Kisah Anak Langgar dan Mantri Galak
Konflik dengan seorang mantri polisi menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi Saifuddin Zuhri.
Saifuddin Zuhri (mantan Menteri Agama era pemerintahan Sukarno) memiliki pengalaman pahit berurusan dengan pihak keamanan. Sewaktu usianya 12 tahun, Zuhri terlibat cekcok dengan seorang mantri polisi –sebutan untuk penjaga ketertiban di pedesaan yang dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda– karena permasalahan sepele. Peristiwa itu terjadi pada 1931 di tempat kelahirannya: Kawedanan Sokaraja, Banyumas.
Selepas mengikuti pelajaran Qiraat Al-Qur’an di Pesantren Musri, Zuhri memutuskan menghabiskan malam di langgar bersama teman-temannya. Dikisahkan Zuhri di dalam biografinya Saifuddin Zuhri: Berangkat dari Pesantren, kegiatan seperti itu memang rutin dilakukannya ketika malam Jumat tiba. Mereka biasa mengisi waktu di langgar dengan menghafal Al-Qur’an, meski lebih sering habis karena keasyikan berbincang.
Sekira pukul 10 malam, saat semua orang telah bersiap untuk tidur, sorotan cahaya tetiba memecah kegelapan di langgar tersebut. Zuhri dan kawan-kawannya terkejut dengan sinar yang amat menyilaukan itu. Mereka yang sedang berbaring serentak terbangun sambil membetulkan letak sarungnya.
“Hei, matikan sorot lampu itu!” teriak Ahmad Sadeli, jagoan pencak silat di kelompok itu.
“Jangan kurang ajar ya!” yang lain ikut berteriak.
Baca juga: Kiai NU dan Daging Babi
Cahaya yang ternyata berasal dari lampu senter itu akhirnya dipadamkan. Setelah diperhatikan jelas, orang yang datang ke langgar itu adalah Ndoro Tuan Mantri Polisi. Penduduk kampung mengenalnya sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah) Hindia Belanda. Menurut Zuhri mantri polisi ini mempunyai perangai yang keras, lambang kekuasaan yang tak mengenal rakyat. Di kalangan anak-anak muda ia dijuluki “mantri galak”.
“Apakah jalan ini menuju ke rumah Karminem?" tanya mantri polisi itu dalam bahasa Jawa.
Karminem adalah perempuan pendatang di kampung itu. Ia menyewa rumah di Kauman, sekitar 150 meter dari langgar tempat Zuhri bermalam. Dari kabar yang beredar Karminem merupakan janda muda yang sering menerima tamu laki-laki ke rumahnya. Ia sudah sering dilaporkan ke lurah setempat karena aktifitasnya itu meresahkan. Warga pun pernah melempari rumahnya dengan batu dan memintanya keluar dari Kauman.
“Embuh ora weruh,” jawab Ahmad Sadeli menyatakan ketidaktahuannya.
Mendengar jawaban itu, Si Mantri Polisi naik pitam. Mantri polisi menganggap jawaban Ahmad Sadeli itu tidak sopan karena menggunakan bahasa Jawa ngoko (bahasa sehari-hari) untuk orang yang derajatnya lebih tinggi seperti dirinya. “Haaahh? Ora iso boso ya?” hardiknya. Boso mengacu pada bahasa Jawa yang lebih sopan.
“Kalau seorang mantri polisi sendiri tidak bisa boso apalagi saya yang cuma orang biasa,” jawab Ahmad Sadeli.
Mantri Polisi terkejut. Pernyataan Ahmad Sadeli seolah memukul mentalnya. Tanpa berkata-kata, ia balik badan dan berjalan menuju jalan utama. Sorot lampu senternya mengarah ke rumah Karminem. Zuhri tidak tahu apakah ia berhasil menemukan rumah yang dicari atau tidak. Seketika gelak tawa pecah di antara anak-anak di langgar itu. Mereka saling berpelukan, seperti telah memenangkan suatu pertandingan.
Baca juga: Polisi Zaman Kumpeni
Namun suasana gembira itu tidak berlangsung lama. Mereka mulai khawatir dengan konsekuensi dari tindakan mereka mempermalukan seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda. Zuhri takut akan ada balasan dari Si Mantri Polisi. Di tengah kekhawatiran itu, Kiai Hudlari, salah seorang guru Zuhri, keluar dari rumahnya yang berada tidak jauh dari langgar. Ternyata ia diam-diam mengikuti peristiwa barusan.
“Ahsantum, ahsantum … bagus, bagus …” Kiai Hudlari mendekat.
“Maafkan sikap saya tadi kepada Mantri Polisi,” ujar Ahmad Sadeli memberanikan diri.
“Tak usah minta maaf,” ucap Kiai, “Bersikap sombong terhadap orang yang sombong itu sedekah. Orang sombong selamanya menganggap bahwa bersikap sombong itu benar. Dia tidak mengerti apa arti sopa santun. Mengira bahwa bersikap sopan itu tanda kelemahan.”
“Kepada orang sombong kita dibolehkan sedikit sombong. Sikap ini memperlihatkan suatu ketegasan sambil menangkis kesombongan orang,” lanjut Kiai Hudlari. “Bersikap sedikit sombong pada orang yang sombong itu sedekah artinya memberi pelajaran. Bersikap sombong terhadap orang yang rendah hati adalah kurang ajar; bersikap rendah hati terhadap orang yang sombong adalah kelemahan. Adapun bersikap sopan kepada orang yang sopan santun itu perbuatan utama.”
“Tapi dia seorang mantri polisi,” kata salah seorang anak yang masih dibayangi rasa khawatir.
Baca juga: Mat Depok, Sekondan Menteri Keamanan Rakyat
“Biar saja. Seorang kadang-kadang tidak mau dinasihati dengan cara baik-baik. Tetapi dia akan ketanggor dinasihati oleh pengalaman buruknya.” Kiai berusaha menenangkan.
“Jangan-jangan Mantri Polisi itu tidak akan tinggal diam begitu saja,” Zuhri nyeletuk.
“Kalian tidak usah khawatir. Kalian toh tidak bersalah. Jika kalian mempunyai perasaan khawatir, gelisah atau takut, Mantri Polisi itu juga diliputi perasaan yang sama. Apalagi dia terang bersalah. Dia tentunya juga diliputi kegelisahan karena perbuatannya yang tidak terpuji ini. InsyaAllah tidak apa-apa. Semua hati manusia digerakkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia Maha Kuasa mengubah pikiran tiap orang disebabkan karena berubahnya isi hati,” tegas Kiai Hudlari.
Kekhawatiran Zuhri dan kawan-kawannya ternyata benar-benar terjadi. Dua hari setelah kejadian itu, 14 anak Kauman ditahan di kantor Asisten Wedana. Mereka lalu dihadapkan ke depan Mantri Polisi yang tampak geram melihat anak-anak itu.
Tiba-tiba Si Mantri Polisi berteriak. Ia mengeluarkan kalimat-kalimat dalam bahasa Belanda yang tidak dimengerti. Namun Zuhri yakin ucapannya itu adalah caci maki dan hardikan bagi anak-anak Kauman. Setelah masing-masing anak mendapat satu kali sepakan kaki dari Si Mantri Polisi, mereka digiring ke halaman depan kantor. Zuhri dan kawan-kawannya disuruh mencabuti rumput, menyapu halaman, dan membakar sampah. Tepat tengah hari, anak-anak itu diperbolehkan pulang.
“Aku dan teman-temanku kan anak jajahan. Orang terjajah selamanya diperlakukan “salah” dan “kalah” meskipun berada di pihak yang benar,” ungkap Zuhri.
Baca juga: Kiai dan Jagoan dalam Perang Kemerdekaan
Tambahkan komentar
Belum ada komentar