Letjen (Purn.) Ibrahim Adjie menuju rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ia pulang usai menghadap Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap membicarakan urusan bisnis. Sejak pensiun dari TNI, Adjie menggeluti usaha kontraktor infrastruktur dan menjabat sebagai Presiden Direktur PT Kurnia Jaya Alam.
Menjelang petang, Adjie memasuki halaman rumahnya yang terletak di Jl. Gedung Hijau II/5 Kompleks Pondok Indah. Turun dari mobil Mercy putihnya, Adjie terlihat mengenakan setelan jas berikut dasi layaknya bos-bos parlente. Tiba-tiba, Adjie yang saat itu berusia 66 tahun disergap orang tak dikenal. Satu orang mendekap lehernya dengan sebilah golok sementara seorang lainnya menempelkan pisau ke bagian perut.
“Mantan Pangdam Siliwangi ditodong”, demikian Kompas, 16 Januari 1989 memberitakan insiden yang terjadi pada 13 Januari 1989 itu.
Membangunkan Macan
Sejak di perjalanan, Burik (38), Bongsor (29), Conge, dan Rasyim telah membuntuti mobil Adjie. Keempat perampok ini menargetkan Adjie sebagai calon korban mereka. Bongsor alias Chaerudin adalah perampok yang menodongkan golok pada Adjie sedangkan Rasyim menodongkan pisau. Sementara Burik alias Tan Kin An bersama Conge berperan sebagai penunggu yang mengemudikan motor.
Ditodong begitu tentu saja Adjie kaget. “Mau apa ini,” kata Adjie kepada penodongnya. Dalam suasana tegang itu, Farid, asisten rumah tangga yang membuka pintu rumah spontan berteriak. “Awas, Pak!” Sang sopir yang berada di dekat Adjie turut pula berseru, “Ambil pistol, Pak!”
Mendengar kata pistol, nyali para perampok itu mulai keder. Bongsor si penodong golok mengendurkan dekapannya sambil clingak-clinguk. Kesempatan itu tidak disia-siakan Ibrahim Adjie. Kendati sudah berumur, naluri tentaranya masih menyala.
Baca juga: Loyalis Sukarno Bernama Ibrahim Adjie
Secepat kilat Adjie mengambil pistol Colt 38 buatan Amerika jenis “Smith & Wesson” yang biasa tersimpan di laci mobil. Adjie segera melepaskan tembakan peringatan ke udara. Perampok yang menodongnya kocar-kacir menuju rekannya yang menunggu di motor. Adjie memerintahkan berhenti tapi mereka tetap berlari. Tembakan kedua pun menyalak, “Dor!” Rasyim si penodong pisau pun roboh. Dadanya berlumur darah tertembus timah panas.
Semula Adjie berniat hanya ingin melumpuhkan penodongnya supaya ada saksi hidup. Untuk itulah, ia membidik kaki salah satu perampok. Namun, kuatnya getaran pistol malah mengarahkan tembakannya ke arah atas.
“Wah, kalau saya masih muda, saya habisi keempatnya,” kata Adjie dikutip Majalah Editor, 21 Januari 1989. “Andaikan saya tahu lebih dulu dari jarak beberapa meter, saya hadapi dengan tangan kosong.”
Baca juga: "Tak Perlu Menunggu Ludah itu Kering, Kau Kutembak!"
Meskipun salah seorang anggotanya tertembak, kawanan rampok itu nekat melarikan diri. Rasyim yang terluka dinaikan ke atas jok sehingga berboncengan tiga orang di satu motor. Mereka memacu kendaraan ke arah Kebayoran Lama. Sementara itu, Burik yang sendirian mengendarai motor kalap memacu gasnya. Ia terjungkal setelah menabrak truk yang parkir di pinggir jalan. Warga sekitar yang mendengar suara letusan tembakan segera meringkusnya.
Adjie Membela Diri
Sehari setelah kejadian penembakan itu, aparat Polda Metro Jaya menemukan sesosok mayat tergeletak di Jl. RE Martadinata di bilangan Ancol, Jakarta Utara. Kadispen Polda Metro Jaya Letkol. Pol. Latief Rabar memastikan mayat tersebut adalah sosok perampok yang ditembak Ibrahim Adjie. Ternyata, Rasyim yang terluka parah hingga akhirnya meninggal itu digeletakkan begitu saja oleh teman-temannya.
Menurut pemeriksaan polisi, kawanan rampok itu tak mengetahui korbannya ialah Ibrahim Adjie, mantan Panglima Siliwangi (periode 1960—1966). Mereka malah salah sangka mengira Adjie seorang cukong Cina yang hendak pulang ke rumah. Percobaan perampokan itu berujung petaka bagi mereka sendiri.
“Sebetulnya peristiwa itu kriminal biasa, hanya saja mereka mau merampok uang dari mulut harimau,” ujar Ibrahim Adjie dalam Tempo, 21 Januari 1989.
Baca juga: Sang Jenderal Jadi Tukang Nasi
Adjie menduga para perampok itu tertarik dengan jam tangannya yang mirip Rolex. Jika pun demikian, ia pada dasarnya tak keberatan menyerahkan arlojinya. “Karena jam tangan saya itu sebenarnya merek Seiko seharga Rp 80 ribu,” katanya sambil tertawa, dikutip Tempo.
Pada pertenghan April 1989, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyidangkan dua terdakwa, Burik dan Bongsor. Mereka diadili atas kasus perampokan terhadap Letjen (Purn.) Ibrahim Adjie. Sementara itu, Conge masih buron. Selepas sidang, Burik dan Bongsor menyempatkan diri memintaa maaf kepada Ibrahim Adjie.
Meskipun tembakannya mengakibatkan salah satu perampok tewas, Ibrahim Adjie bebas dari pertanggungjawaban secara hukum. Ia dianggap melakukan tindakan membela diri.
Baca juga: Jenderal Hobi Berburu Babi
“Lho beliau kan berupaya membela diri. Pistolnya juga dimiliki secara sah, ada izinnya,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Dimyati, dikutip Tempo, 29 April 1981. Pada persidangan kasus itu, Dimyati berkedudukan sebagai jaksa yang membacakan dakwaan.
Sekalipun dirinya menjadi korban, Adjie tidak menyembunyikan rasa iba terhadap para perampoknya. Selain ada yang kehilangan nyawa, mereka yang didakwa bersalah harus menjalani hukuman penjara. “Kasihan, kalau dia tahu siapa saya,” kata Adjie yang biasa menggunakan senjata api itu untuk berburu sebagai hobinya, kepada Editor. “Mungkin tidak jadi melakukan niatnya.”