Tarif Trump dan Bayang-bayang Tarif Smoot-Hawley yang Menyulitkan AS
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru. Di masa lalu strategi proteksionisme seperti ini justru menyulitkan AS untuk bangkit dari krisis.
AMERIKA SERIKAT tengah menjadi sorotan dunia usai Presiden Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif impor baru yang menyasar puluhan negara, termasuk Indonesia. Kebijakan yang juga dikenal dengan Tarif Trump itu menjadi bagian dari strategi proteksionisme untuk mengurangi dampak kompetisi dari negara-negara lain dalam rangka melindungi industri dalam negeri AS. Hal ini sejalan dengan slogan American First yang kerap disuarakan oleh Trump.
Kebijakan yang diumumkan pada “Hari Pembebasan” atau Liberation Day di Rose Garden, White House, pada 2 April 2025 itu mengatur penetapan tarif dasar sebesar 10 persen untuk hampir semua negara, dengan tarif lebih tinggi dibebankan kepada sekitar 60 negara yang dinilai memiliki hubungan dagang “paling tidak adil” dengan AS. Trump menetapkan tarif impor barang asal Indonesia sebesar 32 persen. Tarif ini merupakan tarif respirokal atau tarif timbal balik karena Indonesia juga membebankan tarif impor terhadap produk-produk AS.
Kebijakan Tarif Trump diberlakukan secara bertahap. Tahap pertama berupa tarif dasar 10 persen untuk semua negara yang berlaku efektif pada 5 April 2025. Selanjutnya, tarif khusus untuk sejumlah negara diterapkan empat hari kemudian, yakni 9 April 2025. Trump berpandangan pemberlakuan tarif impor baru ini akan membantu AS keluar dari praktik perdagangan yang tidak adil dan ketidakseimbangan perdagangan global. Menurutnya, Tarif Trump merupakan wujud dari upaya kemandirian ekonomi dan mengembalikan kejayaaan Negeri Paman Sam.
Baca juga:
Upaya AS melindungi industri domestik dari tekanan persaingan global dengan memberlakukan Tarif Trump menuai kontroversi. Tak sedikit warga AS yang mengaitkannya dengan Smoot-Hawley Act pada 1930. Didasarkan pada nama Senator Reed Smoot dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Willis Hawley dari Partai Republik, kebijakan itu mengatur kenaikan tarif lebih dari 20.000 barang impor. Alih-alih membawa kejayaan bagi AS, kebijakan ini justru blunder dan semakin menyulitkan AS untuk bangkit dari hantaman Depresi Besar.
“Sekarang, kata banyak ekonom, ketika Presiden Donald Trump berusaha memberlakukan tarif yang tinggi dan menyeluruh, RUU Smoot-Hawley menawarkan kisah peringatan tentang kerugian dari pemberlakuan strategi proteksionisme yang mengakibatkan perang dagang,” tulis Andrew Jeong dalam “Trump Tariffs Conjure Specter of Smoot-Hawley Act, a Depression-Era Blunder”, termuat di The Washington Post, 8 April 2025.
Menurut Douglas A. Irwin, profesor ekonomi di Dartmouth College, dalam Peddling Protection: Smoot-Hawley and the Great Depression, kebijakan Tarif Smoot-Hawley merupakan salah satu undang-undang yang paling terkenal di abad ke-20. Kendati impor tidak melonjak ke dalam negeri atau menyebabkan masalah besar bagi perekonomian, Kongres menaikkan tarif barang impor dengan tujuan untuk melindungi petani dan produsen dari persaingan dengan pihak asing.
“Dalam menyusun kebijakan tersebut, mereka tidak mengikuti logika ekonomi atau mempertimbangkan kepentingan konsumen dan eksportir yang akan dirugikan oleh tarif tersebut. Sebaliknya, mereka terlibat dalam bentuk politik yang paling terang-terangan, melayani tuntutan kepentingan khusus yang ingin membatasi impor. Tidak mengherankan jika beberapa negara asing membalas dengan mengenakan bea masuk atas ekspor AS. Pembatasan perdagangan ini menyebar tepat ketika ekonomi dunia mulai tenggelam dalam depresi. Kontribusi Tarif Smoot-Hawley terhadap keruntuhan perdagangan dan Depresi Besar tahun 1930-an telah diperdebatkan sejak saat itu,” tulis Irwin.
Baca juga:
Ronald Young dalam “Smoot-Hawley Tariff Act”, termuat di The Great Depression and the New Deal, menjelaskan kendati kebijakan Tarif Smoot-Hawley merupakan bagian penting dari regulasi untuk mengatasi Depresi Besar, kebijakan ini juga merupakan bagian dari tradisi panjang perlindungan pemerintah AS terhadap industri dalam negeri dengan cara menghambat impor.
“Sejak akhir abad ke-19, anggota parlemen dari Partai Republik telah menganjurkan tarif yang lebih tinggi untuk melindungi industri baru yang muncul setelah Perang Dunia I, seperti industri kimia dan pewarna. Legislasi utama pada 1920-an termasuk Undang-Undang Tarif Darurat tahun 1921 dan Tarif Fordney-McCumber tahun 1922. Tarif yang lebih tinggi ini sebagian berkontribusi pada kemakmuran ekonomi Roaring Twenties (sebutan untuk tahun 1920-an di Amerika Serikat yang kerap dikaitkan dengan kemakmuran ekonomi serta munculnya budaya konsumen modern, red) ,” tulis Young.
Ketika tanda-tanda masalah ekonomi muncul di akhir tahun 1920-an, Partai Republik kembali berupaya menaikkan tarif. Pada kampanye presiden tahun 1928, kandidat presiden dari Partai Republik, Herbert Hoover, menjanjikan tarif lebih tinggi kepada para petani. Di awal tahun 1920-an, para petani di AS menghadapi jatuhnya harga barang, nilai tanah, dan pendapatan. Mereka melobi pemerintah agar menyusun kebijakan untuk meringankan situasi ini. Ada beberapa upaya untuk menaikkan harga barang pertanian melalui intervensi pemerintah, namun Presiden Calvin Coolidge memveto undang-undang ini pada 1927 dan 1928. Oleh karena itu, ketika Hoover mencalonkan diri sebagai presiden, ia mengusulkan bantuan untuk sektor pertanian dan melindunginya dari persaingan asing.
Janji-janji Hoover yang sarat akan strategi proteksionisme memudahkan jalannya memenangkan kontestasi pilpres AS. Kemenangannya membuat Partai Republik mendapatkan sejumlah kursi di Kongres dan memberikan mereka suara mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Setelah menjabat pada Maret 1929, Hoover menyerukan agar Kongres mengadakan sesi khusus untuk menangani krisis pertanian dan mengeksplorasi langkah-langkah yang memungkinkan untuk melindungi perekonomian AS. Begitu sidang dimulai, Kongres yang didominasi oleh Partai Republik ingin memberlakukan kenaikan tarif yang lebih luas di luar sektor pertanian. Lebih jauh lagi, kepentingan pertanian yang pro-tarif, termasuk produsen gandum dan petani yang menghadapi persaingan dengan produk Kanada, mengorganisir sebuah koalisi dengan beberapa kepentingan manufaktur untuk menekan Kongres agar meloloskan kebijakan yang mengusung strategi proteksionisme.
Baca juga:
Meski memiliki suara mayoritas, pengesahan RUU Tarif Smoot-Hawley membutuhkan waktu lebih dari satu tahun dan diwarnai perdebatan di Kongres. Di sisi lain, pada musim semi 1930, lebih dari 1.000 ekonom di AS menulis surat yang mendesak Presiden Hoover untuk memveto rancangan undang-undang tarif yang sedang dipertimbangkan oleh Senat. Mereka berpandangan kebijakan tersebut berpeluang besar menjadi “sebuah kesalahan” karena akan merugikan eksportir di masa resesi parah dan memprovokasi negara lain untuk melakukan pembalasan dengan menerapkan tarif mereka sendiri.
“Presiden menerima petisi dari para ekonom yang mendesaknya untuk memveto RUU Tarif Smoot-Hawkey. Namun, Hoover kemudian menandatangani RUU tersebut menjadi undang-undang pada 17 Juni 1930... Secara keseluruhan, Smoot-Hawley memengaruhi tarif hampir 21.000 produk impor,” tulis Young.
Kebijakan Tarif Smoot-Hawley berkontribusi pada hilangnya kepercayaan di Wall Street dan mengisyaratkan isolasionisme AS. Dengan menaikkan tarif impor hampir 20 persen, kebijakan ini memicu pembalasan dari pemerintah asing, yang berkontribusi pada kenaikan tarif di seluruh dunia dan hubungan perdagangan yang diskriminatif secara terbuka.
Forrest Capie mencatat dalam “Disintegration of the International Economy between the Wars”, termuat di The Great Depression of the 1930s, setidaknya tiga puluh negara segera memprotes kebijakan Tarif Smoot-Hawley dan melakukan pembalasan. Beberapa negara, seperti Italia dan Swiss, memboikot barang-barang AS. Sementara itu, Jerman yang merasa telah diperlakukan tidak adil oleh tindakan AS juga mulai memberlakukan “tarif penyeimbang”. Pada 1932, Jerman menaikkan tarif sebesar 100 persen. Revisi tarif juga terjadi di Kanada, Kuba, Meksiko, Australia, dan Selandia Baru. Ketika pemberlakuan tarif tidak cukup untuk mengurangi impor sesuai dengan yang diinginkan, langkah-langkah lain, seperti kuota, pun digunakan.
Selain konsekuensi ekonominya, kebijakan Tarif Smoot-Hawley juga memiliki dampak politik. Kebijakan ini memicu kebangkitan politik nasionalis di negara-negara lain. Di Kanada, hal ini berkontribusi pada terpilihnya Partai Konservatif pro-Inggris dan pro-proteksionis yang menyerang balik AS dengan lebih keras.
Baca juga:
“Partai Konservatif yang beroposisi di Kanada semakin menekan Perdana Menteri William Lyon Mackenzie King dari Partai Liberal untuk menaikkan tarif terhadap barang impor yang masuk ke negara tersebut. King pun menurutinya dengan menerapkan ‘bea masuk penyeimbang’ terhadap 16 produk dari AS. Lebih jauh lagi, Partai Konservatif memenangkan pemilu berikutnya di Kanada dengan platform tarif yang lebih tinggi,” tulis Young.
Meski krisis ekonomi telah terjadi di AS sebelum Tarif Smoot-Hawley diberlakukan, namun tak dapat dipungkiri kebijakan ini berdampak pada perlambatan perdagangan yang melemahkan ekonomi dan semakin memperburuk kemerosotan ekonomi Negeri Paman Sam.
Seperti diungkapkan Irwin, kebijakan Tarif Smoot-Hawley mengandung pelajaran penting bagi para pembuat kebijakan saat ini bahwa tidak ada pemenang dalam perang dagang. Proteksionisme melahirkan proteksionisme dan, karena impor suatu negara adalah ekspor bagi negara lain, pembatasan perdagangan yang lebih tinggi akan merugikan semua pihak. Lebih jauh lagi, konsekuensi dari perang dagang saat ini berpotensi jauh lebih buruk bagi AS.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar