UMAT Muslim sedunia mengutuk aksi nekat Terry Jones yang akan membakar Al-Qur'an pada peringatan ke-9 tragedi 11 September 2010. Jika pendeta gereja kecil di Gainesville, Florida, Amerika Serikat, itu jadi membakar Al-Qur'an, kehidupan beragama pasti terancam. Namun, bagaimana jika pembakaran Al-Qur'an terjadi di Indonesia?
Dua tahun sebelum pembentukan Lajnah Pentashih Al-Qur'an pada 1957, terjadi peristiwa yang diingat banyak orang: “Pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng, persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan,” tulis Tempo, 14 April 1984.
Bisa jadi, peristiwa itu menjadi salah satu latar belakang pembentukan lembaga yang bertugas untuk mentashih (memeriksa atau mengoreksi) setiap mushaf Al-Qur'an yang akan dicetak dan diedarkan kepada masyarakat Indonesia. Tujuannya, “untuk menjaga berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Al-Qur'an,” tulis lajnah.kemenag.go.id.
Baca juga: Al-Qur'an dan Hadis dalam Perdukunan di Barus
Al-Qur'an Bombay merupakan mushaf paling populer. Sejak pertengahan abad ke-19, Al-Qur'an Bombay beredar luas di kawasan Asia Tenggara. Peredarannya dapat dilihat dari peninggalan mushaf India di beberapa tempat: Palembang, Demak, Madura, Bima, Malaysia, hingga Filipina Selatan. Bahkan, menurut I. Proudfoot, kepala Asian History Centre Australian National University, Australia, percetakan litograf (cetakan batu) Al-Qur'an pertama di Nusantara oleh Haji Muhammad Azhari ibn Kemas Haji Abdullah Palembang pada 1854 terinspirasi oleh percetakan Al-Qur'an di India.
Pada 1850-an, Palembang menjadi komunitas Arab terbesar di Asia Tenggara. Bersama Sumatra Barat, daerah ini menjadi partisipan tertinggi dalam ibadah haji. Azhari adalah generasi ketiga rombongan ibadah haji –ayah dan kakeknya telah menjalankannya. Setelah bertahun-tahun di Tanah Suci, dia melanjutkan studi di al-Azhar, Kairo, Mesir. Setelah itu, selama perjalanan pulang dengan kapal dari Timur Tengah ke Singapura, terutama sebelum Terusan Suez dibuka, “biasanya kapal singgah di sekitar pelabuhan India, dan sangat mungkin Azhari bekerja di Bombay” tulis Proudfoot dalam “Early Muslim Printing in Southeast Asia,” Libi, Vol. 45, 1995.
Selama di Kairo dan India, Azhari mengenal dan mempelajari percetakan Al-Qur'an. Percetakan di India menggunakan teknik pencetakan baru, yaitu litograf yang populer di Eropa selama 1806-1817 terutama untuk karya seni, dan dibawa ke India oleh East India Company pada 1824. Pada 1850, pusat percetakan didirikan di Lucknow-Cawnpore, Agra, Delhi, Lahore, dan Hyderabad (Deccan).
“Pada dekade terakhir abad ke-19, litograf Al-Qur'an […] tafsir dan sejenisnya dalam bahasa Melayu dan Jawa dicetak di Bombay (bersama banyak karya sastra populer), Lucknow-Cawnpore, Mekah, Kairo dan Istanbul,” tulis Proudfoot.
Baca juga: Percetakan Al-Qur'an Era Kolonial
Di Singapura, persinggahan terakhir sebelum menuju Palembang, Azhari membeli litograf untuk mencetak Al-Qur'an. Di sana, dia menemukan lima percetakan komersial yang dimiliki orang Eropa. Salah satunya Mission Press, yang dijalankan seorang misionaris Protestan, B. P. Keasberry. Pada 1849, dia menggunakan teknik ini untuk mempublikasikan autobiografi seorang pujangga dan perintis sastra Melayu modern Abdullah bin Abd al-Qadir Munsyi. Keasberry yang lahir di Hyderabad telah berhubungan dengan perkembangan percetakan di India. Tak diragukan lagi litograf India beredar di Singapura. “Mungkin atau tidak, Azhari membawa peralatan litografnya ke Mission Press,” tulis Proudfoot.
Tapi, menurut Martin Van Bruinessen, Azhari belajar sendiri mengoperasikan litografnya. “Al-Qur'annya –di mana dia menulis 14 halaman berbahasa Melayu mengenai pengenalan cara pengucapan dan membaca– siap menemukan pembeli,” tulisnya dalam “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 146, No. 2/3 1990.
Azhari menjual Al-Qur'an dengan harga 25 gulden atau sekitar £2. “Penjualan 20 eksemplar dapat mengembalikan biaya peralatan percetakan dan memungkinkan untuk biaya kertas yang baik dan binding,” tulis Proudfoot.
