Sejarah Pembentukan Kementerian Agama
Pembentukan Kementerian Agama sempat ditolak. Gagal dalam pemungutan suara. Baru berhasil dibentuk pada Kabinet Sutan Sjahrir II.
Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bahwa Kementerian Agama adalah hadiah untuk NU menjadi kontroversi di media sosial hingga trending topic. Tanggapan pun datang dari berbagai kalangan, terutama PBNU, MUI, dan Muhammadiyah.
Menag Yaqut mengklarifikasi bahwa pernyataannya itu disampaikan dalam forum internal keluarga besar NU untuk memberi semangat kepada para santri dan pondok pesantren. Dia memastikan bahwa Kementerian Agama tidak diperuntukkan hanya untuk NU. Buktinya, Kementerian Agama memberikan afirmasi kepada semua agama. Di Kementerian Agama juga ormas keagamaan tidak hanya NU.
“Bahkan di Kemenag ada Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, itu kader Muhammadiyah. Ada juga Irjen Kemenag yang bukan dari NU,” kata Menag Yaqut dalam kemenag.go.id.
Bagaimanakah sejarah pembentukan Kementerian Agama?
Tokoh-tokoh pergerakan Islam yang berhimpun dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) telah menyuarakan keinginan mendirikan Kementerian Agama sejak masa akhir kolonial Belanda. Pada April 1941, Gabungan Politik Indonesia (Gapi) menyusun memorandum mengenai ketatanegaraan Indonesia masa depan.
Deliar Noer, profesor ilmu politik, dalam Partai Islam di Pentas Nasional, menyebut bahwa dalam rangka menyokong rencana Gapi, MIAI mengharapkan kepala negara Indonesia haruslah beragama Islam, dua pertiga anggota kabinet terdiri dari orang-orang Islam, didirikan suatu Departemen Agama, dan bendera merah putih harus disertai lambang bulan sabit dan bintang.
Baca juga: Sejarah Awal Label Halal
Buku Amal Bakti Departemen Agama RI: 3 Januari 1946–3 Januari 1996 (50 Tahun Departemen Agama) dengan jelas menyebut usulan departemen agama tersebut. “K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Mas Mansyur, Wondoamiseno, dan Dr. Sukirman, pengurus Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), menyampaikan usul agar dibentuk Kementerian Urusan Islam Khusus,” tulis buku terbitan Departemen Agama itu.
Memorandum Gapi diusulkan kepada Komisi Visman yang dipimpin oleh Dr. F.H. Visman. Komisi ini dibentuk pemerintah kolonial Belanda untuk mengumpulkan dan mencatat keinginan-keinginan ketatanegaraan dari berbagai golongan masyarakat Indonesia. Memorandum Gapi yang mendapat dukungan dari berbagai pihak itu tidak ditanggapi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Setelah Belanda digantikan Jepang, pemeritahan militer merangkul kalangan Islam dengan mendirikan Kantor Urusan Agama atau Shumubu dan di daerah-daerah dibentuk Shumuka. Pada suatu kesempatan, Abikusno Tokrosujoso, seorang tokoh pergerakan, menyampaikan usulan susunan pemerintahan Indonesia kepada pemerintah Jepang. Dalam susunan pemerintahan parlementer itu terdapat Departemen Agama dengan K.H. Mas Mansyur sebagai menteri agama.
Usulan pembentukan Departemen Agama kembali disuarakan oleh Mohammad Yamin. Taufik Abdullah, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam pengantar buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik suntingan Azyumardi Azra dan Saiful Umam, mencatat bahwa Mohammad Yamin mengusulkan dalam salah satu sidang BPUPKI agar pemerintah Republik Indonesia, di samping mempunyai kementerian-kementerian umum, seperti luar negeri, dalam negeri, keuangan, dan sebagainya; juga membentuk beberapa kementerian negara yang khusus.
Salah satu kementerian yang diusulkan Yamin ialah “Kementerian Islamiah” yang menurutnya “memberi jaminan kepada urusan Islam (mesjid, langgar, surau, wakaf), yang di tanah Indonesia dapat dilihat dan dirasakan artinya dengan kesungguhan hati.” Kementerian khusus kedua yang diusulkan Yamin adalah kementerian yang menyangkut soal-soal Kooti (daerah kerajaan).
Baca juga: Imajinasi Yamin Tentang Papua
Menurut Taufik Abdullah, meskipun beberapa usulan Yamin tentang susunan negara bisa diterima dan menjadi bagian dari UUD 1945, usulan “Kementerian Islamiah” tidak begitu mendapat sambutan. “Mungkin karena ketika dia mengajukan usul itu, Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dengan ‘tujuh kata bertuah’ yang merupakan kompromi antara ‘golongan Islam’ dan ‘kebangsaan’ telah tercapai. Bukankah ucapan ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ telah mencakup semuanya?” tulis Taufik Abdullah.
Namun, lanjut Taufik Abdullah, setelah Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi harus disahkan, dalam rapat yang diadakan pada 18 Agustus 1945, atas usul Bung Hatta yang didukung oleh beberapa tokoh Islam, PPKI mengganti “tujuh kata bertuah” itu dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Dalam sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945, selain memutuskan membagi wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi, agenda lain adalah pembentukan kabinet atau kementerian negara. Panitia Kecil mengusulkan 13 kementerian termasuk Kementerian Agama.
Menurut Jan S. Aritonang, pendeta dan profesor di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta, dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Mr. Johannes Latuharhary, anggota PPKI dari Maluku, mengajukan keberatan terhadap pembentukan Kementerian Agama itu. Dia mengatakan “…Jika mengadakan suatu Kementerian Urusan Agama, nanti bisa ada perasaan-perasaan tersinggung atau tidak senang. Umpamanya saja, jikalau menteri itu seorang Kristen, sudah tentu kaum muslimin tidak senang perasaannya dan sebaliknya. Oleh sebab itu, saya usulkan supaya urusan agama dimasukkan dalam urusan pendidikan…”
Baca juga: Kue Bika Bernama Majelis Ulama Indonesia
Pendapat Latuharhary itu tidak mendapat tanggapan negatif dari golongan Islam, bahkan Abdul Abbas, tokoh Islam dalam kapasitas sebagai anggota PPKI yang mewakili Sumatra, mengusulkan: “… Supaya segala hal yang berhubungan dengan agama janganlah masuk departemen yang istimewa…Dan urusan agama lebih baik dimasukkan dalam Departemen Pengajaran, Pendidikan dan Agama.”
“Setelah dilakukan pemungutan suara, ada enam suara mendukung pembentukan Kementerian Agama secara khusus dan 15 suara menolak. Dengan demikian urusan agama untuk sementara dimasukkan ke dalam tanggung jawab Kementerian Pengajaran dan Pendidikan,” tulis Jan S. Aritonang.
Oleh karena itu, dalam kabinet pertama yaitu kabinet presidensial tidak ada Kementerian Agama. “K.H.A. Wahid Hasyim, menteri negara dalam kabinet tersebut (2 September 1945–14 November 1945), ditugaskan mengurus urusan politik terutama yang berhubungan dengan Islam dan umat Islam,” tulis Amal Bakti Departemen Agama RI.
Begitu pula dalam Kabinet Sutan Sjahrir I pada 14 November 1945–28 Februari 1946, Departemen Agama juga belum ada.
Pembentukan Kementerian Agama kembali diusulkan dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal DPR RI. Pengusulnya anggota KNIP dari Karesidenan Banyumas yang dipimpin oleh K.H. Abudarrdiri dengan anggota M. Sukoso Wiryosaputro dan M. Saleh Suaidi sebagai juru bicara.
Dalam sidang pleno BP-KNIP tanggal 26 November 1945, M. Saleh Suaidi mengusulkan: “Mohon supaya dalam negara Indonesia yang sudah merdeka ini, jangan hendaknya urusan agama hanya disambillalukan dalam tugas Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya, tetapi hendaknya diurus oleh suatu Kementerian Agama tersendiri.”
Usul tersebut mendapat dukungan anggota KNIP dari Bogor antara lain Mohammad Natsir, Dr. Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan N. Kartosudarmo. Usul tersebut diterima secara aklamasi oleh semua anggota sidang BP-KNIP.
Presiden Sukarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang kemudian menyatakan bahwa adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah. Sebagai realisasi dari janji tersebut, pada 3 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan ketetapan No. 1/S.D. yang antara lain berbunyi: “Presiden Republik Indonesia; Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat; Memutuskan: mengadakan Departemen Agama.”
Baca juga: Mengapa NU Keluar dari Masyumi?
Keputusan dan penetapan pemerintah itu disiarkan oleh RRI dan diberitakan oleh pers dalam dan luar negeri, dengan H.M. Rasjidi sebagai menteri agama yang pertama.
“Pada Maret 1946, Rasjidi diangkat sebagai menteri [agama] yang pertama, meskipun dia mula-mula mengetahuinya dari berita surat kabar saja. Dia menjadi menteri [agama] dalam Kabinet Sjahrir II,” tulis Taufik Abdullah.
Sejak itu, Kementerian Agama menjadi nomenklatur yang selalu ada dalam setiap kabinet. Selama 75 tahun Kementerian Agama, wakil NU lebih banyak menjabat menteri agama dibandingkan Muhammadiyah. NU kehilangan posisi menteri agama pada masa Orde Baru yang ditempati oleh wakil dari partai penguasa, Partai Golkar. NU kembali mengambil alih posisi menteri agama pada masa Reformasi hingga sekarang. Di luar itu, menteri agama sempat dijabat oleh cendekiawan muslim dan mantan tentara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar