Sejarah Awal Label Halal
Awalnya, makanan yang diberi label justru yang haram: mengandung babi.
Mulai 17 Oktober 2019, pemerintah mewajibkan semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia bersertifikat halal. Keputusan ini diatur dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Selain itu, seperti diberitakan cnnindonesia.com, kewenangan sertifikasi produk halal yang sebelumnya dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM MUI), diambil alih oleh pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Bagaimana sejarah label halal? Dalam situs halalmui.org disebutkan bahwa LPPOM MUI didirikan pada 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Badan ini dibentuk setelah kasus lemak babi di Indonesia yang meresahkan masyarakat pada 1988. Pemerintah meminta MUI berperan dalam meredakan masalah tersebut. Maka, berdirilah LPPOM.
Baca juga: Babi dan Masyarakat Islam Nusantara
Namun, penanganan label halal pada makanan sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum LPPOM didirikan. Hal ini diungkapkan Sunarto Prawirosujanto, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Kementerian Kesehatan. Dia menyebutkan bahwa penanganan label halal sudah dimulai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 280/Men.Kes/Per/XI/1976 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi.
“Konsep SK diajukan kepada Menteri Kesehatan yang waktu itu dijabat oleh almarhum Prof Dr. GA Siwabessy. Almarhum langsung menyetujuinya walaupun almarhum beragama Kristen,” kata Sunarto dalam biografinya, Rintisan Pembangunan Farmasi Indonesia.
Peraturan ini, kata Sunarto, mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan “mengandung babi” dan diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih. Bekerjasama dengan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), label dibagikan secara cuma-cuma pada perusahaan yang memerlukan.
Baca juga: Kue Bika Bernama MUI
Mengapa yang dikasih label malah makanan yang mengandung babi?
“Pertimbangannya waktu itu ialah bahwa 99 persen makanan dan minuman yang beredar di Indonesia adalah halal,” kata Sunarto. “Jadi lebih praktis mengamankan yang 1 persen yang tidak halal itu dulu, termasuk makanan di restoran dan hotel.”
Namun, lanjut Sunarto, perusahaan yang ingin mencantumkan label halal boleh saja asal bertanggung jawab. Kendati waktu itu belum ada undang-undang khusus yang mengatur hal itu, perusahaan yang menyebutkan produknya halal namun terbukti tidak halal dapat dituntut sebagai penipuan sesuai undang-undang yang ada.
Baca juga: Sejarah Pembentukan Kementerian Agama
Selain itu, sambil menunggu peraturan labelisasi halal yang akan makan waktu, Sunarto mengusulkan agar perusahaan yang yakin produknya tidak mengandung bahan hewani atau alkohol diberi kelonggaran untuk mencantumkan label “tidak mengandung bahan hewani dan alkohol”. “Dengan demikian 90 persen persoalan sudah bisa diatasi,” kata Sunarto.
Sepuluh tahun kemudian, pencantuman label halal baru secara resmi diatur dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan No. 68 tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan. Dalam peraturan yang diteken pada 12 Agustus 1985 ini, yang membuat label halal adalah produsen makanan dan minuman setelah melaporkan komposisi bahan dan proses pengolahan kepada Departemen Kesehatan.
Baca juga: Fatwa MUI untuk Gim
Pengawasan dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Deirektorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan. Dalam tim ini terdapat unsur dari Departemen Agama.
MUI sendiri baru terlibat dalam menangani labelisasi halal setelah dibentuknya LPPOM pada 1989 dan berakhir pada 2019 karena kewenangan sertifikasi produk halal diambil alih oleh pemerintah melalui BPJPH Kementerian Agama.
Tulisan ini diperbarui pada 17 Oktober 2019.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar