Loyalis Sukarno Bernama Ibrahim Adjie
Kala situasi kritis, Presiden Sukarno sangat mempercayai Ibrahim Adjie.
Sebingkai pigura memuat potret Bung Karno (BK) dengan senyum khasnya. Bersama foto itu, tertempel pula selembar pecahan uang kertas bernilai Rp. 100,- bergambar presiden pertama RI tersebut. Yang paling menarik, dalam bingkainya disertakan juga sepucuk surat BK tertanggal 3 Oktober 1965, persis dua hari usai terjadi Insiden Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965.
“Anakda I.Adjie, Kodam VI, Harap kerdja-sama sebaik-baiknya dengan sdr. Wiriadinata, menjelamatkan AURI, ADRI dan Revolusi. Keselamatan AURI dan ADRI adalah mutlak -perlu untuk menghadapi Nekolim,” demikian bunyi tulisan surat yang ditulis di atas kertas putih berkop “Adjudan Presiden” tersebut.
Sebagai panglima Kodam VI Siliwangi (1960—1966), reputasi militer Adjie terbilang gemilang. Darul Islam yang telah mengacau Republik sejak zaman revolusi berhasil ditumpas Divisi Siliwangi di bawah pimpinannya pada 1962. Operasi “Pagar Betis” yang dirancang Adjie berhasil meringkus pemimpin Darul Islam: S.M. Kartosoewirjo.
Baca juga: Detik-detik Terakhir Kartosoewirjo
Hubungannya dengan Sukarno pun cukup erat. Meski secara ideologis bukan pro Sukarnois, tetapi Adjie menaruh kesetiaan tinggi pada Sukarno. “Bung Karno adalah pemimpinku yang tertera dalam Caturlaksana Siliwangi,” kata Ibrahim Adjie pada 1964, dikutip David Jenkins dalam Soeharto & Barisan Jendral Orba: Rezim Militer di Indonesia 1975—1985.
Anak kelima Ibrahim Adjie dinamai Mini Suharti Aminah Adjie. “Suharti itu yang kasih nama Bung Karno, diambil dari Sukarno-Hartini (Istri ketiga Sukarno). Bapak (Ibrahim Adjie) yang minta nama sama Sukarno saat itu” ujar Kiki Adjie (61), anak kedua Ibrahim Adjie kepada Historia.
Pada 28 Agustus 1965, Presiden Sukarno memberikan anugrah Sam Karya Nugraha kepada Divisi Siliwangi. Anugrah tertinggi yang pertama dan satu-satunya diterimakan kepada kesatuan militer sepanjang pemerintahan Sukarno. “Hal ini menunjukkan kecintaan Bung Karno secara pribadi kepada Siliwangi dan kepada panglimanya, Mayor Jendral Ibrahim Adjie,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang.
Ibrahim Adjie sangat marah mengetahui ketidakjelasan keberadaan Presiden Sukarno pada 1 Oktober 1965. Menurut Victor M. Fic, dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, sepucuk surat diterima Ibrahim Adjie dari Sukarno yang diantar kurir Mayor Udara Subardjono, pilot pesawat Jet Star kepresidenan. Isi surat itu meminta Ibrahim Adjie agar sewaktu-waktu siap datang untuk menyelamatkan Sukarno di pangkalan udara Halim Perdanakusumah. Dia juga diminta supaya siap memberikan keamanan dan perlindungan kepada anak-anak Sukarno.
Baca juga: Kisah Ibrahim Adjie dan Supersemar
Ibrahim Adjie langsung mengeluarkan sebuah peringatan bahwa dia akan memerintahkan Divisi Siliwangi untuk bergerak memasuki Jakarta jika Presiden berada dalam bahaya. Atas permintaannya pula, Sukarno lantas diamankan ke Istana Bogor, wilayah kekuasaan Divisi Siliwangi.
Saat terjadi momen krusial pasca enam perwira tinggi TNI terbunuh, Sukarno mengajukan dua nama sebagai pimpinan TNI AD pengganti Ahmad Yani: Ibrahim Adjie dan Mursyid. Secara hirarkis, Mursyid yang menjabat sebagai Deputi I Panglima Angkatan Darat berada diatas Ibrahim Adjie. Namun Sukarno mendudukan Ibrahim Adjie pada pilihan pertama.
Namun langkah Ibrahim Adjie terbentur perihal domestik. Dia gagal menjadi Panglima Angkatan Darat lantaran mengambil istri kedua seorang wanita berbangsa Yugoslavia. Penolakan terutama datang dari Menteri Pertahanan Jendral Nasution yang dikenal puritan. Menurut Julius Pour hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan kesulitan psikologis terhadap para prajurit dan kolega Ibrahim Adjie di TNI.
Selain karena loyal kepada Sukarno, menurut Kiki Adjie, sebagai orang militer, ayahnya menghargai senioritas, sehingga tak terpikir untuk mengambil kekuasaan dalam suasana pergolakan. “Kalau bapak mau menguasai Indonesia saat itu bisa saja, kan dia punya pasukan (Siliwangi) yang bisa digerakkan,” kata Kiki Adjie.
Saat itu ada Jendral Nasution yang dianggap sebagai sesepuh TNI. Ada juga Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Jendral Soeharto yang usianya tiga tahun di atas Adjie. Keduanya dianggap sebagai tokoh senior dalam TNI meski tak punya pasukan yang berpengaruh.
Baca juga: Kisah Ibrahim Adjie dan Prajuritnya
Menurut tokoh militer Indonesia, Mayor Jenderal (Purn) Samsudin, dalam Mengapa G30S/PKI Gagal? Suatu Analisis, seandainya Ibrahim Adjie yang menjadi pimpinan TNI-AD pada waktu itu, dia akan dapat membatasi tindakan-tindakan yang akan diambil Soeharto sehubungan dengan persoalan G30S/PKI.
Ketika rezim Soeharto berhasil merebut kekuasaan, penyingkiran adalah lazim bagi mereka yang setia terhadap Sukarno. Tak terkecuali bagi Adjie. Dia mendapat “pos pembuangan”. Pada 1966—1970, Ibrahim Adjie dikirim ke London sebagai duta besar Indonesia untuk Inggris. Duta besar Indonesia untuk PBB di Genewa, Swiss menjadi jabatan terakhir yang diembannya dalam pemerintahan.
Ibrahim Adjie lantas menjauhkan diri dari hiruk-pikuk politik dan kekuasan, beralih ke dunia bisnis. “Bapak waktu itu beberapa kali ditawarkan duduk di kabinet dan menjadi wakil presiden. Tapi mana mau. Sebab Bapak tahu persis bagaimana orang-orang di sekitar Soeharto saat itu,” kata Kiki Adjie.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar