Sang Jenderal Jadi Tukang Nasi
Kebersahajaan Letnan Jenderal (Purn) Ibrahim Adjie memunculkan kisah-kisah lucu dan manusiawi.
SEJAK tahun 1960, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie kerap wara-wiri Bandung-Bogor-Jakarta. Statusnya sebagai panglima Komando Daerah Militer VI Siliwangi (Kodam VI Siliwangi) mengharuskan dirinya kapan pun siap dipanggil oleh Presiden Sukarno.
“Ada saja perintah untuk datang jika kebetulan Bung Karno sedang ada di Riung Gunung Puncak atau Istana Bogor bahkan tak jarang juga dipanggil langsung ke Jakarta,” ungkap Kiki Adjie, salah satu putra dari Ibrahim Adjie.
Menurut Kikie, di tengah perjalanan itulah Ibrahim kadang minta berhenti di sebuah kawasan yang sangat strategis dan pemandangannya indah. Dia akan turun di sana sekadar untuk menikmati suasana.
“Kadang lama juga ayah saya diam di situ,” ujar Kikie.
Baca juga:
Rupanya kebiasaan berhenti di kawasan Puncak itu diam-diam memunculkan ide bisnis di benak sang jenderal. Belasan tahun kemudian, saat sudah pensiun sebagai tentara, dia mendirikan Rindu Alam, restoran legendaris yang mulai beroperasi sejak 1979.
Sejak kemunculannya, Rindu Alam langsung diminati banyak orang. Begitu ramai-nya, hingga tak jarang Ibrahim pun turun langsung melayani para pengunjung. Kikie masih ingat, ayahnya tak segan berpakaian layaknya pramusaji ketika ikut melayani para pelanggan.
“Enggak apa-apa. Ayeuna mah jenderal-na oge jadi tukang sangu euy (Sekarang jenderal-nya juga sudah jadi tukang nasi),” katanya suatu hari saat beberapa pegawainya risih dan secara sopan mengingatkan Ibrahim bahwa dia adalah eks Panglima Kodam Siliwangi.
Ada suatu kejadian lucu. Suatu hari, seorang perwira menengah dari Kodam Siliwangi datang bersama keluarganya mengunjungi Rindu Alam. Mereka memesan banyak makanan yang tentunya harus melibatkan lebih dari dua orang untuk menyajikannya.
“Dengan memakai celemek, ayah saya pun memutuskan untuk langsung turun tangan dengan ikut membawa beberapa hidangan,” kenang Kikie.
Begitu tahu yang menghidangkan makanan untuk dia dan keluarganya adalah seorang eks Panglima Kodam Siliwangi, sang perwira pun dengan sigap langsung berdiri tegap seraya memberikan hormat secara militer. Ibrahim hanya tertawa dan menyuruh sang perwira kembali duduk.
“Tidak usah begitu. Sekarang kamu jadi raja buat saya, jadi kamu duduk saja yang enak,” ujar Ibrahim.
Ibrahim memang termasuk santai dalam menghadapi para bawahannya. Dia lebih banyak berlaku layaknya seorang bapak dibandingkan seorang komandan tentara. Tak aneh jika di kalangan anak buahnya, nama Mayor Jenderal TNI Ibrahim Adjie begitu populis. Begitu dekatnya, hingga Adjie tak segan-segan turun langsung ke palagan sekalipun.
“Waktu Operasi Pagar Betis pada awal 1960-an, ayah saya tak jarang menyertai langsung para prajurit yang tengah menghadapi gerilyawan Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo di hutan-hutan Jawa Barat,” ujar Kiki Adjie.
Baca juga:
Kendati seorang panglima, Ibrahim tak pernah berlaku sok berwibawa. Alih-alih jaim, ia justru sangat berbaur dan berusaha “tak berjarak” dengan para prajuritnya. Adjie sadar, para prajurit adalah garda terdepan saat menghadapi musuh-musuh negara. Karena itu apresiasi dan penghargaan seorang komandan mutlak harus dijalankan kepada mereka.
Ada lagi sebuah kisah yang mencerminkan kedekatan Adjie dengan para anak buahnya. Ceritanya, pada 1962, Adjie mengundang semua atase militer asing di Jakarta untuk melihat Jawa Barat. Kegiatan itu dilakukan sebagai upaya pembuktian kepada perwakilan negara-negara di dunia bahwa wilayah Jawa Barat sudah aman dari gangguan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Rute perjalanan rombongan panglima dan para atase militer asing itu dimulai dari Bandung lalu sampai ke Pangandaran. Jalan yang masih jelek berbatu menjadikan hampir sebagian besar anggota rombongan kelelahan. Mengetahui itu, begitu sampai di Kalipucang, Ibrahim memerintahkan rombongan untuk beristirahat sejenak. Nasi berbungkus daun pisang lantas dibagikan kepada pengawal dan anggota rombongan termasuk panglima Divisi Siliwangi yang juga mendapat sebungkus.
Acara makan dilakukan secara bersama-sama. Tak ada batas antara perwira, bintara dan tamtama, semuanya menyatu. Saat acara makan baru dimulai, Ibrahim menengok bungkus nasi salah seorang prajurit pengawal yang sedang asyik menyantap jatah nasi bungkusnya.
“Geuningan sangu maneh mah euweuh dagingan (Kok nasi bungkus milik kamu tidak ada dagingnya?)," kata panglima.
Menyaksikan hal tersebut, Adjie kemudian menyodorkan jatah nasi bungkusnya kepada prajurit itu: “Ini saja makan sama kamu,” katanya.
Ditawari secara tiba-tiba oleh panglimanya, prajurit itu sigap berdiri menerima nasi bungkus sambil berseru: “Siappp!” lalu ia terbatuk-batuk dan mulutnya menghamburkan nasi yang sedang dikunyah.
“Euh, maneh mah (Halah, kamu ini),” kata Adjie sambil menyodorkan air minum.
Ajudan panglima yang bernama Kapten Ramdhani menjadi jengkel. Setengah memaki, dia berkata kepada prajurit itu: “Maneh mah, ari samutut tong ngajawab! (Kamu ini, kalau mulut lagi penuh makanan ya jangan jawab!).
Semua anggota rombongan kontan tertawa menyaksikan kejadian itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar