KEGELAPAN nan pekat perlahan buyar di langit Selat Blackett, Kepulauan Solomon, Pasifik Selatan saat pagi (2/8/43) menyapa. Letnan Satu (Lettu) John Fitzgerald Kennedy alias JFK menatap nanar pada puing-puing kapalnya, motor torpedo boat (MTB) PT-109 dan para krunya.
Beberapa jam sebelumnya, kapal yang dinakhodai Lettu JFK itu dihantam kapal perusak Jepang, Amagiri, hingga terbelah dua dan terbakar sebelum meluncur ke dasar laut. Ian Martin dalam In Harm’s Way: JFK, World War II, and the Heroic Rescue of PT 19 mencatat, dari 12 krunya, dua di antaranya langsung tewas di tempat.
JFK sendiri mengalami cedera di punggungnya usai terlempar dari anjungan MTB PT-109 walau tak separah satu kru lainnya yang mengalami luka bakar hebat. Selepas Amagiri menjauh, JFK menggiring sembilan kru ke satu perahu penyelamat yang tersisa, sementara ia mesti menyelamatkan seorang kru lain, Masinis I Patrick ‘Pappy’ McMahon, yang mengalami luka bakar itu untuk tetap mengambang di permukaan.
“Bagaimana keadaanmu, Mac?” tutur JFK.
“Seberapa jauh lagi, Pak?” ujar McMahon, yang merupakan kru tertua, balik bertanya.
“Ya sudah lumayan,” jelas JFK.
“Pak, sudahlah. Saya takkan bertahan. Tinggalkan saya di sini,” pinta McMahon.
“Suka atau tidak, kau akan tetap ikut kami, Pappy!” kata JFK tegas.
Baca juga: Ketika JFK Nyaris Meregang Nyawa di Perang Pasifik
JFK dan para krunya pun terombang-ambing hingga akhirnya menemukan daratan sekira empat jam kemudian. Mereka terdampar di Pulau Plum Pudding –kelak diberi nama Pulau Kennedy.
Beruntung tidak ada serdadu Jepang di pulau terpencil itu. Mereka mencoba bertahan hanya dengan minum air kelapa hingga akhirnya bertemu penduduk lokal. JFK lantas mengukir koordinat lokasinya di sebuah batok kelapa untuk minta bantuan penyelamatan. Misi penyelamatan itu baru datang sepekan berselang.
“Saya mengabdi 20 tahun di Angkatan Laut (AL) Amerika Serikat dan saya tak pernah mendapati perwira yang melakukan hal seperti Kennedy,” kenang Masinis I Gerard E. Zinser, dikutip Martin.
Meliput ke Postdam dan Berlin Berkat "Ordal"
Butuh waktu sekitar sebulan buat JFK menjalani pemulihan cedera punggungnya. Insiden pada 2 Agustus 1943 tak membuatnya kapok untuk bertugas. Pada 2 November 1943, JFK kembali diserahi tugas menakhodai MTB PT-59 di Pulau Choiseul. Namun dua pekan berselang cedera punggungnya kambuh lagi dan dokter AL yang memeriksanya memerintahkannya kembali dirawat di rumahsakit darurat di Tulagi.
“Mulai Desember 1943 seiring kondisi kesehatannya memburuk, Kennedy terpaksa meninggalkan front Pasifik dan dipulangkan ke San Francisco pada awal Januari 1944. Usai dirawat lagi di Rumahsakit AL Chelsea di Massachusetts hingga Desember 1944, ia tak lagi berstatus perwira tugas aktif,” ungkap Alan Brinkley dalam biografi John F. Kennedy.
JFK lantas resmi dibebastugaskan dari AL sebagai purnawirawan berpangkat kapten. Tapi toh ia masih merasa “haus” akan petualangan di masa perang.
Baca juga: Enam Pelaut Amerika di Perang Pasifik yang Menjadi Presiden
Maka begitu purnawirawan, JFK beralih jadi kuli tinta. Semasa kuliah di Harvard College pra-Perang Dunia II, JFK sempat terlibat di jurnalisme dan aktif di suratkabar kampus, The Harvard Crimson.
Lalu di pengujung Perang Dunia II, JFK berkecimpung sebagai koresponden suratkabar Hearst berkat “orang dalam” (ordal). Pemilik suratkabarnya, William Randolph Hearst, adalah salah satu teman dekat ayahnya.
“Ia sempat menulis beberapa artikel saat penandatanganan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa di San Francisco pada 26 Juni 1945. Pekerjaan itu juga membawanya ke Konferensi Potsdam pada musim panas 1945 (17 Juli-2 Agustus 1945, red.). Selain meliput, ia juga hadir sebagai veteran perang dan pengamat profesional,” tulis Kirk LeMoyne Billings dalam John F. Kennedy’s Hidden Diary.
Keterlibatan JFK di Konferensi Potsdam lagi-lagi berkat “ordal”. Ia berangkat ke Berlin lalu ke Potsdam seraya menemani Menteri AL Amerika James Forrestal, salah seorang teman dekat lain ayahnya.
Oleh karenanya ia bisa menengok lebih dekat konferensi yang menghasilkan tuntutan penyerahan tanpa syarat kepada Jepang itu sekaligus mengamati situasi Berlin pasca-berakhirnya Perang Eropa. Jerman Nazi sendiri sudah menyerah kepada Sekutu pada Mei 1945.
“Kehancurannya (Berlin) begitu lengkap. Tidak satupun bangunan yang tidak rusak. Di jalan-jalan tercium bau busuk dari orang-orang yang sakit maupun mayat-mayat, sungguh tak terkira,” tulis JFK dalam catatan perjalanannya, dikutip Lawrence J. Haas dalam The Kennedys in the World: How Jack, Bobby, and Ted Remade America’s Empire.
“Orang-orang berwajah pucat membawa kantung barang-barang, ke mana mereka akan pergi, tiada yang tahu. Para perempuan akan melakukan apa saja demi makanan dan sebisa mungkin menghindari orang-orang (tentara) Rusia,” tambah JFK.
Baca juga: Akhir Tragis Penduduk Jerman di Fase Akhir Rezim Fasis
Kelak ketika sudah menjadi presiden Amerika ke-35 (1961-1963), JFK comeback ke Berlin. Ia datang dan menyapa sekitar 120 ribu warga Berlin di Rathaus Schöneberg (balaikota Berlin) pada 26 Juni 1963 atau dua tahun pasca-didirikannya Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Ia melantangkan pidato kondang “Ich bin ein Berliner” (saya orang Berlin) di masa Perang Dingin sedang panas-panasnya.
“Dua ribu tahun lalu, bualan paling membanggakan adalah ‘civis romanus sum’ (saya warga Roma). Hari ini di dalam dunia yang bebas, sesumbar yang membanggakan adalah ‘Ich bin ein Berliner!’ Semua warga berhak akan kebebasan, ke manapun ia ingin tinggal, ia adalah warga Berlin dan oleh karenanya, sebagai orang bebas, saya dengan bangga menyatakan, ‘Ich bin ein Berliner!’” tandas JFK.