Kisah Pengantin Wanita yang Tak Diinginkan Raja
Gegara wajahnya beda dari lukisan potretnya di mata seorang raja, perempuan Jerman ini diceraikan.
RAJA Henry VIII yang memerintah Inggris selama 36 tahun (1509-1547) menjadi salah satu sosok yang populer dan paling banyak dikaji kehidupannya dalam sejarah Kerajaan Inggris. Alih-alih karena kebijakan maupun sikap politiknya, sorotan justru diberikan pada kehidupan asmara sang raja yang penuh gejolak. Kehidupan cintanya yang kacau pada akhirnya menyebabkan suksesi yang tidak stabil dan berdampak pada kebijakan luar negeri. Bahkan, kekacauan itu juga turut memicu perpecahan dengan Gereja Roma.
Putra kedua pasangan Henry VII dan Elizabeth yang lahir di Greenwich pada 28 Juni 1491 itu terkenal karena memiliki enam istri dan beberapa gundik. Menurut sejarawan Amerika, Retha M. Warnicke dalam The Marrying of Anne of Cleves: Royal Protocol in Early Modern England, pernikahan-pernikahan tersebut didasarkan pada tekadnya untuk mengamankan “suksesi Tudor”, di mana Henry berpandangan bahwa memimpin suatu kerajaan merupakan sebuah warisan keluarga yang harus diteruskan ke generasi berikutnya, terutama kepada putra yang sah.
“Henry tidak dikaruniai banyak keturunan yang sah, karena kedua putrinya, Mary dan Elizabeth, dinyatakan tidak sah setelah sang raja bercerai dengan ibu mereka masing-masing pada tahun 1533 dan 1536. Satu-satunya anak sah Henry VIII adalah Edward yang lahir pada tahun 1537 dari permaisuri ketiganya, Jane, yang meninggal tak lama setelah melahirkan karena komplikasi pascapersalinan,” tulis Warnicke.
Baca juga:
Dengan demikian, memiliki lebih banyak keturunan –khususnya anak laki-laki– dianggap dapat memberikan jaminan lebih besar bagi kelanjutan garis keturunan sang raja dan dapat menjadi pion berguna dalam membangun maupun mempertahankan aliansi dengan kerajaan lain melalui perkawinan, baik di Inggris maupun di luar negeri.
Meski begitu, pernikahan Henry VIII justru lebih banyak diwarnai drama. Dari enam pernikahannya, sedikitnya ada dua yang berakhir dengan pembatalan pernikahan. Sementara, dua istrinya yang lain, yakni Anne Boleyn dan Catherine Howard, justru dieksekusi mati.
Kendati tak berujung maut, nasib Anne of Cleves –istri keempat Henry VIII yang berasal dari Jerman–juga tak dapat dikatakan mujur. Pernikahannya dengan sang raja yang berlangsung pada 1540 hanya bertahan enam bulan. Henry VIII menganggap penampilan Anne tidak sesuai dengan lukisan yang dilihatnya saat tengah melakukan penjajakan dengan saudari Adipati Cleves Jerman tersebut.
Di sisi lain menurut Warnicke, sudah menjadi hal umum di kalangan bangsawan kerajaan masa itu untuk bertukar lukisan yang menampilkan potret diri kepada calon pasangan saat melakukan penjajakan awal dalam suatu perjodohan. Terlebih bila calon pasangannya berasal dari luar negeri. Selain mengirim seorang seniman untuk melukis calon pengantin wanitanya, Henry VIII pun menunjuk seorang utusan untuk mewawancarai wanita tersebut. Ia juga menginstruksikan utusannya untuk memberikan penjelasan secara lengkap mengenai penampilan, sifat hingga kebiasaan-kebiasaan sang calon pengantin.
Seorang pelukis yang ditugaskan untuk membuat potret wajah Anne of Cleves adalah Hans Holbein. Ia melukis gambar Anne, yang sekarang ada di Louvre, di atas perkamen yang diikat di panel kayu, dan memilih latar belakang hijau tua untuk menonjolkan sosoknya. Potret yang panjangnya hampir tiga perempat itu menggambarkan sosok Anne dari depan dengan tangan terlipat. Mengenakan topi bertatahkan permata dan gaun beludru merah rumit yang memiliki pita linen putih dengan bordir, Anne tampak mengenakan dua rantai emas dan salib di lehernya serta beberapa cincin di jari-jarinya.
Bagi sejumlah pihak, potret diri Anne of Cleves yang dilukis Holbein cukup akurat untuk menggambarkan wanita bangsawan itu. Seorang duta besar Inggris bernama Henry Wotton bahkan menyebut Anne sebagai wanita cantik yang akan berhasil di pernikahan. Pujian terhadap penampilan Anne juga datang dari duta besar lain yakni Christopher Mont dan seorang penerjemah bernama Thomas Paynell yang mengklaim dalam hal kecantikan Anne of Cleves lebih unggul dari duchess of Milan.
Baca juga:
Menurut Breet Dolman dalam “Wishful Thinking: Reading the Portraits of Henry VIII’s Queens”, termuat di Henry VIII and the Court Art, Politics and Performance, pujian yang diberikan kepada Anne dan lukisan karya Holbein yang disebut sangat akurat semakin menarik perhatian Henry VIII untuk menikahi Anne. Hal inilah yang di kemudian hari dianggap menjadi akar penyebab kemarahan sang raja yang mengejutkan saat bertemu dengan Anne secara langsung.
Namun, Warnicke berpendapat lain. Jika bukan karena wajahnya, menurutnya, besar kemungkinan penyebab kekecewaan Henry VIII terhadap Anne adalah karena ia orang Jerman; mungkin berkaitan dengan pakaian atau cara bicaranya yang menyinggung perasaan sang raja.
“Prasangka terhadap gaya Jerman ini terus berlanjut sepanjang abad Tudor. Pada tahun 1596, diplomat Henry Wotton, misalnya, menertawakan para wanita Jerman yang ‘berpakaian sangat menyedihkan’,” tulis Warnicke.
Henry VIII sesungguhnya sempat mengupayakan untuk menghentikan rencana pernikahannya dengan Anne sebelum keduanya diresmikan menjadi sepasang suami-istri. Namun, karena pengaturannya sudah berjalan sejauh ini, dan ia khawatir pembatalan pernikahan itu akan mengganggu aliansi yang tengah ia bangun dengan bangsawan Jerman –tempat Anne berasal, Henry menahan diri. Dia tetap melangsungkan pernikahan pada 6 Januari 1540.
Namun sebesar apapun Henry VIII mencoba untuk menghilangkan rasa kecewa yang menghinggapinya, di mana ia dan istri barunya masih kerap tampil di depan umum dan menampilkan kesan pasangan harmonis kepada publik tak lama setelah menikah, ketidaksenangan Henry VIII terhadap Anne terlihat jelas bagi orang-orang di istana. Bagi Henry VIII, pernikahannya dengan Anne adalah sebuah kesalahan besar dan seseorang harus membayar harga untuk kesalahan itu. Orang yang kemudian dianggap bersalah atas pernikahan tersebut adalah Thomas Cromwell, yang juga orang kepercayaan Henry VIII.
Menurut Phil Carradice dalam Rebellion Against Henry VIII: The Rise and Fall of a Dynasty, Cromwell mungkin saja telah melebih-lebihkan daya tarik Anne of Cleves untuk membangkitkan minat raja, namun alasan sebenarnya dari kejatuhan Cromwell adalah kemerosotan bertahap menuju Protestanisme yang telah ia atur.
“Sebuah faksi reaksioner di istana, yang dipimpin oleh Duke of Norfolk dan Stephen Gardiner, Uskup Winchester, tidak sulit untuk meyakinkan Henry bahwa Reformasi yang dilakukannya sudah terlalu jauh,” tulis Carradice.
Dengan izin Henry VIII, Cromwell ditangkap pada pertemuan Dewan pada 10 Juni 1540. Sementara Cromwell dipenjara, Henry VIII akhirnya meminta agar perkawinannya dengan Anne of Cleves yang baru seumur jagung ditinjau ulang.
Proses pembatalan pernikahan antara Henry VIII dan Anne of Cleves secara resmi dimulai. Parlemen meminta Henry VIII untuk mengizinkan sidang ganda guna menyelidiki keabsahan pernikahannya, dan Anne –yang telah mengetahui sejarah pernikahan Henry VIII dengan istri-istri terdahulu yang berujung tidak menyenangkan– memutuskan untuk menyetujui diadakannya penyelidikan.
Para pendeta yang berkumpul lalu meninjau bukti-bukti. Dalam sebuah kesimpulan yang sudah diperkirakan sebelumnya, disepakati pada pukul 3 sore tanggal 7 Juli 1540 bahwa “Raja dan Anne of Cleves tidak terikat oleh pernikahan yang dilangsungkan di antara mereka, dan diputuskan untuk mengirimkan surat kesaksian tentang hal ini kepada raja.”
Baca juga:
Elizabeth Norton dalam Anne of Cleves: Henry VIII’s Discarded Bride menulis bahwa ada tiga bukti yang digunakan Henry VIII untuk membuktikan ketidakabsahan pernikahannya dengan Anne. Salah satunya berkaitan dengan pertunangan Anne dengan Francis dari Lorraine yang dilakukan sebelum Anne menikah dengan Henry VIII. Sang raja juga menyatakan bahwa sejak awal ia tidak setuju dengan pernikahan tersebut.
Perceraian Henry VIII dan Anne disambut dengan ketidakpercayaan di seluruh Eropa. Mantan Kaisar Romawi Suci, Charles V, bingung ketika mendengar penyebab atas keraguan pernikahan itu. Sementara keluarga Anne menerima kabar itu dengan marah. “Saudara perempuan Anne, Sibylla, menolak untuk menerima perceraian itu, dan terus menyebut Anne sebagai Ratu Inggris. Suami Sibylla, John Frederick, sangat marah dan Liga Schmalkaldic segera memutuskan hubungan dengan Inggris. Pada akhir 1544 dan awal 1545, ketika Henry kembali mencoba menjalin hubungan dengan Liga, ia ditolak dengan John Frederick yang menolak untuk berurusan dengan Henry yang ia sebut sebagai 'orang gila',” tulis Norton.
Tak lama setelah pembatalan pernikahan itu diputuskan, Henry VIII segera menikahi gadis pujaannya Catherine Howard. Catherine pernah menjadi pelayan Anne of Cleves ketika ia masih menjadi istri raja. Pernikahan itu dilangsungkan pada 28 Juli 1540, bertepatan dengan hari eksekusi mati Cromwell.
Sedangkan Anne, yang telah dipindahkan dari istana ke Richmond oleh Henry VIII sebagai langkah pertama yang diambil sang raja menuju pembatalan pernikahan, tetap tinggal di Inggris. Sebagai bagian dari proses pembatalan pernikahan itu, Anne diangkat menjadi saudara perempuan Henry VIII dan akan tetap mandiri secara finansial selama ia tetap tinggal di Inggris. Komunikasinya dengan kerabatnya di Jerman dapat dilakukan di bawah pengawasan para menteri Henry. Kendati demikian, setelah kematian Henry VIII pada 1547, Anne kehilangan Istana Richmond serta Bletchingley Manor dan mengalami kesulitan keuangan. Sesaat sebelum meninggal pada 1574, ia masih menggambarkan dirinya sebagai orang asing di negeri asing.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar