Masuk Daftar
My Getplus

Seratus Menit yang Menegangkan

Larangan pemerintah Kuba membuatnya melakukan penerbangan gila. Mantan pilot AU Kuba itu mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan keluarganya.

Oleh: M.F. Mukthi | 25 Feb 2014
Orestes Lorenzo Perez, pilot AU Kuba, di pesawat Mig-23 Flogger. Dia dan keluarganya membelot ke Amerika Serikat karena tak tahan hidup di Kuba.

PETUGAS menara Pangkalan Udara Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) Boca Chica, Florida, dibuat bingung. Sebuah pesawat tempur Mig-23 Flogger buatan Uni Soviet tiba-tiba muncul pada petang hari 20 Maret 1991.

“Kami terus mencari tahu untuk melihat apa yang mesti kami lakukan, tapi sejauh ini saya tak memiliki data tentang pesawat itu,” kenang Tom Bowers, juru bicara bagian radar dan intelijen Customs Service pusat di Dade County, Florida, dimuat The New York Times, 21 Desember 1992.

Pilot itu mengayun-ayunkan sayap pesawatnya (rocking wing) sebagai isyarat pertemanan dalam dunia penerbangan. Dia meminta izin mendarat. Rupanya dia, Orestes Lorenzo Perez, adalah pilot AU Kuba yang hendak membelot ke AS. Dia tak tahan hidup di Kuba. Menurutnya, pemerintahan Fidel Castro hanya memperhatikan masalah politik dan Perang Dingin. Ekonomi dan lain-lainnya terabaikan.

Advertising
Advertising

Setelah Fidel Castro menggulingkan diktator Fulgencio Batista, kaki tangan AS, hubungan Kuba dengan AS menjadi tegang. Selain mengubah hubungan politik-ekonomi dari AS ke Uni Soviet, Castro juga menasionalisasi banyak industri milik AS dan menaikkan pajak impor barang dari AS. AS membalas dengan memotong kuota impor gula, melarang hampir semua ekspor, dan puncaknya embargo ekonomi. Pada masa pemerintahan John F. Kennedy, CIA juga melatih para pelarian Kuba ke AS untuk menggulingkan rezim Castro. Dengan dukungan Uni Soviet, rival utama AS dalam Perang Dingin, Kuba-Soviet hampir terjerembab ke dalam perang nuklir melawan AS. (Baca: )

“Pembelotan militer meningkat secara substansial pada 1992 dan 1993, bersamaan dengan bertambahnya penduduk Kuba yang melarikan diri,” tulis Andres Oppenheimer dalam Castro’s Final Hour.

Perez mendapat suaka politik dari Paman Sam. Namun istrinya, Victoria, dan kedua anaknya tak mendapat izin dari pemerintah Kuba sehingga terpaksa hidup terpisah darinya.

Dia kemudian meminta bantuan berbagai pihak guna menekan pemerintahan Castro. Dia berbicara di radio, media lainnya, serta Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Dia juga menemui tokoh-tokoh penting dari Presiden George Bush hingga Mikhail Gorbachev. Bahkan dia menggelar aksi mogok makan di Madrid, Spanyol. Pembelotan Perez menjadi berita utama.

Di Kuba, Castro mengirim pejabatnya untuk memaksa Victoria melupakan suaminya. Mereka juga mengatakan Perez bukan sekadar pengkhianat tapi juga homoseks yang berencana menikah di luar negeri.

Perez memutuskan menjemput istri dan kedua anaknya. Atas bantuan Valladeres Foundation, organisasi pegiat hak asasi manusia yang didirikan eksil Kuba di AS, Perez mendapatkan pesawat bekas, Cessna 310. “Seorang janda kaya kelahiran Kuba yang tinggal di Columbus, Georgia, mendonasikan $30 ribu kepada yayasan untuk membeli pesawat yang bakal digunakan dalam penerbangan itu,” ujar Kristina Arriaga, direktur eksekutif Valladeres Foundation, dikutip New York Times.

Dia mengikuti kursus selama enam pekan guna mendapatkan lisensi terbang sipil. Rencananya, dia terbang pada pengujung senja dan mendaratkan pesawat di jalan raya. Tempat yang dipilihnya berada di Matanzas, kota kecil dekat Havana, yang sering dipakainya mendaratkan Mig-21 semasa aktif di AU Kuba. Dia hanya punya sekitar 15 menit untuk menaikkan istri dan anak-anaknya ke dalam pesawat.

Pada 19 Desember 1992, Perez melakukan penerbangan. Dia singgah di Marathon Key, Florida, untuk mengabari istrinya dan mempelajari keadaan Kuba lalu terbang lagi. Agar tak terdeteksi radar Kuba, dia mematikan peralatan elektronik, termasuk radio komunikasi. Dia juga menurunkan pesawat sampai sekira 10 kaki di atas permukaan air laut.

Pada waktu yang sudah ditentukan, Perez akhirnya melihat Matanzas. Jembatan di atas sungai Canimar mulai tampak. Dia menuju ke timur. Bukit di dekat sungai menghalangi pandangannya. Dalam keterbatasan pandangan, dia memutuskan menurunkan ketinggian. Sebuah sedan berkecepatan tinggi yang melintas di bawah pesawat mengagetkannya. Sebuah truk dan bus yang akan menyalip tampak mengarah ke pesawat. Dalam keterbatasan waktu, dia mendarat di tengah sedan, truk dan bus.

Setelah berhasil melewati sedan, Perez akhirnya menjejakkan roda pesawat di jalan raya. Supir truk mengerem mendadak dan terbengong-bengong karena hampir menabrak pesawat. Perez tak peduli dan langsung memutarkan pesawat, turun, serta menjemput istri dan anaknya. Karena gugup, dia dua kali gagal menutup pintu pesawat.

Perez kembali menerbangkan pesawatnya. Ketegangan masih menghinggapinya, takut kepergok Mig AU Kuba. Namun akhirnya dia menyelesaikan misi “penerbangan 100 menit” itu. Dan segera dia menjadi “pahlawan” bagi komunitas Kuba.

“Saya senang keluarga saya kembali mendapat kebebasan bersama saya sekarang,” ujarnya dikutip New York Times. Perez dan keluarganya menetap di Springfield, Virginia. Dia menjadi pilot di maskapai swasta sementara istrinya melanjutkan studi kedokteran gigi.

TAG

kuba sejarah kuba pilot kuba

ARTIKEL TERKAIT

Che Guevara dan Perlawanan di Gaza Duka Kuba di Laut Karibia Atap Kubah CIA Incar Jenggot Castro Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik Dari Penaklukkan Carstensz hingga Serangan VOC ke Kesultanan Gowa Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api