Kesadaran Sejarah Tumbuhkan Kepedulian pada Kota
Sikap peduli terhadap kota bisa dimulai dengan menghadirkan sejarah publik sebagai upaya kolaborasi sejarawan dan komunitas sejarah.
DALAM kurun 30 tahun terakhir, komunitas sejarah berkembang ke arah interaksi publik dengan masa lampau. Beriringan dengan perkembangan akses informasi kesejarahan, maka semakin luas pula komunitas sejarah yang dilakukan masyarakat atau kelompok yang terorganisir. Persoalan komunitas sejarah menjadi salah satu bahasan menarik dalam seminar nasional sejarah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 15 Desember 2017.
“Potensi kemunculan komunitas kota harus direspons oleh sejarawan. Karena identitas kota dibentuk atas cerita yang dibangun dari sejarah kota itu sendiri. Jika cerita yang muncul tidak mendukung kemunculan kota yang inklusif atau multikultur maka akan mematikan ruang kota buat banyak orang. Jadi, tugas moral sejarawan ada di situ. Jika kita sudah bersepakat untuk engage dengan orang untuk membangun civic culture, harus yang bersifat inklusif,” ujar Farabi Fakih, sejarawan UGM, kepada Historia.
Beberapa tahun belakangan, Farabi mengakrabi beberapa komunitas yang ada di Indonesia, di antaranya adalah komunitas Kota Toea Magelang di Jawa Tengah dan komunitas Aluet di Bandung, Jawa Barat. Dia menilai komunitas-komunitas ini sudah berupaya merespons kota dengan segala ceritanya.
Frasa “komunitas sejarah”, menurut Faye Sayer dalam Sejarah Publik, digunakan untuk menjelaskan proyek warisan budaya di Hungate, York, Inggris Raya. Ini adalah satu situs yang tidak memiliki komunitas menetap sejak 1930-an. Namun, terletak di jantung kota yang padat penduduk, dalam lingkungan huni yang memiliki warisan kesejarahan dan arkeologis yang kaya.
Pada dekade 1960 hingga 1970-an, di Inggris muncul gerakan sejarah publik seperti history workshop. Kemudian pada 1983, Bradford Heritage Recording Unit terbentuk atas usaha dewan kota dan pemerintah kota Bradford didanai komisi pemerintah yang menyediakan kerja sementara bagi penganggur. Komunitas ini merekam kisah-kisah penduduk yang multikultural dan memberikan kesempatan bagi komunitas lokal untuk terlibat dalam komunitas sejarah.
Ujung dari gerakan yang luas ini, yang didukung pendanaan dari pemerintah dan riset akademik dalam komunitas sejarah, adalah bertumbuhnya perkumpulan lokal baru, dan menjadi bagian dari 654 perkumpulan sejarah lokal di Inggris hingga saat ini.
Jika komunitas sejarah sudah begitu subur di Inggris, bagaimana dengan di Indonesia?
“Pasca runtuhnya negara kolonial, penulisan sejarah di Indonesia tertarik sepenuhnya ke universitas. Jadi, bukan lagi dilakukan oleh masyarakat. Sementara kalau kita lihat dari sejarah kota sebelumnya, ditulis oleh orang-orang biasa, seperti guru, dokter, bagian dari kemunculan masyarakat sipil kolonial,” ujar Farabi yang membawakan makalah “Sejarah Kota sebagai Public History: Komunitas Menulis Sejarahnya Sendiri.”
Di Amerika dan Eropa, sejarah publik sudah berkembang sedemikan rupa. Sejarah publik merupakan gerakan metodologi dan pendekatan yang mempromosikan studi dan praktik kolaboratif dari ilmu sejarah, yang praktisnya merangkum misi untuk membuat masyarakat paham dan berwawasan sejarah. Jadi, kalangan sejarawan ingin menarik masyarakat atau komunitas menjadi partisipan dalam produksi sejarah.
“Penciptaan public history di Indonesia itu mulai tampak dalam konteks kemunculan komunitas pelaku sejarah. Pasca Orde Baru, mulai bermunculan kan beberapa komunitas, seperti komunitas tur sejarah,” ujar Farabi.
Beberapa komunitas sejarah, dalam penelitian Farabi, sudah bergerak secara massif dengan menggelar kelas-kelas literasi seperti menggelar diskusi, menulis dan jalan-jalan. Kesadaran sejarah ini mahal. Banyak kota di Indonesia tidak memiliki masyarakat sipil yang kuat. Mereka abai dengan lingkungannya, seperti membiarkan jalanan hancur dan trotoar kotor. Sikap abai ini karena masyarakat setempat tak memiliki perasaan memiliki sebuah kota tempat dia bernaung. Pemunculan sikap peduli terhadap kota bisa dimulai dengan menghadirkan sejarah publik sebagai hasil kolaborasi sejarawan dan komunitas sejarah.
“Sebagai contoh, bisa antara sejarawan dan orang-orang yang aktif di komunitas bisa menulis sejarah bareng. Mereka bisa saling melengkapi. Sejarawan bisa membantu mengenai masalah metodologi lalu akses sumber, dan komunitas bisa melengkapi perspektif. Komunitas ini kan sudah memiliki sudut pandang menciptakan masyarakat sipil yang kuat atau lingkungan yang inklusif,” ujar Farabi.
Tambahkan komentar
Menarik
Belum ada komentar