Mengapa Gaun Pengantin Berwarna Putih?
Gaun pengantin berwarna putih mulanya hanya digunakan oleh wanita dari kalangan atas. Ratu Victoria dianggap sebagai pelopor tren mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang menjadi tradisi hingga kini.
KONSEP pernikahan impian mengalami transformasi seiring perkembangan zaman. Pemilihan lokasi acara, dekorasi, desain gaun pengantin hingga aksesoris pelengkap terinspirasi dari tren yang tengah digandrungi masyarakat. Meski begitu ada satu hal yang tak lekang oleh waktu, yaitu gaun pengantin berwarna putih. Kebanyakan pengantin wanita masih melestarikan tradisi mengenakan gaun pengantin berwarna putih, baik untuk prosesi akad atau pemberkatan maupun untuk seluruh rangkaian pesta pernikahan.
Menurut Gavin Evans dalam The Story of Colour: An Exploring of the Hidden Messages of the Spectrum, mengenakan gaun pengantin berwarna putih telah menjadi tradisi sejak zaman Yunani Kuno. Di masa itu, para pengantin wanita akan mengenakan gaun putih, membawa bunga berwarna putih, dan merias dirinya dengan warna putih. Pengantin tradisional di Jepang pun mengenakan kimono putih untuk melambangkan kesucian yang akan dipersembahkan untuk rumah barunya. “Putih melambangkan kesucian atau keperawanan dalam hal ini, karena seorang pengantin wanita muda diharapkan tidak tersentuh secara seksual dan polos,” tulis Evans.
Warna putih juga dipandang sebagai simbol kesederhanaan dan berbudi luhur. Ahli simbologi Barat asal Prancis, Michel Pastoureau menulis dalam White: The History of a Color, warna yang dikaitkan dengan para dewi kuno karena sebagian besar dari mereka digambarkan mengenakan pakaian yang didominasi warna putih, membuat warna ini dipandang sebagai warna feminin.
Hal ini cukup menarik, sebab sebelum abad ke-18 gaun para bangsawan jarang berwarna putih. Warna ini tidak terlalu populer karena mudah kotor dan tidak tahan lama karena rentan mengalami perubahan warna setelah lama disimpan. Evans menyebut orang kaya dan kalangan bangsawan di abad pertengahan menyukai warna merah. Pengantin kerajaan mengenakan gaun brokat dan bordir dengan warna merah aristokrat yang bernilai tinggi. Penggunaan warna putih sebagai gaun pengantin justru dipandang tak lazim dan dapat membawa dampak buruk.
“Mary, Ratu Skotlandia, mengenakan warna putih untuk menikah dengan Raja Prancis Francis II pada 1559, tetapi ketika sang suami meninggal setahun kemudian, ia disalahkan karena dianggap telah dikutuk akibat memilih warna ‘berkabung’ untuk pernikahannya,” tulis Evans.
Baca juga:
Sementara itu, ketika warna putih semakin mendapatkan tempat di kalangan bangsawan Eropa pada abad ke-18, warna feminin itu mulai dilirik untuk gaun pengantin wanita kelas atas. Beberapa di antara mereka ada yang mengombinasikan warna putih dengan silver untuk busana pernikahannya.
Akan tetapi, menurut Jessica Schwartz dalam “Wedding Dress: 1776-1819”, termuat di Clothing and Fashion: American Fashion from Head to Toe, warna putih sesungguhnya tidak eksklusif untuk acara pernikahan. Beberapa arsip justru menunjukkan gaun pengantin berbagai warna lazim dan populer khususnya bagi mereka yang tidak berasal dari golongan kaya dan bangsawan.
“Hampir di sepanjang abad ke-18, status sosial dan ekonomi kedua mempelai, lokasi dan waktu upacara pernikahan, serta status sosial para tamu yang hadir menjadi penentu dalam menentukan apa yang dikenakan oleh pengantin wanita pada acara pernikahannya. Hingga awal tahun 1790, tidak ada warna yang dominan atau khusus untuk gaun pengantin. […] Penghasilan yang lebih kecil sering kali mengarah pada pola pikir praktis saat memilih gaun pengantin, karena wanita dari kelas menengah bawah tidak dapat membeli gaun mahal yang dikenakan hanya untuk satu acara atau pesta, mereka seringkali memodifikasi gaun yang telah ada atau memanfaatkan gaun dari lemari pakaian anggota keluarga mereka,” tulis Schwartz. Gaun-gaun berbagai warna itu dimodifikasi untuk disesuaikan dengan mode terkini dan mengikuti bentuk tubuh pemakainya. Selain memiliki gaun baru yang istimewa, para wanita juga mampu menghemat pengeluaran.
Pada abad ke-18, kain yang populer untuk gaun pengantin adalah sutra berwarna krem, merah muda, biru, dan putih. Namun, seiring dengan berkembangnya teknik dalam pembuatan tekstil, katun dan linen juga semakin dilirik untuk bahan gaun pengantin. Selain bahan, desain gaun pengantin juga bertransformasi mengikuti gaya berpakaian populer, yang meliputi rok panjang dengan petticoat, dan garis leher yang rendah, serta aksen renda pada bagian dada dan ruffles atau lipatan di bagian lengan. Memasuki tahun 1790-an, warna putih semakin disukai oleh para pengantin wanita di Eropa dan Amerika.
Baca juga:
Pada abad ke-19, warna putih semakin mendominasi gaun pengantin dalam pernikahan. Walau begitu masih ada wanita yang mengenakan gaun terbaik yang mereka punya sebagai gaun pengantin karena keterbatasan biaya untuk membuat gaun baru.
Kendati beberapa orang sejak pertengahan abad ke-18 telah mengenakan gaun pengantin berwarna putih, Ratu Victoria dianggap yang mempopulerkan tren tersebut hingga kini. Ketika itu, 10 Februari 1840, pemimpin kerajaan Britania Raya itu mengenakan gaun berwarna putih dalam prosesi pernikahannya dengan Pangeran Albert dari Saxe-Coburg. Menurut Pastoureau, Victoria mengenakan veil atau penutup kepala selama upacara pernikahan. Sang ratu juga menghiasi kepalanya dengan karangan bunga orange blossoms yang menyerupai tiara.
Banyak yang beranggapan alih-alih menetapkan standar baru untuk pesta perkawinan dengan memilih warna putih untuk gaun pengantinnya, keputusan Ratu Victoria kemungkinan besar untuk mempromosikan produksi tekstil Inggris. Gaunnya terbuat dari satin sutra tebal dari daerah penenunan sutra Spitalfields, London, dan dilengkapi dengan veil dari renda Honiton, yang juga diproduksi di dalam negeri.
“Keputusan Victoria untuk tidak mengenakan warna ungu dan memilih warna putih untuk gaun pengantinnya adalah yang pertama, karena raja-raja sebelumnya telah mengenakan warna tersebut untuk pernikahan mereka. Kedua, Victoria sering menghiasi halaman-halaman publik Amerika setelah ia menjadi ratu pada 1837. Dengan demikian, keputusannya mengenakan gaun pengantin putih memicu revolusi mode dalam pakaian pernikahan; setelah pernikahannya, gaun putih menjadi sangat populer dan sekarang menjadi standar untuk pernikahan,” tulis April Nicole Keefe dalam “Wedding Dress: 1820-1859”, termuat di Clothing and Fashion: American Fashion from Head to Toe.
Lambat laun gaun pengantin berwarna putih menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Kehadiran toko serba ada yang menyediakan gaun siap pakai untuk acara-acara pesta –termasuk pernikahan– membuat gaun pengantin berwarna putih tak hanya terbatas pada orang kaya atau bangsawan. Memasuki pergantian abad 19 ke 20, gaun pengantin berwarna putih telah menjadi tradisi dalam pesta pernikahan.
Pastoureau menjelaskan, bagi para wanita muda di masa itu, menikah dengan gaun putih adalah cara untuk menyatakan kemurnian perilaku mereka, dan gaun putih adalah penghargaan, baik moral maupun sosial, yang ditujukan bagi mereka yang menikah sebagai perawan.
“Sebelumnya, selama rezim kuno, tidak ada kebutuhan untuk menekankan keperawanan pengantin wanita muda; tidak perlu dikatakan lagi, apapun yang dianggap tak lazim akan dipandang aneh dan menjadi alasan pembatalan. Namun, pada tahun 1830-an, setelah revolusi politik, perubahan sosial dan pandangan terkait moralitas, hal itu menjadi kurang pasti. Keperawanan seseorang harus dinyatakan, dan gaun pengantin putih menjadi cara terbaik untuk melakukannya,” tulis Pastoureau.
Meski pandangan terkait moralitas dan aturan telah berubah, kebiasaan menikah dengan gaun pengantin berwarna putih tidak memudar setelah Perang Dunia II. Seperti diungkapkan Chrys Ingraham dalam White Weddings: Romancing Heterosexuality in Popular Culture, sejak pergantian abad, warna putih tidak hanya menjadi standar untuk gaun pengantin wanita, tetapi juga sarat dengan simbolisme yang melambangkan kemurnian, kepolosan, janji, serta kekuasaan dan keistimewaan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar