Jenderal Hobi Berburu Babi
Usai meninggalkan gelanggang tempur, sejumlah jenderal mengalihkan bidikannya kepada babi hutan. Dari sekadar gemar, membantu petani, hingga menjadikan mata pencaharian.
Presiden Soeharto sekali waktu mengadakan rangkaian kunjungan ke daerah transmigrasi. Program transmigrasi memang sedang digalakkan pemerintah pada dekade 1980-an. Soeharto datang untuk melihat kemajuan program itu sekaligus mendengarkan aspirasi masyarakat transmigran.
Para petani mengeluh kepada presiden tentang hama babi hutan perusak tanaman. Untuk menanggulanginya, pemimpin kelompok tani mengimbau agar dikirimkan tim Perbakin (Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia). Bertepatan pula dalam anjangsana itu, turut serta Ketua Perbakin Jakarta Brigjen (Purn.) Herman Sarens Sudiro.
Herman pun turun tangan. Setiap pekan, dia bersama rekan-rekan sesama pemburu turun ke hutan-hutan. Gangguan hama babi terbanyak umumnya berada di pedalaman Jawa Barat, Bengkulu, Jambi, Kediri, dan Palu.
“Saya senang bila musuh utama para petani ini teratasi,” kata Herman dalam otobiografinya Ancemon Gula Pasir Anak Angon Jadi Opsir. Namun, lama-kelamaan, ia melihat binatang haram ini bisa dijadikan mata dagangan dan buruan yang menguntungkan.
Hobi jadi Cuan
Berburu telah menjadi kegemaran Herman sejak kecil. Ia selalu berkhayal bagaimana binatang-binatang buas itu tumbang di tangannya. Hobi itu agaknya membantu untuk membidik tembakan dengan tepat kala menjadi tentara. Namun, bakat berburu perwira Siliwangi itu kian terpoles ketika dirinya bertugas sebagai duta besar untuk Madagaskar.
“Siapa tak kenal dengan kebuasan hutan Afrika? Di sanalah hobi saya berkembang. Hampir setiap bulan saya masuk hutan bersama staf kedutaan setempat,” kenangnya.
Sekembalinya ke Indonesia, Herman berniat mengembangkan olahraga berburu melalui babi hutan sebagai sasaran tembak. Pada 1985, Herman memperkenalkan konsep itu dengan menggelar seminar yang melibatkan delapan departemen termasuk menteri kehutanan. Sambil menanti konsepnya terwujud, Herman tetap melakoni kegemarannya berburu babi. Setiap ada kegiatan berburu, ia tak pernah ketinggalan.
Pada 1990, Herman menjadi juara perorangan dalam rangka HUT ke-44 Bhayangkara dengan menembak 90 ekor babi. Pada turnamen berburu yang sama untuk kategori beregu, tim Herman juga memenagkan kompetisi dengan 300 ekor babi. Di bawah PT Satria Kinayungan, Herman kemudian merintis program paket wisata berburu untuk mendatangkan turis luar negeri dan pemandu wisata.
Pada 19 Desember 1990, akhirnya dikukuhkan Asosiasi Wisata Alam dan Margasatwa Republik Indonesia. Organisasi ini lebih dikenal dengan nama Asosiasi Wisatwari. Di dalamnya, Herman Sarens duduk sebagai ketua Kompartemen Bidang Hubungan Instansi. Sejumlah nama kawakan juga tergabung di sana seperti Yapto Suryo Soemarno, Anak Agung Gde Agung, dan Hutomo Mandala Putra.
Baca juga: Lakon Para Jenderal Pensiunan
Daerah yang kelebihan habitat babi hutan dijadikan destinasi utama, seperti Pulau Muna di Sulawesi dan Ciemas di pedalaman Jawa Barat. Kunjungan wisatawan untuk berburu ke sana makin menggeliat. Mereka datang dengan predikat beragam. Ada pemburu vakansi, pemburu trofi, pemburu murni, hingga pemburu yang bertujuan untuk investasi.
“Mereka boleh menembak binatang buruan, tetapi harus memasukkan devisa kepada negara. Bila perlu mereka menanamkan modalnya setelah melihat potensi alam Indonesia,” ujar Herman.
Senjata Makan Tuan
Selain Herman Sarens, seniornya Jenderal Maraden Panggaben (Panglima ABRI 1973—1978) dalam otobiografinya, Berjuang dan Mengabdi, juga mengakui doyan berburu babi hutan. Demikian pula Jenderal Edi Sudrajat, panglima ABRI 1993. Ketika menjabat menteri pertahanan, seperti disebut Benny S. Butar-Butar dalam biografi Soeyono: Bukan Puntung Rokok, Edi Sudrajat memutuskan pergi berakhir pekan dengan berburu babi hutan di Bengkulu menjelang pecahnya Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) di Jakarta.
Mayjen IGK Manila yang banyak berkecimpung di dunia olahraga Indonesia dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983—1984 pun tidak sungkan mengatakan berburu babi adalah kegemarannya. Namun, cerita paling anyar datang dari Mayjen (Purn.) Kivlan Zen, yang menjabat kepala staf Kostrad periode 1998—2000.
Pada awal tahun 2020 silam, Kivlan tersandung kasus kepemilikan senjata api ilegal. Kasus ini mencuat setelah Kivlan disebut-sebut berada di balik percobaan pembunuhan yang ditujukan kepada Yunarto Wijaya, direktur eksekutif Charta Politika. Dari pengusutan polisi, Kivlan kemudian didakwa memiliki empat senjata api tak berizin; 3 laras pendek dan 1 laras panjang rakitan 22 mm.
Di pengadilan, Kivlan membela diri. Menurutnya senjata laras panjang itu digunakannya untuk memburu babi liar yang sering terlihat di halaman rumahnya. “Karena di kebun terdakwa banyak babi,” kata Kivlan dalam eksepsinya yang dibacakan 22 Januari 2020 dilansir mediaindonesia.com.
Baca juga: Rencana Pembunuhan Sukarno, Yani, dan Soebandrio
Pada akhirnya, Kivlan terbukti bersalah atas kepemilikian senjata api ilegal. Majelis hakim memvonisnya hukuman penjara 4,5 bulan dipotong masa tahanan. Alhasil Kivlan tidak menjalani kurungan penjara. Namun, kasus Kivlan ini ibarat peribahasa: senjata makan tuan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar