AKSI Elanto Wijoyono menghadang rombongan motor gede (moge) di Perempatan Condong Catur, Yogyakarta, 15 Agustus 2015, menjadi pembicaraan dan pemberitaan di media massa. Dia melakukan hal tersebut lantaran kesal dengan klub moge yang sering melanggar rambu lalu lintas saat kovoi dan melakukan tindakan seenaknya tanpa menghiraukan pengguna jalan lain. Ironisnya, mereka biasa dikawal polisi dengan voorijder. Sebenarnya, tak hanya moge, klub motor kecil pun ketika konvoi juga kerap menguasai jalan dan meminggirkan pengendara lain.
Keberadaan klub motor di Indonesia sudah sejak zaman kolonial Belanda. Motor hadir sebelum mobil masuk ke Hindia Belanda. Orang pertama yang memiliki motor adalah seorang Inggris, John C. Potter, yang bekerja sebagai masinis pabrik gula di Umbul, dekat Probolinggo. Potter membeli motor langsung ke Hildebrand Und Wolfmuller, perusahaan penemu sepeda motor pertama pada 1883. Jadi, motor masuk Hindia Belanda tak lama setelah ditemukan.
Baca juga: Teror Motor Gede
Setelah motor masuk ke Hindia Belanda, orang-orang terlihat kagum dan heran. “Karena tidak ditarik oleh kuda atau hewan lainnya maka kedatangan sepeda motor pertama di Jawa membuat siapa pun yang melihatnya menjadi tercengang dan terbengong. Orang lantas menamankannya Kereta Setan,” tulis Abdul Hakim dalam Jakarta Tempo Doeloe.
Keberadaan motor mulai berkembang di Hindia Belanda pada tahun 1900-an. Para pemilik motor orang Belanda dan Eropa di Batavia membentuk klub motor atau persatuan pengendara sepeda motor (motor-wielrijders bond), Magneet pada 1913. Sebagai corong, mereka mengeluarkan majalah sesuai nama klub, Magneet.
“Sebagaian besar terbitaan Magneet berisi pengumuman dan laporan dari clubtochten atau perjalanan klub,” tulis Rudolf Mrazek dalam Engineers and Happy Land.
Baca juga: Presiden Suka Motor Gede
Seperti klub motor zaman sekarang, Magneet melakukan touring ke berbagai tempat. Perjalanan pertama Magneet pada 28 Desember 1931, dimulai dari Taman Wilhelmina, di pusat kota Batavia, kemudian berkeliling kota Batavia, dan berakhir di hotel De Stam di Gondangdia Baru, permukiman modern yang baru dibangun. Magneet juga melakukan perjalanan ke luar Batavia. Untuk itu, mereka menyewa hotel dan restoran di Bogor dan Cipanas.
“Anggota-anggota klub sepeda motor, sebagaimana dilaporkan Magneet, menembus lebih dalam dari pusat menuju pinggiran-pinggiran dan pedalaman,” tulis Mrazek.
Baca juga: Mula Istilah Kuda Gigit Besi
Menurut Hani Raihana dalam Negara di Persimpangan Jalan Kampusku, majalah Magneet berhasil menjadi media propagandis yang memainkan tafsir kekuasaan di jalan raya. Magneet menyebut bahwa “tujuan kami...terutama melakukan perjalanan-perjalanan klub oleh para anggotanya, dengan fokus, terutama, mengemudi secara lambat dan saksama.”
Kenyataannya, Magneet merugikan masyarakat karena terjadi kecelakaan seperti menabrak gerobak, pasar, ayam, dan membunuh seorang gadis yang mengendarai sepeda. “W.A. van den Cappellen dari Jalan Bekasi No. 3 dituduh membunuh seorang gadis bernama Moenah dari Kampung Dureng III dengan motornya. Pria itu sedang mengemudi tanpa SIM,” tulis Mrazek mengutip Magneet.
Baca juga: Aturan Menyalakan Lampu Motor
Di tempat lain, seorang anggota klub, Arriens, yang mencelakai dipukuli penduduk. Beruntung bagi dia datang seorang asisten residen Belanda yang menyelamatkannya dari amuk massa.
“Kecelakaan lalu lintas merupakan hal lumrah, sementara balapan yang memposisikan pengendara kendaraan sebagai raja jalanan secara kuat diekspresikan (oleh Magneet, red) sebagai kebenaran,” tulis Hani.
Menurut Mrazek, kecelakaan-kecelakaan di jalan, dan tentu saja makin banyak, mudah diatasi oleh Magneet. Dengan cara seperti menyimpang keluar dari berita itu, memberitakannya sambil lalu, dan membuat berita tabrakan agar dibaca sebagai bagian dari kalender klub.
“Sebagaimana biasa, ditempatkan di halaman yang sama, di antara pokok-pokok lain yang biasa, semua tabrakan itu sebagian besar terjadi pada hari Minggu,” tulis Mrazek.