Sejarah Islam di Inggris yang Terlupakan
Kendati pernah saling bermusuhan dalam Perang Salib, kepentingan ekonomi mempertemukan Kerajaan Inggris dengan negeri-negeri Muslim.
ISLAM telah menjadi bagian dari sejarah Inggris lebih lama daripada yang dibayangkan banyak orang. Pada abad ke-16, Ratu Elizabeth menjalankan kebijakan luar negeri dan ekonomi dengan menjalin kerjasama negara-negara Islam.
“Saat ini, saat seruan anti-muslim semakin menggelora, sangat perlu untuk mengingat, masa lalu kita lebih memiliki keterikatan (dengan Islam, red) daripada yang sering disadari,” tulis Jerry Brotton, profesor dalam studi tentang Renaisans di Queen Mary University of London, dikutip laman New York Times (17/9).
Sejak mahkota ratu resmi disandangnya pada 1558, Elizabeth memulai kerjasama diplomatik, baik secara militer maupun komersial dengan negara-negara Islam, seperti Iran, Turki, dan Maroko. Terutama ketika pada 1570, keyakinannya kepada Kristen Protestan semakin jelas dan mempengaruhi pemerintahannya. Akibatnya, dia dikucilkan oleh penguasa Katolik. Semua pedagang Inggris tak diperbolehkan melakukan hubungan dagang dengan negara-negara Katolik, terutama dengan Spanyol.
Baca juga:
Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara
Adakah Peran Cheng Ho dan Cina dalam Islamisasi Nusantara?
“Terkucil secara ekonomi dan politik membuat negara Protestan yang baru ini terancam akan kehancuran,” lanjut Brotton.
Namun, sang ratu melihat peluang lain. Dia pun berusaha menjalin kerjasama dengan para penguasa di negara-negara Islam. Satu-satunya musuh besar bagi kerajaan Spanyol pada masa itu adalah Kesultanan Ottoman. Sultannya adalah Murad III yang telah menguasai wilayah Afrika Utara, Eropa Timur, sampai Samudra Hindia.
Elizabeth berharap aliansinya dengan sang sultan membantu mengurangi kekuatan militer Spanyol terhadap negaranya. Cara ini juga dinilai akan memberikan keuntungan lain bagi pedagang Inggris untuk memperoleh pasar di wilayah timur. “Dia juga menjalin hubungan dengan para pesaing Ottoman, Shah dari Persia dan penguasa Maroko,” kata Brotton.
Masalahnya adalah kekaisaran Muslim rupanya lebih berkuasa dibanding kerajaan Elizabeth yang mungil. Niatnya membuka jalur perdagangan baru, tetapi nyatanya dia tak sanggup mengongkosi usahanya itu. Maka, dia pun mencoba membuka perusahaan saham gabungan. Perusahaan ini dimiliki bersama dengan sistem bagi saham. Modalnya digunakan untuk mendanai biaya pelayaran untuk berdagang. Keuntungan dan kerugian yang dihasilkan dibagi kepada para pemegang saham.
Dalam hal ini, Elizabeth sangat antusias mendukung Perusahaan Muscovy yang menjalin hubungan dagang dengan Persia. Mereka pula yang kemudian menginspirasi bagi terbentuknya Turkey Company yang melakukan perdagangan dengan Ottoman dan East India Company (EIC), yang kemudian menguasai India dan berdagang juga ke Nusantara.
Pada 1580, Elizabeth menyetujui kesepakatan komersil selama tiga abad dengan pemerintah Ottoman. Kesepakatan ini menjamin pedagang Inggris mendapat akses bebas masuk ke wilayah Ottoman. Dia pun membuat kesepakatan serupa dengan Maroko, dan diam-diam mendapat jaminan bantuan militer untuk melawan Spanyol.
Berlanjut dari hubungan dagang, pengaruh dari negara-negara Islam semakin terlihat di Inggris. Karpet, sutra, rempah-rempah menjadi bagian dari keseharian orang Inggris. “Kata-kata seperti candy dan turquoise’ yang berasal dari Turkish stone menjadi biasa untuk diucapkan,” ungkap Brotton.
Bahkan, Shakespeare menambahkan unsur budaya Islam itu pada pertunjukkan. Karya Othello yang fenomenal itu lahir setelah utusan pertama dari Maroko datang ke Inggris.
Meski perusahaan saham gabungan itu sukses, tetapi ekonomi Inggris tidak bisa mempertahankan diri dari ketergantungannya terhadap perdagangan jarak jauh. Akhirnya, sepeninggal Elizabeth pada 1603, raja yang baru, James I menyetujui kesepakatan damai dengan Spanyol. Kesepakatan ini sekaligus mengakhiri nasib Inggris yang terkucilkan.
Terlepas dari itu, kebijakan Elizabeth terhadap dunia Islam telah berhasil menekan pengaruh Katolik di negaranya. Islam pun, tak dipungkiri, merupakan bagian dari sejarah orang Inggris. “Islam mempengaruhi segala aspek, politik, militer, dan perdagangan, bahkan budaya dalam sejarah Inggris,” tulis Brotton.
Inggris dan Banten
Hubungan dengan Islam di Nusatara pun pernah terjalin baik antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Banten. Ketika Elizabeth dinobatkan sebagai ratu Inggris, sekitar 14 orang Inggris di Banten merayakannya.
Mereka, tulis Bernard HM Vlekke, memakai pakaian terbaik dan mengadakan parade, berbaris maju mundur, menembakkan senapan dan berteriak “hore”, sampai semua penduduk kota lari keluar rumah. “Begitu orang banyak berkumpul, orang Inggris itu memberi tahu orang Banten tentang Ratu Elizabeth mereka yang mulia,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
James Lancaster, yang memimpin pelayaran pertama dengan empat kapal dagang EIC mendarat di Banten pada 1602. Dia menyampaikan surat Ratu Elizabeth untuk Sultan Banten yang bernada penuh persahabatan. Sultan Banten memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor dagang. Bahkan, Banten menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai tahun 1682.
Hubungan baik Inggris dan Banten terlihat juga dengan surat yang dikirimkan oleh Sultan Banten kepada Raja James I, pengganti Elizabeth. Surat tersebut berisi ucapan selamat atas pengangkatan James I sebagai raja Inggris.
“Raja Banten juga mengucapkan terima kasih atas hadiah yang dikirim oleh Raja James I melalui Jenderal Milton. Sebagai balasannya, Raja Banten mengirimkan dua buah faizar kepada Raja Inggris,” tulis Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten. Faizer diperkirakan sebagai benda yang berat karena satu faizer disepadankan dengan seekor ternak berkaki empat.
Hubungan baik Inggris dan Banten terus berlanjut. Pada 1681, Sultan Abu Nashar Abdul Qahar atau Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya, dia berminat membeli senapan sebanyak 4000 pucuk dan peluru sebanyak 5000 butir dari Inggris. Sebagai tanda persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata sebanyak 1757 butir. Surat ini juga merupakan pengantar untuk dua utusan Banten bernama Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana.
Giliran ayah Sultan haji, pada 1681 Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abul Fath Abdul Fattah mengirim surat kepada Raja Charles II meminta bantuan berupa senjata dan mesiu untuk berperang melawan putranya yang dibantu Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC). Sultan Ageng Tirtayasa berjanji jika Inggris memberi bantuan dan mereka menang, benteng (Jacetra atau Batavia) akan diberikan kepada Inggris. Namun, bantuan itu tidak kunjung datang. VOC membantu Sultan Haji berhasil menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar