Dari Piano Casablanca hingga Perang Dagang
Gegara kalah lelang piano, Donald Trump mengkampanyekan tarif dagang sejak 1980-an. Ancaman beleid-nya berpotensi melanjutkan perang dagang China-Amerika.
BELUM sehari menjabat sebagai presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya, Donald Trump sudah langsung mengimplementasikan kebijakan proteksionisme. Di hari yang sama pasca-pelantikannya pada Senin (20/1/2025) waktu setempat, Trump menyatakan akan mengenakan tarif impor 25 persen kepada Meksiko dan Kanada, serta tarif 10 persen kepada China.
Pada saat kampanye Pilpres 2024, Trump bahkan sempat memberikan ancaman lebih pada China. Katanya, akan mengenakan tarif perdagangan dan impor sebesar 60 persen meski kemudian implementasinya hanya 10 persen.
Trump mengaku akan mulai menjalankan beleid-nya itu kepada Meksiko dan Kanada –yang ikut memberikan bantuan saat Kebakaran Los Angeles (7 Januari 2025)– serta China mulai 1 Februari 2025. Salah satu alasannya, kata Trump, kebijakan itu untuk mengurangi kedatangan fentanil atau obat analgesik penghilang nyeri via Kanada dan Meksiko tapi disalahgunakan oleh kartel-kartel narkoba yang sejak dua tahun terakhir memicu wabah “Narkoba Zombie Fentanil” di Amerika.
“Saya sudah bicara dengan Presiden Xi dari China. Saya bilang bahwa kami tidak ingin narkoba itu ada di negara kami. Kami harus menghentikannya. Kami bicara tentang tarif 10 persen terhadap China berdasarkan fakta bahwa mereka mengirimkan fentanil ke Meksiko dan Kanada,” aku Presiden Trump, dikutip CNN, Selasa (21/5/2025).
Terlepas dari problem itu, kenaikan tarif dagang 10 persen juga akan berpengaruh pada bea masuk produk-produk lain dan berpotensi menimbulkan konflik yang sama pada enam tahun lewat. Pasalnya di masa periode pertama kepresidenan Trump (2017-2021), ia juga mengerek tarif impor hingga memantik Perang Dagang China-Amerika pada Januari 2018.
Baca juga: Di Balik Lima Wapres Termuda Amerika Serikat
Berawal dari Piano Casablanca
Dalam kesendiriannya berselimut sendu di Rick’s Café Américain, Ilsa Lund (diperankan Ingrid Bergman) tetiba bersua pianis berkulit hitam yang juga kawan lamanya, Sam (Dooley Wilson), sedang mendorong sebuah piano klasik bermerk Kohler & Campbell. Seiring Sam menasihati agar Ilsa move on dari sang pemilik kafe, Rick Blaine (Humphrey Bogart), sang gadis minta Sam memainkan sebuah lagu dengan pianonya. Adegan itu jadi salah satu yang paling ikonik dari film lawas Casablanca (1942) racikan sineas Michael Curtiz.
Piano tua buatan tahun 1927 yang jadi properti film itu lalu jadi buruan para kolektor dan pebisnis kaya, salah satunya Donald Trump, ketika dilelang oleh Rumah Lelang Sotheby’s medio 1988.
Pada 1980-an, Trump sudah berada di puncak karier bisnisnya dengan aneka aset kasino dan hotel. Ia juga mulai terjun ke politik pada 1987 bersama Partai Republik, sebagai langkah pertamanya meniti visi menjadi presiden. Namun, itu belum cukup membuatnya menang dalam adu tawar ketika piano bekas properti film Casablanca itu dilelang.
“Donald J. Trump kalah dalam sebuah lelang pada 1988 untuk membeli piano yang pernah dipakai dalam film klasik Casablanca dari seorang kolektor yang diwakili sebuah perusahaan dagang Jepang. Kejadian itu jadi pengingat pertama baginya akan (dampak) pesatnya perekonomian Jepang dan setahun kemudian ia mengadvokasi kenaikan pajak impor dari Jepang,” tulis Jim Tankersley dan Mark Landler dalam artikel yang dimuat The New York Times, 15 Mei 2019, “Trump’s Love for Tariffs Began in Japan’s ‘80s Boom”.
Baca juga: Kakek Donald Trump Korban Pandemi
Lelang piano piano klasik dengan 58 kunci itu, menurut The New York Times edisi 17 Desember 1988, dimenangkan Eric Vance, utusan perusahaan dagang dan investasi Jepang C. Itoh & Company, yang menjadi perwakilan dari salah satu petinggi perusahaan tersebut yang merupakan kolektor kelas kakap. Piano itu terjual senilai 154 ribu dolar walau tak lama kemudian dilelang lagi untuk keuntungan yang lebih besar.
C. Itoh & Company (kini Itochu Corporation) adalah salah satu sogo shosha atau korporasi investasi dan perdagangan terbesar Jepang sejak 1960-an yang bergerak di bidang perdagangan tekstil, mesin-mesin pabrik, bahan baku tambang logam dan mineral, energi, hingga makanan dan produk-produk domestik atau rumah tangga. Ia juga korporasi pertama yang berhasil mendapat izin perdagangan di RRC, pada 1971, dan mulai merambah pasar Amerika pada 1972 melalui kesepakatan joint venture antara dua pabrikan otomotif Isuzu dan General Motors. Di Indonesia, C. Itoh menjadi perantara brand-brand elektronik Jepang ternama pada 1950-an yang kemudian sukses menghubungkan National (kini Panasonic) dengan pengusaha Thayeb Gobel hingga keduanya berkongsi mendirikan National-Gobel.
Itu hanya satu korporasi yang turut menopang ledakan ekonomi Jepang pada 1970-an dan 1980-an hingga negeri yang dua kali dibom atom oleh Amerika itu akhirnya menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia setelah Amerika dan Uni Soviet. Kendati sempat terguncang akibat Krisis Minyak 1973 dan 1979, perekonomian Jepang masih bertahan karena beralih konsentrasi ke produk-produk kebutuhan perusahaan-perusahaan teknologi di Amerika.
“Beberapa bulan setelah kalah dalam pelelangan (piano) dari seorang kolektor Jepang, secara terbuka ia (Trump, red.) mulai mengadvokasi kenaikan tarif impor dari Jepang hingga 20 persen. Ia mengatakan bahwa Amerika telah ditipu. Bahwa Amerika harus mengenakan pajak, mengenakan tarif (dagang), untuk melindungi perekonomian negara,” tulis Kim Darroch dalam Collateral Damage: Britain, America, and Europe in the Age of Trump.
Sembari terus memupuk kekayaan dari bisnis kasino dan sejumlah real estate-nya, Trump hampir tak pernah luput mengadvokasi tarif impor saat muncul isu-isu perdagangan. Tidak hanya perdagangan dengan Jepang tapi juga dengan Jerman Barat, Arab Saudi, dan Korea Selatan.
Bagi Trump, tarif dagang dan impor adalah hal terbaik yang pernah diciptakan. Menurutnya, Amerika sebagai negara debitur wajib mengenakan pajak, mengenakan tarif demi melindungi perekonomiannya.
“Sebelum ia populer (di politik) selalu menganggap korporasi dan konglomerasi Jepang sebagai seteru abadi. Isu tarif menjadi seperti duri dalam daging sejak 1980-an yang berasal dari keyakinan dia sendiri,” tutur Dan DiMiccio, mantan bos salah satu industri baja cum penasihat perdagangan di Tim Kampanye Trump 2016, dikutip Tankersley dan Landler.
Baca juga: Jepang dari Isolasi hingga Industri
Isu itu jadi “dendam” terpendam hingga akhirnya Trump memenangkan Pilpres 2016. Jika dulu Jepang yang dianggap musuh, sekarang Chinalah yang dianggap seteru Amerika. Gejalanya mirip: ledakan ekonomi China. Lewat perintah eksekutifnya, pada 22 Januari 2018 Trump mulai mengobarkan perang dagang dengan mengenakan tarif impor untuk barang-barang berupa panel surya, mesin cuci, baja, dan aluminium dari China yang diperkirakan bernilai 250 juta dolar.
“Kebijakan itu tak lepas dari penasihat perdagangan, Peter Navarro. Ia seorang akademisi ekonomi kontroversial yang turut mendukung advokasi isolasionisme dan proteksionisme Amerika dalam kebijakan luar negeri dan utamanya karena ia juga punya pandangan politis yang anti-China,” sambung Darroch.
Sementara, Jennifer M. Miller, sejarawan ekonomi Dartmouth College, mengungkapkan penetapan tarif merupakan jalan untuk menang.
“Ia (Trump) terobsesi dengan kemenangan (perang dagang) yang ia pikir penetapan tarif dagang akan membuatnya menang. Obsesi yang membuatnya juga harus selalu tampil arogan dan keras sampai membuatnya terobsesi pula dengan kewenangan-kewenangan eksekutif,” ujar Jennifer.
Baca juga: Siasat Menghambat Produk Jepang
Ibarat “Lo Jual, Gue Beli”, pada 2 April 2018 pemerintahan Presiden Xi Jinping menjawab tantangan Trump dengan senjata yang sama: mengenakan tarif impor terhadap 128 produk dari Amerika. Di antaranya tarif impor 25 persen untuk produk-produk material pesawat, alumunium, otomotif, daging babi, dan kacang kedelai; serta 15 persen untuk produk buah-buahan, kacang-kacangan, dan pipa baja.
“Kami sudah melakukan segalanya (negosiasi dan diplomasi) untuk menghindari situasi seperti ini, tetapi jika pihak lain membuat pilihan yang salah, maka kami tidak punya pilihan juga untuk melawan balik,” tegas Duta Besar China untuk Amerika Cui Tiankai, disitat CNBC, 4 April 2018.
Saling balas penetapan beleid tarif dagang itu terus terjadi hingga akhir 2019 dan berdampak buruk bagi kedua belah pihak. Secara umum, perindustrian dan pertanian Amerika yang paling terdampak akibat melonjaknya bahan-bahan baku mereka. China juga terdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi karena perusahaan-perusahaan Amerika mesti mencari rantai suplai dari negara lain yang tak terdampak perang dagang.
Defisit perdagangan Amerika yang mencapai 621 juta dolar –merupakan yang tertinggi sejak 2008– itu membuat Trump mau duduk bersama dengan China lewat mekanisme bilateral. Perdamaian “fase pertama” dalam kerjasama perdagangan diteken Presiden Trump dan Wakil PM Liu He pada 15 Januari 2020. Ikatan kerjasamanya kian kuat kala Pandemi Covid-19 menerpa semua penjuru mata angin di muka bumi.
Namun, ketika Trump kemudian berkampanye hingga dilantik jadi presiden lagi, ia mengobarkan lagi potensi perang dagang dengan China. Oleh karenanya, ancaman Trump jadi perhatian pemerintah China.
“Proteksionisme takkan membawa hasil. Tidak ada pemenang dalam perang dagang,” ujar Wakil PM China Ding Xuexiang di sela World Economic Forum di Davos, Swiss, dilansir CNBC, Selasa (21/1/2025).
Baca juga: Geliat Naga dari Asia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar