Tangga Lagu tentang Penjara
Penjara menjadi inspirasi musisi menciptakan sebuah lagu.
Siapapun tak ingin meringkuk di balik terali besi. Tak peduli penjahat atau orang baik-baik. Tapi bagi sebagian musisi, penjara bisa memberi inspirasi terciptanya sebuah lagu.
Ada banyak lagu bertema penjara. Tapi tiga lagu berikut menggambarkan dengan apik hidup sulit di dalam sel.
“Di Dalam Bui” – Koes Bersaudara
Pada 1967, grup musik Koes Bersaudara ―kemudian menjadi Koes Plus― merilis album To the so Called the Guilties. Di dalam album yang berisi 12 lagu, terdapat lagu “Di Dalam Bui”. Lagu ini terispirasi pengalaman mereka meringkuk di dalam sel penjara Glodok pada 1965.
Personel Koes Bersaudara dijebloskan ke penjara pada 1965 lantaran memainkan lagu-lagu The Beatles dalam sebuah acara musik. Mereka dianggap melanggar kebijakan pemerintah yang melarang musik ngak-ngik-ngok, sebutan untuk musik Barat. Sehari sebelum terjadi peristiwa G30S, mereka dibebaskan tanpa alasan yang jelas.
Dalam lagu “Di Dalam Bui”, mereka memasrahkan diri sepenuhnya pada Tuhan.
Waktuku di dalam bui
Kubersedih dan bernyanyi di malam sunyi
Ibu dan ayah menanti
Berdoa setiap hari aku kembali
Tutupkanlah semua pintu
Matikanlah semua lampu kamar kurungku
Hatiku kan tetap tenang
Karna ada sinar terang dari Tuhanku
Walaupun hidupku dikurung selalu
Tetapi aku tetap milikmu Tuhanku
Lagu-lagu dalam album To the so Called the Guilties diciptakan setelah mereka dibebaskan. Selain berkisah pengalaman dan perenungan di penjara, Koes Bersaudara juga melontarkan amarah, protes, dan kritik terhadap penguasa.
Mereka menggambarkan sipir penjara Glodok yang sombong dan keji dalam lagu “Voorman”. Pada satu titik, mereka terkadang putus asa karena mungkin mereka akan digantung, sehingga siang-malam mereka berdoa, seperti tersurat dalam lagu “Mengapa Hari Tlah Gelap”.
Lirik bernuansa penjara juga muncul dalam album Jadikan Aku Dombamu, yang rilis bareng dengan To the so Called the Guilties. Lagu-lagu dalam album Jadikan Aku Dombamu diciptakan selama mereka di penjara. Album ini bisa dibilang sebagai album kesaksian Koes Bersaudara.
Lagu “Balada Kamar 15”, misalnya, menegaskan keberadaan mereka di penjara, yang menempati kamar nomor 15. Sekalipun sedih, mereka mengisi hari-hari mereka dengan bercanda dan bernyanyi. Ada ketegaran yang mereka tunjukkan, dan keyakinan bahwa suatu hari nanti mereka akan dibebaskan.
“Hidup di Bui” - D’Llyod
D’Llyod merupakan grup musik yang dibentuk pada 1969 dan mencapai popularitas pada 1970-an. Salah satu lagu yang mereka nyanyikan adalah “Hidup di Bui”. Karena menceritakan kehidupan di dalam penjara, lagu berirama pop itu juga popular di kalangan tahanan.
Hersri Setiawan, kala menjadi tahanan politik (tapol), mendengar lagu itu ketika ditahan di Pasukan Komando Armada II (Paskoarma II) KKO Cilandak. Menurut Hersri Setiawan dalam buku Kamus Gestok, lagu ini tak dikenal siapa penciptanya. Hersri menduga, kemungkinan lagu tersebut dikarang salah seorang tahanan politik di rumah tahanan chusus (RTC) Tangerang pada 1970.
RTC Tangerang merupakan salah satu rumah tahanan yang menampung tahanan politik yang dituding terlibat peristiwa G30S. Hersri menulis, di RTC Tangerang itu ada sejumlah tapol yang pemusik dan pemimpin paduan suara.
Dalam tulisannya yang lain, Hersri menelisik latar-belakang D’Lloyd. D’Lloyd, tulis Hersri, adalah perusahaan pelayaran dan perkapalan Djakarta Lloyd. Perusahaan asing ini kemudian dinasionalisasi pada 1950-an. Melalui Serikat Buruh Pelayaran dan Perkapalan (SBPP), PKI menanamkan pengaruhnya yang kuat di perusahaan itu.
“Maka tidak aneh jika sesudah Peristiwa G30S, banyak dari buruh Djakarta Lloyd, baik yang dari tingkat massa maupun tingkat pimpinan, saya jumpai sebagai sesama tapol di RTC Salemba, Tangerang, bahkan sampai di Buru,” tulis Hersri.
“Karena itu menjadi tidak aneh, apabila satu kali ‘Hidup di Bui’ mendapat kesempatan menyelinap keluar dari Rumah Tahanan, maka di luar sana ia pun segera dibukakan pintu oleh keluarga Band ‘D’Lloyd’.”
Lagu “Hidup di Bui” meledak di pasaran sebelum dilarang Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada awal 1970-an. Dalam tulisannya “Musik Pop (di) Era Rezim Soeharto”, pengamat musik Denny Sakrie menulis bahwa pada 1975 grup musik D’Lloyd dicekal, karena lagunya “Hidup di Bui” dianggap tak mencerminkan keadaan lembaga pemasyarakatan.
Hidup di bui bagaikan burung
Bangun pagi makan nasi jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apadaya badanku terkurung
Terompet pagi harus bangun
Makan diantri nasinya jagung
Mau merokok rokoknya puntung
Mau mandi tidak ada sabun
Oh kawan dengar lagu ini
Hidup di bui menyiksa diri
Jangan sampai kawan mengalami
Badan hidup terasa mati
Apalagi penjara Tangerang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang
Karena kerja secara paksa
Tua muda turun ke sawah.
Pada 1980-an, lagu “Hidup di Bui” dirilis lagi dalam irama dangdut dan dibawakan oleh Syam D’Lloyd. Dalam sampul kaset penciptanya ditulis Bartje van Houten, gitaris D’Lloyd. Sejumlah syair di dalam lagu itu diubah, seperti kata “Tangerang” diubah menjadi “zaman perang”.
Ironisnya, meski sudah ada perubahan lirik, lagu ini kembali kena larangan. Kali ini oleh Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film. Artinya, lagu ini tak bisa mengudara di RRI maupun siar di TVRI, bahkan lembaga penyiaran milik swasta. Selain dianggap tak sesuai kenyataan, lagu ini masuk kategori “lagu cengeng”, yang lagi diperangi pemerintah, sama seperti lagu pop “Hati yang Luka” karya Obbie Messakh.
Ketika ramai-ramai pelarangan, Bartje sendiri tak mendaku lagu itu ciptaannya. “Penciptanya tidak ada yang tahu. No name,” ujar Bartje kepada majalah Jakarta-Jakarta tahun 1989. Setahunya, lagu itu sudah ada ketika dia masih kecil. Kala itu penyanyinya Ellya Khadam.
“Tembok Derita” - Asmin Cayder
Adegan pelawak Bokir menyanyikan lagu dangdut “Tembok Derita” dalam film Malam Satu Suro (1988) barangkali diingat penggemar film Indonesia. Di film tersebut, Bokir yang menjadi penyanyi dangdut kampung bernyanyi pada konser dangdut imajiner di pekuburan. Lalu muncul sundel bolong Suketi (Suzanna), yang mengiringi Bokir bernyanyi. Tak tanggung-tanggung, meski hanya tempelan untuk bumbu humor, lagu itu dinyanyikan hingga habis.
Lagu “Tembok Derita” diciptakan Asmin Cayder (Asmin Chaidir). Ia masuk dalam album Tembok Derita yang dirilis label Genta Record pada 1988. Menurut Japi Tambajong dalam Ensiklopedi Musik, Asmin menciptakan banyak lagu dangdut dengan lirik memelas dan sial pada 1980-an.
“Tembok Derita” mengisahkan penderitaan seorang narapidana, yang tak jelas kapan proses sidang dilakukan.
Pak hakim dan pak jaksa kapan saya akan disidang
Sudah tiga bulan aku mendekam belum saja ada panggilan
Saya sudah tidak tahan tiap malam kedinginan
Tidur di ubin tak bertikar nyamuk-nyamuk menjengkelkan
Saya ingin cepat pulang
Dalam tembok derita aku menebus dosa
Dalam tembok derita menjadi narapidana
Dalam tembok derita jauh dari orang tua
Dalam tembok derita tak akan dapat kulupa
Tobat tujuh turunan semoga takkan terulang
Kalau bebas ingin sadar menjadi orang yang benar
Kejelasan proses pengadilan terhadap seorang narapidana menjadi kritik dalam lagu ini. Sebelum Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diundangkan pada 1981, memang banyak keluhan soal kejelasan proses persidangan. Terkadang, seorang narapidana harus menunggu waktu begitu lama untuk maju ke meja hijau.
Namun, menurut Frans Hendra Winarta dalam Bantuan Hukum di Indonesia, usai KUHAP diundangkan pun masih terjadi ketidakadilan. KUHAP mengandung banyak kelemahan mendasar, seperti tak adanya sanksi terhadap penyidik yang memeriksa tersangka dengan mengabaikan haknya untuk didampingi penasihat hukum dan tak adanya kekuasaan pengadilan untuk menolak berita acara pemeriksaan tersangka yang tak sesuai prosedur.
Tahun 1991, lagu “Tembok Derita” muncul dalam album Nasib Sopir di bawah label Dian Record. Album ini menampilkan seluruh lagu ciptaan Asmin.
Sebelumnya, lagu ini menjadi salah satu lagu dalam film Tembok Derita (1990). Di dalam film yang dibintangi Johny Indo ini nama Asmin Cayder ditulis Asnin Cader.
Menilik dari judul filmnya yang sama dengan judul lagu ciptaan Asmin, barangkali film ini terinspirasi lagu Asmin. Sebab, berdasarkan buku Katalog Film Indonesia 1926-2007 karya JB Kristanto, tak ada keterangan Asmin terlibat dalam produksi film ini.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar