Lima Pawang Tim Garuda dari Belanda
Sepanjang sejarah sudah ada lima “pawang” yang pernah membesut Tim Garuda. Seperti apa catatan mereka?
TERLEPAS dari beraneka catatan yang diukirnya sejak 2020, Shin Tae-yong (STY) menyudahi kiprahnya menukangi timnas Indonesia. Penggantinya masih menunggu waktu meski Ketua PSSI Erick Thohir menyinggung suksesornya adalah pelatih asing lagi tapi kali ini asal negeri Belanda.
Dirangkum dari beberapa sumber, prestasi STY di antaranya membawa timnas Indonesia U-23 mencetak sejarah dengan lolos pertamakali ke Piala Asia U-23 2024. Tim “Garuda Muda” bahkan mampu mencapai babak semifinal.
Yang tak kalah bikin bangga adalah pelatih asal Korea Selatan itu mengantarkan timnas Indonesia senior ke putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Peluang timnas Indonesia menjejak ke Piala Dunia masih terbuka lantaran pada fase ini, Indonesia masih bertengger di urutan ketiga klasemen Grup C di bawah Jepang dan Australia dari enam partai terakhir dan menyisakan empat laga lagi.
Kendati mulanya tidak mudah, STY akhirnya dianggap publik sepakbola Indonesia sebagai pahlawan. Pemerintah RI bahkan memberi apresiasi berupa “Golden Visa” pada 25 Juli 2024 yang diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Penghargaan itu jadi dasar pemberian izin tinggal kepada STY di Indonesia rentang 5-10 tahun.
Baca juga: Empat Pelatih Asing yang Diapresiasi Positif Negeri Besutannya
Namun, PSSI mengumumkan pemutusan kontrak STY pada Senin (6/1/2025), tiga pekan pasca-Indonesia gugur di Grup B Piala AFF 2024. Sejatinya PSSI masih terikat pada kontrak STY yang durasinya hingga 2027. Oleh karenanya PSSI harus siap membayar kompensasi pemecatan STY sebagai pelatih kepala timnas senior dan timnas U-23. Namun PSSI belum mengungkap berapa kompensasinya.
“Keputusan (pengakhiran kontrak) ini dibuat berdasarkan pertimbangan panjang dan matang oleh PSSI dan Badan Tim Nasional secara menyeluruh terhadap performa tim dan tujuan jangka panjang yang ngin dicapai oleh Tim Nasional Sepakbola Indonesia,” demikian pernyataan PSSI di laman resminya, Senin (6/1/2025).
Adapun Ketua Umum PSSI Erick Thohir mengungkapkan pasca-pengumuman pemecatan STY, pengganti STY adalah pelatih yang diimpor dari Belanda. Rencananya pelatih anyar itu akan tiba di tanah air pada Sabtu (11/1/2025) dan diperkenalkan secara resmi melalui konferensi pers keesokan harinya.
Tak ayal di ranah publik beberapa nama pelatih asal Belanda muncul jadi kandidat kuat suksesor STY. Di antaranya Erik ten Haag, Patrick Kluivert, Marco van Basten, hingga Louis van Gaal.
Siapapun yang dipilih, termasuk nama baru di luar nama-nama di atas, ia akan jadi “pawang” timnas Indonesia asal Belanda yang keenam sepanjang sejarah. Berikut lima pelatih impor asal Belanda yang pernah menukangi timnas Indonesia dengan pengecualian Jan Mastenbroek yang mendampingi timnas Hindia Belanda di Piala Dunia 1938:
Wiel Coerver (1975-1976 dan 1979)
Lahir di Kerkrade, Belanda pada 3 Desember 1924, Wiel Coerver mencuat tak hanya jadi pelatih top tapi juga teknokrat sepakbola asal Belanda selain Rinus Michels yang dihormati dunia sepakbola. Jika Rinus Michels dikenal sebagai “Bapak Total Football”, Wiel Corver dijuliki “Albert Einsteinnya Sepakbola”.
Indonesia beruntung karena Coerver bersedia dipinang PSSI untuk melatih sekaligus membina sepakbola. Ia datang medio 1975, tak lama setelah membawa Feyenoord Rotterdam meraih trofi UEFA Cup (kini Europa League) musim 1973-1974. Kala itu salah satu andalan Feyenoord adalah Wim Rijsbergen, yang kelak pada 2011 juga menukangi timnas Indonesia.
Coerver datang dengan koleganya, Wim Hendriks, untuk jadi “pawang” para pemain muda yang berkumpul di Diklat Salatiga, sebuah pusat training camp dengan konsep “sekolah” yang baru didirikan Ketum PSSI Brigjen (Purn.) Bardosono pada 1 Februari 1975.
“Jenderal Bardosono sampai memiliki sebuah ‘Buku Hijau’ dengan berniat menjadikan Indonesia juara di Asia. Langkah pertamanya dengan lolos ke Piala Dunia (1978) di Argentina. Untuk mencapai cita-cita besar ini, sang jenderal menginginkan Wiel Coerver sebagai sosok yang tepat menyiapkan para talenta muda di (diklat) Salatiga,” tulis harian De Telegraaf edisi 1 Februari 1975.
Memang target besar itu akhirnya kandas di tengah jalan. Ronny Pasla dkk. gagal lolos di Grup 2 pra-Olimpiade 1976 hingga akhirnya digantikan pelatih lokal, Suwardi Arland, pada 1976. Walau sering bertikai dengan federasi, Coerver kembali didatangkan lagi pada 1979, khusus untuk menukangi timnas Indonesia di SEA Games 1979 dengan raihan medali perak.
Coerver berhasil meninggalkan banyak warisan berharga, di antaranya kedisiplinan, profesionalisme, dan metode pembinaan “Coerver Method”. Metode yang gagal dijalankan di Indonesia itu justru sukses ditiru teknokrat Amerika Tom Byer dalam merevolusi sepakbola Jepang.
“Tom Byer terkenal dengan pembinaan usia muda yang fokus ke anak-anak di bawah 12 tahun. Bahwa kemudian revolusi itu terjadi di Jepang, padahal Wiel Coerver-nya yang jadi landasan latihan-latihan teknik (Byer) ini sebelumnya melatih timnas Indonesia,” ujar pengamat sepakbola Timo Scheunemann kepada Historia.ID.
Baca juga: Revolusi Sepakbola Jepang
Frans van Balkom (1979-1980)
Walau sama-sama kelahiran Kerkrade, Belanda, Frans van Balkom yang lahir pada 23 Oktober 1939 datang ke Indonesia dengan jalan berbeda dari Coerver. Sebelum jadi pelatih “Tim Garuda” asal Belanda kedua mulai 1978, Balkom sempat bertualang lebih lama di Asia dengan mengarsiteki klub Jepang Tokyo Verdy pada 1963 dan timnas Hong Kong pada 1976.
Mengutip Tempo edisi 23 Februari 1980, Balkom didatangkan klub Galatama, NIAC Mitra Surabaya, tetapi kemudian “dipakai” PSSI untuk menggantikan Coerver. Ketum PSSI Letjen (Purn.) Ali Sadikin berharap banyak pada Balkom untuk mendampingi timnas di pra-Olimpiade 1980.
Namun, ketika itu materi pemain masih terbatas lantaran pada 1979 PSSI juga mengirim banyak pemain ke Brasil lewat program PSSI Binatama. Hasilnya, timnas babak belur meski Ali Sadikin tak menyalahkan siapapun sebagai dampak gemblengan pelatnas jangka pendek. Di pra-Olimpiade 1980 Zona Asia ronde pertama, timnas Indonesia berkubang di urutan lima klasemen Grup 2 dan hanya lebih baik dari Filipina di urutan buncit.
“Frans van Balkom melatih kesebelasan nasional ke turnamen pra-Olimpiade Moskwa Grup II Asia tahun 1980 di Kuala Lumpur, menerapkan retreating defence. Jauh sebelumnya juga sudah dibawa oleh Tony Pogačnik (1954-1963) ke Indonesia. Versi van Balkom, para pemain, termasuk pemain sayap, langsung mundur secepat mungkin ke daerah sendiri dan baru dari sana mulai membayangi lawan,” tulis tokoh sepakbola Kadir Jusuf dalam Sepak Bola Indonesia: Sistem Blok, Total-Football, Mencetak Gol, Catenaccio.
Baca juga: Lima Pelatih Barcelona dari Belanda
Henk Wullems (1996-1997)
PSSI merekrut pelatih kelahiran Haarlem, 21 Januari 1936 itu setelah sebelumnya sang arsitek membawa Bandung Raya juara Divisi Utama Liga Indonesia musim 1995-1996. Maka mulai 1996 menjelang SEA Games 1997 di “rumah sendiri”, Henk Wullems dipercaya mengasuh skuad jebolan PSSI Primavera dan PSSI Baretti didampingi asistennya, Ron Jacobs.
Wullems dikenal tidak hanya pakar strategi tapi juga tak segan memompa mental dan motivasi para pemain. Meski begitu, catatan terbaiknya hanya mampu mengantarkan Kurniawan Dwi Yulianto cs. meraih perak SEA Games 1997.
PSSI pun tak memperpanjang kontraknya. Alasannya, tidak tercapai negosiasi gaji yang dianggap terlalu tinggi. PSSI kemudian memilih Rusdy Bahalwan sebagai suksesornya.
“Kasihan nasib Henk Wullems. Pelatih asal Belanda ini cukup berhasil menangkat tim nasional setelah sebelumnya babak belur di tangan Danurwindo. ‘PSSI tak mampu membayarnya. Daripada uang itu dibayarkan untuk pelatih asing, lebih baik digunakan untuk pendanaan pelatnas’ kata Ronny (Pattinasarany) yang kini Penasihat Tekni Persija Jakarta,” tulis majalah Ummat, volume 3 tahun 1998.
Kendati begitu, tangan dingin Wullems belum pudar ketika beralih lagi ke pentas domestik. Menjabat direktur teknik dan berduet dengan pelatih lokal Syamsuddin Umar, Wullems berperan membawa PSM Makassar juara Liga Indonesia 1999-2000.
Baca juga: Ronald Koeman Pahlawan Katalan dari Zaandam
Wim Rijsbergen (2011-2012)
Kegagalan timnas Indonesia di Piala AFF 2010 membuat PSSI di bawah Djohar Arifin memberhentikan Alfred Riedl. Sebagai gantinya, “rezim” pimpinan PSSI baru mendatangkan Wim Rijsbergen, eks-pelatih tim junior Ajax Amsterdam, pada Juli 2011.
“Riedl yang dipuja para suporter, terkesan didepak dengan alasan dicari-cari semata karena ia adalah peninggalan rezim lama,” kata buku Polemik Kepemimpinan Murdin Halid Memimpin PSSI Jilid III.
Satu dari sekian agenda mepet yang dihadapi Rijsbergen adalah kualifikasi Piala Dunia 2014. Alhasil Bambang Pamungkas dkk. pun gagal memberi hasil manis. Rijsbergen beralasan ia tidak pernah atau setidaknya jarang dilibatkan dalam seleksi.
“Di Teheran, Indonesia dipukul 0-3 oleh tuan rumah. Ketika di kandang sendiri, Indonesia tetap harus mengakui supremasi Iran, 1-4. Melawan Bahrain pun tim nasional kita keok 0-2. Dengan Qatar pun Indonesia tidak bisa menang. Muncul desakan supaya Wim dipecat. PSSI cuek saja dan Wim pun tak bersedia mengundurkan diri. Tapi Wim berusaha ‘cuci tangan’ dengan berkilah (pada wartawan) bahwa: ‘tim ini sudah ada sebelum saya ditunjuk sebagai pelatih. Saya tidak pernah dilibatkan dalam pembentukan tim ini. Ini bukan tim saya,’” ungkap Tjipta Lesmana dalam Bola Politik dan Politik Bola: Kemana Arah Tendangannya?.
Rijsbergen akhirnya dipecat pada Januari 2012. Namun tetap saja pelatih yang datang silih-berganti setelahnya pun tak diberi kesempatan di hampir setiap pergantian kepemimpinan di Badan Tim Nasional. Setelah Rijsbergen, ada Aji Santoso (2012), Nil Maizar (2012-2013), Luis Manuel Blanco (2013), Rahmad Darmawan (2013), Jacksen F. Tiago (2013), hingga kembali ke Alfred Riedl lagi (2013-2014 dan 2016).
“Lelucon macam apa ini? Apa yang terjadi dengan Riedl, Wim, serta Nil Maizar tidak kalah memprihatinkan. Terlepas dari apapun yang terjadi pada Riedl, Wim Rijsbergen, Nil Maizar, Manuel Blanco, adalah cerminan betapa para pengurus PSSI tidak menghargai pelatih tim nasional,” sesal Bambang Pamungkas dalam bukunya, Bepe20: Pride.
Baca juga: Meneer Belanda Pengawal Mistar Indonesia
Pieter Huistra (2015)
Nasibnya nyaris setali tiga uang dengan Henk Wullems. Huistra datang pada 2015 mulanya sebagai direktur teknik timnas. Tetapi gejolak di internal PSSI membuatnya kurang mendapat kesempatan berkiprah. Namun ia malah sukses di kompetisi domestik.
Pieter Egge Huistra yang lahir di Goënga, Friesland pada 18 Januari 1967 sempat bersinar di klub Skotlandia, Glasgow Rangers (1990-1995), dan jadi punggawa timnas senior Belanda (1988-1991) sebagai pemain sebelum beralih ke tepi lapangan mulai 2001.
Mengutip Kumparan, 21 Mei 2021, PSSI merekrut Huistra pada 2014 sebagai direktur teknik. Di masa itu PSSI menggadang-gadang akan menerbitkan cetak biru pembinaan usia muda (lagi).
Meski begitu, pada Mei 2015 Huistra ditunjuk mengisi kekosongan kursi pelatih timnas yang ditinggalkan pelatih interim Benny Dollo. Kala itu, timnas Indonesia masih berjibaku di kualifikasi Piala Dunia 2018.
Nahas, tugas Huistra sebagai pelatih interim terhalang gejolak politik. Intervensi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang membekukan PSSI, membuat FIFA mengganjar hukuman bertanding di pentas internasional. Maka batallah Huistra menukangi timnas di sisa kualifikasi itu gegara sanksi FIFA.
Namun Huistra tetap berkarier di Indonesia. Pelita Bandung Raya (kini Madura United FC) merekrutnya untuk ajang Indonesian Soccer Championship 2016. Ia juga kembali ke Indonesia pada 2023 usai hijrah ke Slovakia sebagai penasihat tim AS Trencin (2017) dan ke Uzbekistan mengasuh tim Pakhtakor Tashkent FK (2017-2022).
Giliran Borneo yang kemudian merasakan tangan dingin Huistra sejak Februari 2023. Ia mengantarkan Borneo FC sebagai salah satu tim yang paling disegani di Liga 1 saat ini.
Baca juga: Memori Manis Johan Neeskens
Tambahkan komentar
Belum ada komentar