Masuk Daftar
My Getplus

Akhir Tragis Penduduk Jerman di Fase Akhir Rezim Fasis

Ketiadaan masa depan, ketakutan dan beberapa faktor lain berkelindan sebabkan ribuan rakyat Jerman bunuh diri di akhir Perang Dunia.

Oleh: M.F. Mukthi | 22 Mei 2021
Ilustrasi sejumlah serdadu Soviet melihat beberapa perempuan Jerman yang tewas bunuh diri di Demmin. (Betaria Sarulina/Historia.id).

Setelah lebih dari 10 tahun dari kunjungan pertamanya, fotografer-jurnalis Margaret Bourke-White kembali mendapat kesempatan meliput ke Jerman pada awal 1945. Pada kunjungan pertamanya, tahun 1932, Margaret yang masih bekerja untuk Majalah Fortune mendapati keadaan Jerman mengkhawatirkan. Jerman yang saat itu dilarang memiliki militer dalam jumlah besar oleh Perjanjian Versailles usai Perang Dunia I, justru getol melakukan pelatihan militer dan sedang diwabahi Naziisme.

“Dia tinggal di Jerman cukup lama untuk memotret pasukan Jerman yang sedang berlatih dengan peralatan tiruan, seperti senapan kayu. Saat itu, Jerman dilarang memiliki tentara yang besar dan menimbun persenjataan,” tulis Emily Keller dalam biografi Margaret berjudul Margaret Bourke-White: A Photographer’s Life.

Maka ketika mendapat kesempatan kedua mengunjungi Jerman, Margaret bersemangat. Dia berangkat pada Maret 1945, ketika negeri itu telah berada di jurang kekalahan dalam Perang Dunia II. Sebagai fotografer-koresponden AD Amerika Serikat, Margaret bertugas mendokumentasikan dan melaporkan keadaan di tempat-tempat yang disinggahinya mengikuti gerak-maju Tentara Ketiga AD AS pimpinan Jenderal George Patton.

Advertising
Advertising

“Dia melihat orang-orang Jerman yang dikalahkan melalui mata seorang pemenang: dalam histeria mereka yang suram, berjuang untuk hanya beberapa inci dari tanah-air ketika seluruh bangsa mereka tercabik-cabik, mereka baginya tampak seperti makhluk dari planet lain,” tulis sejarawan Florian Huber dalam Promise Me You’ll Shoot Yourself: The Mass Suicide of Ordinary Germans in 1945.

“Orang macam apa ini, persetujuan siapa, baik pasif atau kriminal, yang memungkinkan kekuatan jahat tumbuh? Seberapa dalam Hitler bergejolak di dalam jiwa orang Jerman kebanyakan?” kata Margaret bertanya pada dirinya sendiri sebagaimana dikutip Florian.

Baca juga: Pembantaian Penduduk Desa Kondomari oleh Serdadu Jerman-Nazi

Dalam kunjungan keduanya itu, Margaret dibuat syok oleh fenomena mengerikan yang tak umum. Ketika Margaret bersama seorang sersan AD AS meminta rumah untuk dijadikan kantor pers di kota Schweinfurt, Lower Franconia pada April 1945, mereka justru mendapati seorang ibu dan dua putranya yang masih kecil tewas bunuh diri. Ibu itu menembak dirinya sendiri di gudang batu bara setelah sebelumnya memberi sianida pada kedua putranya untuk diminum. Meskipun hati Margaret merasa tersayat, pemandangan itu membuat hasrat jurnalistiknya tergugah.

“Membuatku harus memotret tubuh-tubuh kecil yang menyedihkan itu, korban kekuatan yang seharusnya sangat jauh dari kehidupan seorang anak, adalah salah satu pekerjaan tersulit yang pernah ku miliki,” kata Margaret, dikutip Florian.

Pada 20 April, Margaret diajak Bill Walton, koleganya dari Majalah Life, ke balaikota. Begitu sampai di bangunan bergaya Baroque yang hancur oleh artileri pasukan AS itu, mereka segera menarik nafas karena melihat pemandangan mengerikan di sebuah ruang. Di sana Dr. Kurt Lisso, bendahara kota Schweinfurt sekaligus anggota awal Nazi, dan keluarganya terbaring tak bernyawa di kursi masing-masing akibat bunuh diri.  

“Berbaring di atas furnitur kulit yang koyak adalah sebuah keluarga, begitu akrab, begitu hidup, sehingga sulit untuk menyadari bahwa orang-orang ini sudah tidak hidup lagi. Duduk di depan meja, dengan kepala tertunduk seolah-olah sedang beristirahat, adalah Dr. Kurt Lisso. Di sofa ada putrinya, dan di kursi berlengan empuk duduk istrinya. Dokumen untuk seluruh keluarga tertata rapi di atas meja. Di sebuah ruangan di dekatnya, duduk dalam lingkaran yang sama seperti aslinya, adalah Walikota Alfred Freiberg, Ober-burgermeister, bersama istrinya, dan putrinya yang cantik, Magdalena. Kamar-kamar yang bersebelahan memiliki karakter damai dan sunyi yang serupa,” kata Margaret dalam diary-nya, dikutip Walter Kempowski dalam Swansong 1945: A Collective Diary from Hitler’s Last Birthday to VE Day.

Mayat-mayat akibat bunuh diri menjadi pemandangan yang hampir selalu dilihat Margaret di kota ataupun pedesaan yang disinggahinya sepanjang perjalanannya melintasi wilayah Rhineland, Hesse, Bavaria, Thuringia hingga Saxony. Bunuh diri menjadi pilihan banyak warga Jerman di fase akhir Perang Dunia II ketika tentara Sekutu mulai memasuki wilayah Jerman dari timur dan barat. Alasan di balik pilihan menakutkan itu amat rumit, merupakan rajutan dari faktor ketiadaan harapan di hari depan, kesulitan ekonomi yang bakal dihadapi, harga diri yang terinjak sebagai bangsa yang kalah, rasa bersalah pada sebagian besar pelaku kejahatan semasa perang, respon terhadap kondisi yang dihadapi begitu tentara Sekutu tiba, dan ketakutan.

Faktor ketakutan timbul akibat propaganda massif yang dilakukan elite Nazi. Tujuan propaganda itu adalah untuk mendapatkan kesetiaan penuh rakyat Jerman. Dengan “bahan bakar” pembantaian penduduk Desa Nemmersdorf di Prusia Timur oleh tentara Uni Soviet pada Oktober 1944, Nazi gencar mengkampanyekan propagandanya berupa kengerian yang bakal dialami rakyat Jerman apabila Tentara Merah mencapai tempat tinggal mereka. Dalam sebuah pidatonya, Menteri Propaganda Joseph Goebbel mengatakan bahwa begitu “Gerombolan Bolshevik Mongol” –demikian dia menjuliki Tentara Merah– tiba, mereka akan membumihanguskan kota-kota atau desa-desa yang dilalui, membiarkan penduduk kelaparan, mengirim penduduk kerja paksa ke tundra-tundra, dan melakukan eksekusi massal. Selain itu, para prajurit Tentara Merah bakal menjarah apapun yang ditemui, menyiksa anak-anak sebelum membunuh mereka, dan memperkosa perempuan yang ada tak peduli usia mereka.

Baca juga: Cerita Kelam Perempuan Jerman Setelah Nazi Kalah Perang

Sebagai solusi dari keadaan mengerikan itu, Nazi menyarankan agar rakyat melakukan bunuh diri. Bunuh diri, sebagaimana ditulis sejarawan Christian Goeschel dalam Suicide in Nazi Germany, merupakan langkah terakhir yang dicitrakan Hitler sebagai langkah ksatria. Bunuh diri dianggap sebagai lebih “mulia” ketimbang menyerah atau mati ditawan. Alih-alih dianggap sebagai cara pecundang lepas dari tanggung jawab, bunuh diri dianggap sebagai pengorbanan heroik.  Bunuh diri bahkan telah disinggung Hitler saat berpidato di Reichstag pada 1 September 1939, hari di mana Jerman-Nazi memulai serangan ke Polandia yang menjadi pembuka Perang Dunia II.

Pandangan Hitler itu segera diamini para pembantunya. Menteri Propaganda Goebbels dalam pidato radionya tanggal 28 Februari 1945 menyinggung kepahlawanan Cato dari Utica yang memilih bunuh diri ketimbang hidup di bawah kekuasaan Julius Caesar.

“Bunuh diri selalu menjadi pilihan bagi Hitler, yang mencoba mengikuti contoh Romawi di mana para pemimpin yang gagal menyerahkan hidup mereka pada pedang mereka. Hitler dan para pemimpin Nazi lain tidak melihat bunuh diri sebagai tindakan putus asa,” tulis Goeschel.

Propaganda Nazi yang disebarkan lewat radio, suratkabar, pamflet dan media-media lain itu berhasil membuat banyak orang Jerman, termasuk anggota Nazi sendiri, dibayangi ketakutan. Pada awal 1945, banyak penduduk Jerman bunuh diri bahkan sebelum pasukan Soviet memasuki desa-desa dan kota-kota mereka.

Di kota kecil Demmin, sebanyak 21 penduduk telah bunuh diri bahkan ketika pasukan Soviet masih bersusah payah membangun jembatan darurat untuk akses masuk ke Demmin yang direbut Soviet pada 30 April 1945. Lothar Buchner, anggota Dinas Perburuhan Nasional setempat, gantung diri setelah mencekik bayinya yang berusia tiga tahun demi menghindari kekejaman tentara Soviet. Langkah Buchner kemudian diikuti istrinya, saudarinya, dan ibu serta neneknya.

Apa yang dilakukan Buchner juga dilakukan keluarga Bewersdorff, direktur Asuransi Kesehatan Umum Demmin. Setelah menghabisi semua anggota keluarganya, termasuk dua cucunya yang berusia dua dan sembilan tahun, dia gantung diri. Pun dengan seorang pensiunan polisi. Bersama istrinya keduanya gantung diri yang kemudian diikuti dua putrinya.

Namun, bunuh diri massal tak hanya terjadi di kota-kota dan desa-desa di wilayah timur. Di barat, para penduduk juga telah mulai menghabisi diri mereka sendiri sejak awal 1945. Di Friedberg, Hesse, pria berusia 35 tahun gantung diri pada 3 Februari. Tindakannya itu kemudian diikuti istrinya dengan membunuh putranya sebelum menyayat pergelangan tangannya sendiri. Di Giessen,  guru bernama Frank dan istrinya meminum racun ketika pasukan Amerika –yang dipropagandakan Nazi akan menghisap darah anak-anak dan memperkosa perempuan–  memasuki kota.

Baca juga: Bunuh Diri Massal Penduduk Jerman di Demmin

Jumlah bunuh diri melonjak, terutama pada kaum perempuan di wilayah timur, setelah pemerkosaan menjadi pemandangan umum yang dilakukan para serdadu Soviet. “Biarawati, gadis-gadis, perempuan tua, ibu hamil dan ibu yang baru saja melahirkan semua diperkosa tanpa belas kasihan,” tulis jurnalis Antony Beevor dalam Berlin: The Downfall 1945.

Di Berlin, bunuh diri dengan meminum kapsul sianida merupakan fenomena umum. Hal itu tak lepas dari pembagian kapsul sianida sebagai hadiah perpisahan Hitler yang didistribusikan Pemuda Hitler usai konser pamungkas Berlin Philharmonic pada 12 April 1945.

“Membawa kapsul sianida adalah hal biasa di bulan-bulan menjelang akhir perang; di Berlin, misalnya, otoritas kesehatan setempat diduga mendistribusikan kapsul kalium sianida dan perempuan membawa silet di tas tangan mereka. Di distrik Tempelhof di Berlin, istri seorang profesor tua bunuh diri dengan meminum obat tidur segera setelah Soviet tiba pada akhir April 1945,” tulis Goeschel.

Di Demmin, pemerkosaan yang dilakukan Tentara Merah menandai dimulainya gelombang kedua bunuh diri massal. Banyak perempuan bunuh diri demi menghidari pemerkosaan. Banyak pula ibu yang menghabisi anak mereka lalu mengakhiri hidup sendiri setelah diperkosa kendati tidak semua berhasil menemui ajal.

Waltraud Reski, bocah berusia 11 tahun, ingat betul pemandangan mengerikan itu juga melanda ibunya. Setelah berhasil kabur dari rumah, mereka tertangkap pasukan Soviet dalam perjalanan. Ibu Waltraud lalu dibawa paksa sekelompok serdadu itu dan diperkosa bergiliran. Saking frustrasinya akibat dipaksa melayani nafsu bejat prajurit Soviet hingga sekira 20 kali, sang ibu memutuskan bunuh diri dengan mengajak dua putrinya menceburkan diri ke sungai berarus deras. Beruntung niatnya dapat digagalkan sang nenek.

“Pada titik inilah nenek Waltraud menyelamatkan nyawa mereka untuk terakhir kalinya. Dia menahan ibu Waltraud dan berteriak, ‘Tolong jangan lakukan ini! Apa yang sedang kamu lakukan? Apa yang harus kukatakan pada suamimu saat dia kembali dari medan perang dan kau pergi?’ Akibatnya, kata Waltraud, ibunya ‘menjadi lebih tenang’ dan membiarkan dirinya terbebas dari sungai dan pikiran untuk bunuh diri,” tulis sejarawan Laurence Rees dalam Their Darkest Hour: People Tested to the Extreme in WW II.

Jumlah bunuh diri di Jerman makin meningkat setelah berita kematian Hitler tersiar ke seluruh negeri. Para petinggi partai dan milisi di pusat dan daerah, anggota militer, hingga penduduk semua melakukan bunuh diri. Goebbels sendiri setelah membunuh anak-anaknya meminta pengawalnya untuk menembak diri dan istrinya –versi lain menyebut Goebbels dan istrinya menelan kapsul sianida. Josef Terboven, komisaris Reich di Norwegia, meledakkan 50 kilogram dinamit di bunkernya pada 8 Mei 1945 begitu mendengar berita kematian Hitler.

Baca juga: Joseph Goebbels, Setia Nazi Sampai Mati

“Catatan bunuh diri di partai dan eselon atas SS sangat mengejutkan. Delapan dari 41 pemimpin daerah partai yang menjabat antara tahun 1926 dan 1945 dan 7 dari 47 pemimpin SS dan polisi yang lebih tinggi melakukan bunuh diri, diikuti oleh sejumlah pejabat rendah Nazi. Ketakutan akan pembalasan Sekutu dan gagasan pengorbanan diri mungkin telah memotivasi bunuh diri ini. Di eselon atas Angkatan Darat, bunuh diri juga meluas, mungkin karena keterlibatan Angkatan Darat dengan kejahatan Nazi. Menurut statistik tahun 1950, 53 dari 554 jenderal AD, 14 dari 98 jenderal Luftwaffe dan 11 dari 53 laksamana bunuh diri,” tulis Goeschel.

Tidak ada angka pasti berapa jumlah kematian akibat bunuh diri massal di Jerman pada 1945. Banyak kasus tidak dilaporkan atau diketahui. Di Berlin sendiri, lebih dari 7000 nyawa dilaporkan melayang karena bunuh diri itu.

“Saya tahu tidak ada cara untuk menyampaikan perasaan meningkatnya kekerasan yang kami saksikan saat kami berkendara lebih jauh ke Jerman: gelombang bunuh diri, para wanita melemparkan diri mereka ke kuburan yang baru digali karena kematian yang mereka cintai, kecaman penuh gairah dari teman dan tetangga, ketiadaan aturan umum. Setiap sudut jalan memiliki tragedi terbuka; setiap kehidupan tampaknya ditembak dengan teror masing-masing. Kematian sepertinya satu-satunya jalan keluar,” ujar Margaret, dikutip Florian.

TAG

perang dunia nazi jerman

ARTIKEL TERKAIT

Persaingan Inggris-Amerika di Tepian Rhine Pembantaian Nazi di Biara Ardennes Kudeta Seumur Jagung di Istana Kaisar Jepang Suara Titisan Dewa Mengakhiri Perang Dunia II Karl Doenitz, Panglima "Singa" Suksesor Hitler Sikut-sikutan Perlombaan Bom Atom Amerika-Jerman Aliansi Amerika-Jerman di Pertempuran Kastil Itter Otto Skorzeny yang Ditakuti Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman Di Balik D-Day, Gebrakan Menentukan di Normandia