Lili'uokalani Penguasa Terakhir Kerajaan Hawai'i
Cintaku hanya untuk tanah airku dan rakyatku, tulangku dan darahku...Aloha! Aloha! Aloha!, kata Ratu Lili'uokalani menjelang negerinya dianeksasi Amerika.
MASYARAKAT di Kota Honolulu di Pulau O’ahu, Hawai’i hari itu, 17 Januari 1893, masih dinaungi keresahan gegara gejolak politik. Setiap personel kepolisian waspada terhadap segala kemungkinan di setiap sudut kota. Leialoha, seorang opsir polisi pribumi, tak terkecuali seiring ia bertugas jaga di Jalan Ford bersama seorang rekannya.
Tetiba pukul 2.30 siang, Opsir Leilaloha melihat sebuah kereta kuda yang tengah bermasalah akibat kaki kudanya tersandung di pojok jalan di sebelah toko H. McIntyre & Bro’s. Sejurus langkah kakinya mendekati, Opsir Leilaloha melihat tumpukan peti di kereta kuda yang diduga berisi senjata dan amunisi.
“Kereta kuda itu dikendarai John Good bersama lima atau enam orang lain. Sesaat seorang opsir mendekat, Good mengeluarkan pistol dan menembak dada sang opsir hingga mengalami luka parah, demikian laporan seorang saksi mata,” tulis harian The Daily Bulletin edisi 17 Januari 1893.
Sementara Good dkk. melarikan diri, Opsir Leilaloha dilarikan oleh rekannya ke Queen’s Hospital. Tapi nyawanya tak tertolong. Insiden itu membuat Marshal (kepala) Keamanan Kerajaan Charles Burnett Wilson memerintahkan memburu pelakunya, tapi tanpa hasil.
Rupanya, Good adalah anggota Honolulu Rifles, sayap milisi bersenjata Commitee of Safety (COS) yang berisi para petinggi sejumlah partai anti-monarki. Mereka ingin menggulingkan penguasa Kerajaan Hawai’i, Ratu Lili’uokalani.
Insiden itu memungkinkan dilancarkannya kudeta untuk menggusur monarki konstitusonal. Gerakan kudeta tersebut kelak bertranformasi menjadi pemerintahan republik sementara yang pro-aneksasi Amerika Serikat.
Baca juga: Kudeta Perwira Muda Negeri Sakura
Menyerah Demi Mencegah Pertumpahan Darah
Sejak para petualang dan misionaris dari Amerika mulai berdatangan pada 1820, gelombang demi gelombang orang kulit putih Amerika dan Eropa berdatangan lalu mencaplok lahan dan membuka sejumlah perkebunan tebu. Mereka bekerjasama dengan sejumlah ali’i atau bangsawan-bangawan pribumi. Orang-orang kulit putih itu pula yang kemudian berserikat dan mendirikan Partai Misionaris yang pro-aneksasi Amerika terhadap Hawai’i.
“Kenapa Partai Misionaris selalu bermasalah dengan Anda, Yang Mulia?” tanya Isobel Strong, sastrawan yang dekat dengan Raja Kalākaua, dikutip Tiffany Lani Ing dalam Reclaiming Kalākaua: Ninetheenth-Century Perspective on a Hawaiian Sovereign.
“Masalahnya bukan terhadap saya pribadi, apa yang mereka inginkan adalah negeri saya. Mereka sudah seperti itu sejak saya bertakhta (pada 1874). Takkan saya biarkan itu terjadi selama saya masih hidup,” jawab sang raja.
Baca juga: Akhir Perlawanan Dandara
Memanasnya politik di parlemen Kerajaan Hawai’i dari masa ke masa mencapai puncaknya ketika Raja Kalākaua menandatangani Undang-Undang (UU) Kerajaan 1887 yang dituntut koalisi politisi anti-monarki beserta milisi-milisi bersenjatanya. UU berjuluki “UU Bayonet” ini merujuk pada keterpaksaan sang raja yang menekennya ketimbang ia digulingkan dan negerinya direbut dengan kekerasan. Ancaman kekerasan begitu nyata. Para politisi dan milisi anti-monarki didukung Amerika, di mana militer Amerika sudah menyewa lahan untuk pangkalan Angkatan Laut (AL) di Pearl Harbor sejak Januari 1887.
“Koalisi itu muncul akibat ketidakpuasan akan UU 1864 sejak masa Raja Kamehameha V yang sempat memunculkan pemberontakan tanpa darah oleh Liga Hawai’i (cikal-bakal COS). Maka pada 30 Juni massa dengan jumlah besar mengepung istana untuk menuntut perubahan UU 1864 dan jika tidak sang raja akan dipaksa turun takhta,” tulis Anne Feder Lee dalam The Hawaiian State Constitution.
UU Bayonet sangat menguntungkan Liga Hawai’i yang merupakan gabungan beberapa bangsawan Hawai’i dan para pengusaha serta tuan tanah Eropa dan Amerika. UU itu mencabut kewenangan raja yang sebelumnya berada di atas UU, memberi kewenangan lebih kepada kabinet yang mayoritas berisi menteri pro-Liga Hawai’i sekaligus mencabut hak pilih pribumi dan golongan Asia Timur.
Raja Kalākaua sendiri akhirnya tutup usia pada 20 Januari 1891 seiring kunjungannya ke California, Amerika Serikat. Ia wafat setelah mengalami koma. Pejabat medis AL Amerika menyatakan ia meninggal di usia 54 tahun akibat nefritis akut pada ginjalnya. Jasad sang raja dibawa pulang dan tiba di tanah airnya pada 29 Januari dengan kapal penjelajah USS Charleston.
Di hari yang sama, adik sang raja, Putri Lili’uokalani, dinobatkan sebagai suksesornya. Ia jadi ratu pertama sekaligus jadi penguasa yang terakhir Kerajaan Hawai’i lantaran kemudian insiden penembakan polisi, sebagaimana yang diceritakan di atas, jadi awal kudeta terhadap dirinya.
Baca juga: Suramnya Perbudakan Belanda di Suriname
Ratu Lili’uokalani yang lahir di Honolulu pada 2 September 1838 dengan nama Lydia Lili’u Loloku Walania Kamaka’eha merupakan anak ketiga dari pasangan Caesar Kapa’akea dan Analea Keohokālole yang juga berasal dari kalangan ali’i keturunan Dinasti Kamehameha. Sang ratu juga berusaha mempertahankan eksistensi monarki dan mengembalikan hak-hak pribumi dan golongan Asia Timur, seperti halnya mendiang sang kakak dalam panasnya gejolak politik yang diperparah situasi krisis ekonomi. Upayanya selalu diganjal COS yang dipimpin para politisi Partai Misionaris.
Tetapi insiden penembakan Opsir Leilaloha kemudian membuat COS khawatir akan digeruduk aparat kepolisian mengingat Marshal Brunett, kepala keamanan kerajaan, masih setia pada Ratu Lili’uokalani. Oleh karenanya sekira satu jam pasca-penembakan, COS mengumpulkan massa dengan dikawal barisan milisi dan 160 serdadu dari Detasemen Marinir Amerika untuk mengepung Gedung Ali’iolani Hale (Mahkamah Agung) dan Istana ‘Iolani.
Situasi mencekam itu membuat Ketua COS Henry E. Cooper mengultimatum Ratu Lili’uokalani agar tidak keluar istana dan memerintahkan garda pengawal istana untuk menyerahkan senjata. Cooper juga memproklamasikan bahwa mulai saat itu, 17 Januari 1893, Ratu Lili’uokalani resmi turun takhta seiring berakhirnya monarki. Di hari yang sama pula COS membentuk pemerintahan sementara yang dipimpin Menteri Luar Negeri Sanford Ballard Dole yang kelak juga terpilih jadi presiden ketika pemerintahan sementara resmi mendirikan Republik Hawai’i.
Ratu Lili’uokalani pun tak berdaya. Ia ditahan di kamarnya saat milisi bersenjata mendobrak masuk ke istana dan menjarah beberapa dokumen serta sejumlah buku hariannya. Diplomat Amerika John L. Stevens juga memerintahkan Detasemen Marinir Amerika berjaga di gedung-gedung konsulat dan Balai Arion.
“Saya menyerah kepada kekuatan superior Amerika Serikat, Yang Terhormat Menteri Berkuasa Penuh John L. Stevens, yang memerintahkan pasukan Amerika mendarat di Honolulu dan menyatakan bahwa ia mendukung pemerintahan sementara. Untuk mencegah bentrokan antar-pasukan dan mungkin hilangnya nyawa, saya memberi pernyataan yang juga berupa protes atas perebutan kewenangan saya dengan harapan pemerintah Amerika Serikat mengembalikan situasi dan keweangan saya,” kata Ratu Lili’uokalani dalam surat pernyataannya yang ditujukan kepada Dole, dikutip Andrea Feeser dan Gaye Chan dalam Waikiki: A History of Forgetting and Remembering.
Baca juga: Kudeta Seumur Jagung di Istana Kaisar Jepang
Meski menjadi tahanan, Ratu Lili’uokalani terus melayangkan protes karena pemerintahan baru itu melarang hak pilih seluruh rakyat pribumi. Mereka baru diberikan hak pilih jika menandatangani surat sumpah kesetiaan terhadap pemerintahan baru.
“Cintaku hanya untuk tanah airku dan rakyatku. Tulangku, darahku. Aloha! Aloha! Aloha,” tulis Ratu Lili’uokalani selama masa penahanannya dalam diary-nya yang dibukukan, Hawaii’s Story by Hawaii’s Queen, Lili’uokalani.
Ratu Lili’uokalani tetap menjadi tahanan rumah di istananya meski muncul beberapa unjuk rasa massa pro-monarki dan pemberontakan yang berusaha mengembalikan monarki. Ia kemudian dipaksa menandatangani pernyataan resmi turun takhta oleh Republik Hawai’i pada 24 Januari 1895.
“Saya lebih memilih mati ketimbang harus menandatanganinya; tetapi saya dijanjikan bahwa dengan menandatangani dokumen itu, semua orang (pemberontak) yang telah ditahan akan segera dibebaskan. Saya seorang perempuan kesepian yang sakit-sakitan di penjara yang nyaris tanpa teman karena siapa saja bisa jadi pengkhianat,” imbuh sang ratu dalam diary-nya.
Lili’uokalani baru dibebaskan pemerintah Republik Hawai’i pada 13 Oktober 1896. Sebulan berselang, ia pindah ke Amerika dan terus menuliskan petisi kepada Kongres Amerika agar takhtanya dikembalikan dan membatalkan aneksasi Amerika. Tetapi meletusnya Perang Spanyol-Amerika (21 April-10 Desember 1898) membuat Amerika menganggap Hawai’i sebagai basis militer yang strategis sampai kemudian, pada 7 Juli 1898, Presiden Amerika William McKinley mendeklarasikan Kepulauan Hawai’i sebagai wilayah Amerika lewat Traktat Aneksasi Kepulauan Hawai’i.
Hingga akhir hayatnya, Lili’uokalani yang wafat pada 11 November 1917 di kediamannya di Washington Place, Honolulu, tak pernah lagi mendapatkan cita-citanya mengembalikan kedaulatan negerinya. Kongres Amerika sendiri baru menyatakan permintaan maafnya pada 1993 lewat Resolusi 103-150 yang mengakui keterlibatan agen-agen dan warga Amerika dalam kudeta terharap Ratu Lili’uokalani.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar