"Tak Perlu Menunggu Ludah itu Kering, Kau Kutembak!"
Pengalaman Letnan Kolonel A.E. Kawilarang dan Mayor Ibrahim Adjie saat ditugaskan mengatasi pertikaian antara pejuang Indonesia di Sumatera Utara.
Akhir Mei 1948, pemerintah Republik Indonesia (RI) via Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta menugaskan Letnan Kolonel A.E.Kawilarang untuk berangkat ke Sumatera. Bersama Mayor Ibrahim Adjie, Letnan Satu Abu Amar dan Letnan Dua Hutabarat, Alex mendapat misi untuk menuntaskan pertikaian antar tentara Indonesia di Sumatera.
Komandan Brigade II Surjakantjana Divisi Siliwangi itu merasa penasaran, apa yang menyebabkan dia harus pergi ke wilayah yang sama sekali belum dikenalnya itu. Guna mememenuhi kepenasaran itu, Alex bahkan pernah bertanya langsung kepada Wakil Presiden sekaligus Menteri Pertahanan ad interim Mohammad Hatta.
Baca juga: Mayor Alex dan Harta Karun Jepang
“Di Tapanuli dan Sumataera Timur harus ada komandan yang bukan berasal dari Jawa atau Sumatera. Di sana harus dilakukan pembersihan. Banyak serobotan, lucut melucuti, kurang disiplin dan lagi banyak korupsi,” jawab Bung Hatta.
Sebagai catatan, di wilayah Tapanuli memang saat itu sedang terjadi “perebutan wilayah” antara tentara Indonesia sendiri. Mereka yang terlibat berasal dari kesatuan tentara yang dipimpin oleh Mayor Bedjo dan para pejuang yang ada di bawah Mayor L. Malao.
“Alhasil saya merasa terpilih sebagai “tukang bersih-bersih”. Jadilah!” ujar Alex seperti dituliskan dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH).
Singkat cerita, berangkatlah Alex dan rombongan ke Sumatera pada Agustus 1948. Selama belum ada penugasan rinci, untuk sementara mereka ditempatkan di Bukittinggi, Sumatera Barat.
November 1948, Alex ditunjuk menjadi Komandan Sub Teritorial VII. Sebagai pimpinan wilayah, dia harus mulai membereskan kekacauan-kekacauan yang ada di Tapanuli, Sumatera Timur Selatan. Langkah pertama yang dia lakukan adalah membubarkan brigade-brigade yang ada lalu menggantinya dengan sektor-sektor. Setidaknya ada 4 sektor yang dia bentuk untuk menghadapi kemungkinan agresi militer Belanda yang kedua kalinya.
Pembentukan sektor-sektor otomatis diikuti dengan perpindahan wilayah kekuasaan masing-masing kekuatan bersenjata yang ada saat itu. Sebagai contoh Pasukan Sektor I harus meninggalkan Sibolga digantikan oleh Pasukan Sektor IV dan Sektor S.
Baca juga: Perang Salib Zaman Revolusi
Aturannya Pasukan Sektor IV dan Sektor S dipersilakan masuk Sibolga usai Pasukan Sektor I pergi. Namun karena ada kesalahpahaman beberapa unit Pasukan Sektor S sudah mulai mendekati Sibolga, sementara saat itu Pasukan Sektor I masih ada di kota tersebut.
Untuk mencegah keributan karena pertemuan dua pasukan yang tadinya bermusuhan itu, maka Letnan Kolonel Alex mengutus Letnan Dua David Munthe untuk mengingatkan komandan Pasukan Sektor S untuk tidak masuk dulu ke Sibolga. Alih-alih disanggupi, komandan Sektor S malah mengancam Letnan Dua David dengan todongan pistol.
“Besok paginya, saya panggil perwira yang menodong Munthe itu…” kenang Alex.
Belum selesai melakukan teguran, Sang Perwira malah menyemprot Alex duluan. Sambil menggebrak meja, dia menolak mentah-mentah perintah atasannya itu untuk jangan dulu memasuki Sibolga.
Bak mitraliur, Si Perwira terus nyerocos. Alex yang tadinya akan melakukan teguran juga terkait penodongan Munthe, memilih untuk menahan diri, menunggu dulu sampai teriakan-teriakan sang perwira selesai. Setelah dia diam, sambil menggebrak meja hingga gelas-gelas di atas meja berjatuhan, Alex langsung balas memaki-maki Komandan Sektor S tersebut.
“Sekarang dalam kondisi aman, kau mau aksi-aksian masuk Sibolga! Tahu kau, kalau kau dan pasukanmu masuk Sibolga sekarang lalu bentrok dengan Pasukan Sektor I, siapa yang menjadi korban? Rakyat dan tentara lagi! Mana tanggungjawabmu?! Mana disiplinmu?! Kau malah mau bermain-main koboy-koboyan dengan pistol. Memuakan! Pengecut memang biasa begitu! Tunggu sampai Aksi II, baru kau boleh mencabut pistolmu kepada lawan!”
Sejumlah kalimat lagi masih dilontarkan Alex. Dia betul-betul memarahi Komandan Sektor S. Namun di luar dugaan, tetiba Si Komandan bangkit dan berdiri. Bersikap tegap sambil memberi hormat kepada Alex.
“Saya taat perintah!” katanya dalam nada tegas.
Baca juga: Selalu Dikira Tentara Belanda
Sikap membangkang juga pernah dilakukan oleh salah satu pasukan yang akan dipindahkan dari Sibolga. Waktu itu giliran Mayor Ibrahim Adjie yang harus menghadapi komandannya yang dikenal garang dan tak jarang main tembak begitu saja.
Mayor Adjie lantas memanggil sang komandan. Alih-alih menuruti perintah, dia malah menyuruh Adjie untuk datang langsung ke markasnya. Kendati merasa kesal, perwira yang berasal dari Divisi Siliwangi itu berusaha menahan diri. Dia mengalah dan lantas mendatangi markas pasukan yang membandel itu.
“Ayah saya bilang, mereka biasanya hanya menguji nyali para komandan saja,” tutur Kiki Adjie, salah seorang putra dari Ibrahim Adjie.
Perundingan pun terjadi. Si Komandan bersikeras tidak akan pindah. Dia malah mengusir Adjie dan menyebut tidak mengakui kepemimpinannya. Adjie pun bersikeras dalam sikap tegas. Tetiba di tengah percekcokan itu, sang komandan mengeluarkan pistol, menyimpannya di meja lalu meludahinya.
Baca juga: Kisah Adjie dan Prajuritnya
“Kau aku kasih kesempatan untuk pergi dari sini sampai ludah di pistolku itu kering. Jika tidak, kau kutembak!” teriaknya menantang
Di luar dugaan Si Komandan, Adjie malah menyambar pistol berludah itu lalu menodongkannya ke kepala Si Komandan.
“Tak perlu menunggu ludah itu kering, sekarang juga kau aku tembak jika tidak ikut perintahku!” ujar Adjie.
Dalam sikap ketakutan, Si Komandan akhirnya menyanggupi permintaan Mayor Adjie. Sejak kejadian itulah para komandan di Tapanuli tak pernah lagi membantah perintah-perintah yang datang dari Alex dan Adjie.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar