Ramadan 1964 merupakan cobaan berat datang bagi Buya Hamka. Suatu hari, dua petugas polisi datang menyambangi rumahnya. Hamka yang baru saja tiba dari mengisi pengajian di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan dibuat terkejut. Polisi berpakaian preman itu datang membawa surat perintah penahanan, berdasarkan Undang-Undang Antisubversif atau Penpres No.11 dan No.13. Mereka juga menyatakan hendak mengadakan penggeledahan.
Seketika suasa menjadi riuh di kediaman Hamka. Tidak ada satupun anggota keluarga yang menyangka kejadian seperti itu akan menimpa kepala keluarganya. Diceritakan putra pertama Hamka, Yusran Rusydi, dalam Buya Hamka: Pribadi dan Martabat, istri Hamka yang ketika itu sedang sakit sampai tidak sadarkan diri setelah melihat Hamka dibawa ke Markas Besar Kepolisian.
Baca juga: Hamka dan Maag Berjamaah
“Saya lihat ayah merangkul bahu ummi. Kemudian dengan suara hati-hati berbisik, bahwa polisi itu bermaksud menahan, tapi tak lama karena ayah yakin tak bersalah apa-apa,” tuilis Yusran.
Situasi Politik
Hamka benar-benar dihadapkan dengan situasi yang amat berat. Dia terpaksa menghabiskan ibadah puasa di balik jeruji besi. Namun Hamka tidak sendiri. Sejumlah tokoh lain mendapat perlakuan yang sama. Bahkan ada yang diamankan jauh sebelum Hamka. Situasi politik kala itu rupanya yang menjadi sebab penderitaan Hamka dan keluarganya.
Mohammad Hatta pernah menyebut politik Demokrasi Terpimpin yang diterapkan oleh Sukarno pada periode 1960-an ini sebagai sebuah sistem diktator karena anti kritik. Dalam bukunya Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara, Sri Bintang Pamungkan menyebut banyak tokoh yang menjadi korban pada periode masa tersebut, di antaranya: Sutan Sjahrir, Anak Agung Gde Agung, Mohammad Roem, dan lainnya.
Baca juga: Hamka dan Patung Nabi Muhammad
“Mereka ditangkap dan bahkan dipenjarakan, serta Masyumi dan PSI menajdi partai-partai terlarang,” tulis Sri Bintang.
Menurut Taufik Abdullah, dkk (ed) dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional, alasan diamankannya Hamka oleh pemerintah adalah karena majalah Pandji Masjarakat yang dipimpinnya telah menerbitkan sebuah esai berjudul “Demokrasi Terpimpin” yang berisi kritikan terhadap kekuasaan Sukarno. Di samping itu ada berbagai kecurigaan lainnya.
Penantian Panjang
Selama hampir sebulan penuh kabar tentang keberadaan Hamka belum juga diperoleh. Pihak keluarga hampir tak memiliki informasi yang jelas di mana sang ayah ditahan. Mereka juga tidak bisa memastikan bagaimana kondisi kesehatannya. Sampai kemudian menjelang Idul Fitri, ada kabar yang menyebut bahwa keluarga diperkenankan bertemu Hamka di Sekolah Kepolisian Sukabumi.
“Penantian tanpa kepastian itu menyiksa batin kami. Umi terutama, kecemasannya tak berakhir. Kami menanti dengan gelisah, khawatir Ayah terluka. Kami selalu mengumandangkan doa, agar ayah baik-baik saja,” ungkap Yusran.
Setelah berkendaraan dari Jakarta ke Sukabumi, keluarga akhirnya bisa bertemu dengan Hamka. Yusran melihat ayahnya tampak agak kurus dan kulitnya seakan bertambah hitam. Pertemuan itu begitu menggembirakan hati Hamka dan keluarganya. Cukup lama tidak bertemu membuat obrolan ringan pun menjadi penuh makna.
Baca juga: Hamka dan Tongkatnya
Selama waktu kunjungan tersebut, obrolan mereka diawasi ketat oleh para penjaga di sana. Keluarga Hamka pun dilarang menggunakan bahasa daerah agar seluruh percakapan dapat dipantau. Bahkan ketika obrolan mengarah kepada kondisi Hamka dan kehidupannya di tahanan, para penjaga itu akan segera bereaksi.
“Kenapa ayah tampak hitam?” tanya salah seorang anak.
“Oh, bapak sekarang berjemur setiap pagi,” seorang polisi dengan sigap memotong pembicaraan. Keluarga hanya bisa terdiam. Para polisi seolah tak mau lepas mengawasi mereka.
Begitu waktu berkunjung habis, keluarga berpamitan kepada Hamka. Ketika hendak menjabat tangan dan menicum pipi, Yusran dibisiki oleh Hamka: “Polisi ini sama dengan Gestapo Nazi”. Kata-kata Hamka itu begitu menyayat hati Yusran. Ketakutan keluarga akan perlakuan buruk yang diterima Hamka mungkin saja benar adanya.
Sesudah kunjungan pertama itu, beberapa kali keluarga Hamka kembali diberi kesempatan membesuk. Tetapi tempat Hamka ditahan selalu berpindah-pindah. Dari Sukabumi ke Cimacan, kemudian ke Puncak, dan Megamendung. Istri Hamka selalu ikut ketika jadwal membesuk, di mana pun tempatnya.
Baca juga: Buya Hamka di Bawah Panji Muhammadiyah
Dalam suatu kunjungan ke Cimacan, salah seorang putra Hamka diselipi sepucuk surat oleh Hamka tanpa sepengetahuan polisi. Surat kecil itu rupanya berisi alasan penangkapan Hamka. Dia dituduh mengepalai sekelompok orang, yang didanai Tengku Abdul Rahman, bermaksud membunuh Sukarno. Hamka dituduh memimpin rapat di Tanggerang bersama kawan-kawannya: Gazhali Sahlan, Dalali Umar, dan Kolenel Nasuhi.
“Yang mengerikan, ayah terpaksa membuat pengakuan palsu karena menghindari penyiksaan fisik. Selama sebulan ayah diperiksa oleh satu tim polisi dengan sorot lampu, dituding, dihinda, dan diancam supaya mengakui tuduhan. Surat itu kami rahasiakan terhadap umi,” tulis Yusran.
Rumah tahanan yang terakhir ditempati Hamka berada di Megamendung. Tetapi tidak lama jika dibandingkan tempat lainnya karena dia dibebaskan bersyarat setelah penyakitnya kambuh di tahanan. Hamka kemudian menjalani perawatan di Rumah Sakit Persahabatan dan dibebaskan setelah kekuasaan beralih ke Orde Baru.