Sementara itu, menurut dosen Departemen Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Titik Pudjiastuti, dalam Memandang Palembang dari Khazanah Naskahnya, dalam naskah Al-Qur'an koleksi pribadi Abdul Azim Amin terdapat catatan yang menyebutkan bahwa Azhari mengenal tradisi percetakan litograf dari gurunya di Singapura dan Malaka. “… dia selesai mencetak Al-Qur'an pada hari Senin tanggal 21 Ramadan 1264 Hijriyah bertepatan dengan 21 Agustus 1848. Yang dicetak sebanyak 105 Al-Qur'an selama 50 hari. Jadi, dalam satu hari sebanyak dua Al-Qur'an tiga juz. Tempat mengerjakan percetakannya di Kampung 3 Ulu, Palembang, dengan kepala kampung Demang Jayalaksana Muhammad Najib ibn Demang Wiralaksana Abdullah Alhalik…”
Baca juga: Al-Qur'an Cetakan Jepang
Menurut Kepala Seksi Koleksi dan Pameran Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Ali Akbar, tak mengherankan jika tradisi cetak mushaf di kawasan Asia Tenggara dimulai dengan mereproduksi mushaf yang sebelumnya telah dicetak di India. Jenis mushaf lain yang beredar di Asia Tenggara adalah cetakan Turki dan Mesir. Selama bertahun-tahun ketika memulai usaha pada 1930-an, Penerbit Sulaiman Mar’i yang berpusat di Singapura dan Penang, Malaysia, hanya mereproduksi mushaf cetakan Bombay. Itu terlihat dari ciri hurufnya yang tebal.
“Mushaf yang paling banyak dicetak adalah mushaf dengan gaya tulisan dan harakat tebal, yang kemudian sering disebut sebagai Al-Qur'an Bombay,” tulis Ali dalam “Mushaf Lama Indonesia,” lajnah.kemenag.go.id, 6 Juni 2011.
Beberapa jenis mushaf berhuruf tebal itu selama puluhan tahun digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara, terutama hingga 1970-an. Sebagian kecil penerbit masih mencetak mushaf jenis ini hingga sekarang, selain mencetak mushaf dengan jenis huruf lain karena semakin banyak pilihan jenis huruf yang bisa digunakan. Para penerbit biasanya menggunakan teks mushaf India sebagai teks pokok, sementara untuk teks tambahan di bagian depan dan belakang mushaf bervariasi, tergantung pada pilihan penerbit. Teks tambahan berupa keutamaan membaca Al-Qur'an, makharij al-huruf (tempat keluarnya huruf), tajwid, doa khatam Al-Qur'an, daftar surah dan juz, dan lain-lain, biasanya ditulis oleh para khattat (kaligrafer) Indonesia.
Sejak 1984, Departemen Agama menetapkan mushaf standar, baik untuk pedoman Lajnah maupun kiblat para penerbit percetakan Al-Qur'an. Pada Februari 1983, dari hasil Musyawarah Kerja Alim Ulama Ahli Al-Qur'an IX, Menteri Agama Alamsjah menerima tiga kopi induk Al-Qur'an standar, yang penulisan bakunya dikerjakan oleh kaligrafer Ustad Ahmad Syadli selama empat tahun. Naskah Al-Qur'an standar itu baru diedarkan setelah Musyawarah Kerja Alim Ulama Ahli Al-Qur'an X pada akhir Maret 1984.
“Yang diselesaikan para ulama itu sebenarnya tiga macam mushaf, yaitu mushaf Usmani (bersandar pada huruf naskah Usman dulu) yaitu naskah Al-Qur'an biasa; mushaf Bahriyah, khusus untuk para hafizh, penghafal Al-Qur'an; dan mushaf Braille, untuk para tunanetra,” tulis Tempo, 14 April 1984. Mushaf Braille menggunakan huruf Braille Arab, al-Kitabah al-Arabiyyah an-Nafirah, sebagaimana diputuskan oleh konferensi internasional Unesco pada 1951.
Baca juga: Penerjemahan al-Qur’an di Cina
Menurut Ali, penetapan mushaf Al-Qur'an Rasm Usmani berdasarkan mushaf cetakan Bombay, “karena model tanda baca dan hurufnya telah dikenal luas oleh umat Islam di Indonesia sejak puluhan tahun –bahkan mungkin hampir satu abad,” tulisnya, “Pentashihan dan Lahirnya Mushaf Standar Indonesia,” lajnah.kemenag.go.id, 6 Juni 2011.
Sedangkan, mushaf Al-Qur'an Bahriyah modelnya diambil dari mushaf cetakan Turki yang kaligrafinya sangat indah. Jenis mushaf ini juga digunakan secara luas oleh umat Islam di Indonesia, khususnya di kalangan para penghafal Al-Qur'an, dengan ciri setiap halaman diakhiri dengan akhir ayat –dikenal sebagai “ayat pojok”.
Al-Qur'an Bombay kian terpojok oleh Al-Qur'an ayat pojok. Menurut Asosiasi Penerbit Mushaf Al-Qur'an Indonesia (APMI), Al-Qur'an Bombay yang beredar sebelum tahun 2000 dicetak di atas kertas koran kualitas rendah yang mudah robek dan tak tahan lama. Tulisannya berbentuk bulat dan pendek-pendek, serta sulit dibaca karena huruf hijaiyahnya banyak yang ditumpuk atau tidak linier. Paling mencolok dari Al-Qur'an Bombay, ayat penutup suatu surat tak terletak di posisi paling bawah halaman, kadang pada seperempat atau di tengah-tengah halaman. Akibatnya permulaan ayat sebuah surat tak bisa berada di posisi paling atas halaman tersebut. Sehingga terkesan tidak rapi, membacanya juga sulit, apalagi yang matanya silinder.
Masyarakat pun lebih menggemari Al-Qur'an ayat pojok. Setiap ayat terakhir sebuah surah selalu di pojok bawah sisi kiri halaman. Sehingga surat selanjutnya bisa di halaman baru mulai dari atas. Selain itu, cetakan huruf-huruf tertata rapi, linier.*