyebab kesusahan orang-orang.

“Dikambinghitamkanlah, kurang lebih begitu. Salah satunya adalah babi ngepet,” kata Ody.

Krisis yang dimaksud Ody tidak melulu krisis yang secara langsung dirasakan oleh rakyat banyak seperti pandemi Covid-19. Contoh krisis ini adalah krisis pada level makro.

“Krisis-krisis ekonomi di level-level atas mungkin orang di bawah tidak merasakan secara langsung. Tapi kemudian ada keresahan-keresahan sosial ekonomi yang terjadi karena krisis itu,” terang Ody.

Baca juga: Babi dan Masyarakat Islam Nusantara

Hal inilah yang membuat fenomena pesugihan seperti babi ngepet, kolor ijo hingga tuyul muncul pada masa-masa di luar krisis.

Di situlah pengkambinghitaman muncul sebagai salah satu fungsi mitos. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, menginterprestasikan Nyi Loro Kidul sebagai mitos yang sama. Mitos tersebut digunakan Mataram setelah Sultan Agung dua kali gagal menyerang Batavia. Ratu yang dipercaya bertakhta di pantai selatan itu diklaim sebagai permaisuri para raja Mataram.

“Itu kan untuk menjelaskan bahwa Mataram kehilangan kendali atas pantai utara,” jelas Ody.

Di era yang lebih modern, budaya populer turut melanggengkan mitos-mitos. Pada era Orde Baru, muncul film-film dan produk budaya pop lain yang menceritakan tentang babi ngepet hingga beragam makhluk jadi-jadian lainnya. Ini kemudian masih terjadi pada era pasca-reformasi.

“Kebudayaan populer ini punya andil dalam menciptakan narasi babi ngepet di memori atau di pengetahuan masyarakat,” ujar Ody.

TAG

babi ngepet krisis

ARTIKEL TERKAIT

Banjir Produk Jepang di Hindia Belanda Bung Hatta: Presiden Jangan Lip Service Bergaya dengan Pakaian Baru Saat Resesi Filantropi Masa Resesi Ekonomi di Hindia Belanda Bantuan Kolonial untuk Pengangguran Rokok Kretek Rumahan Eksis di Tengah Krisis Krisis Ekonomi Masa Sukarno Krisis Barang pada Zaman Jepang Bertahan Menghadapi Resesi Ekonomi Sejarah Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS