LANGIT kota Bekasi begitu terik Rabu (30/6/2021) siang itu. Namun kondisi itu tak melunturkan semangat Walikota Bekasi Rahmat Effendi untuk terus mengayunkan langkahnya menuju permakaman di belakang Masjid Agung Al-Barkah. Di sela kesibukannya dalam penanggulangan Covid-19, Pepen, begitu sang walikota biasa disapa, menyusuri jalan kecil di belakang masjid diiringi beberapa stafnya. Kedatangannya secara mendadak ke kampung di belakang masjid itu pun menimbulkan kehebohan warga.
Dekat pagar yang dinaungi pohon rindang, Pepen berteduh sambil menunggu pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al-Barkah berlarian mengambil kunci gembok makam. Ketika gembok pagar permakaman sudah dibuka, Pepen tampak semangat menuju sebuah pusara di sebuah pojokan yang kondisinya memprihatinkan.
Semen, batu bata, dan keramik biru yang mengelilingi kuburan itu sudah gompal di sana-sini. Dedaunan kering dan sampah kaleng minuman juga berserakan di atasnya. Di nisannya tertera tulisan dengan goresan cat hitam berbunyi: M. HASIBUAN. LAHIR: TH. 1922. WAFAT TH. 1961.
“Salah satu tokoh pejuang kota Bekasi yang ada nama jalannya, Jalan M. Hasibuan. Pernah menjadi pimpinan DPRD pemekaran Kabupaten Bekasi dan dimakamkan di sini, di belakang Masjid Agung Al-Barkah,” kata Pepen sambil memandangi makam.
Baca juga: Bangunan Misterius di Bawah Stasiun Bekasi
Sebelum mengakhiri ziarah dadakan itu, Pepen berjanji akan melakukan pemugaran makam tersebut. Selain itu, dia mengagendakan pemberian penghargaan kepada ahli waris keluarga Hasibuan, sebagai bentuk penghormatan atas jasa perjuangan almarhum yang dirasakan bersama di alam kemerdekaan saat ini.
“Nanti saya akan minta Kabag Kesos untuk makamnya segera dirapihkan. Terus Disparbud bentuk tim untuk menindaklanjuti (penghargaan). Kalau melihat status kesatuannya (ALRI), insya Allah mungkin akan jadi pahlawan nasional, karena pada saat itu pergerakan yang ada di Jakarta tidak terlepas dari pertahanan yang ada di Bekasi bersama (pahlawan nasional) K.H. Noer Ali,” tandasnya.
Baca juga: Peran Pelaut Jerman dalam Angkatan Laut Republik Indonesia
Senada dengan walikota, Dinas Sejarah Angkatan Laut (Disjarhal) juga mengaku punya rencana memperbaiki makam tersebut saat dikonfirmasi secara terpisah. Namun, hal itu akan dikoordinasikan terlebih dulu.
“Kita sudah sempat tinjau juga (makamnya) ke sana dan benar, itu makamnya yang sudah diberi bendera. Setelah ini kita mau menyusun laporan untuk diserahkan ke wakastaf. Rencana kami memang sama seperti Pak walkot, mau merehabilitasi makam. Malah walikota Bekasi mau menjadikan tugu sekalian, kita alhamdulillah. Nanti kami rencanakan dengan walikota Bekasi dan ketua DPRD Kota Bekasi biar klop,” ujar Kasubdit Penulisan dan Produksi Disjarhal Kolonel Heri Sutrisno kepada Historia, Senin (5/7/2021).
Siapa Madmuin Hasibuan?
Kendati namanya banyak ditemukan di sejumlah buku, hingga saat ini informasi mengenai M. Hasibuan masih minim. Tak ayal, kecuali tahun lahirnya yang diketahui sebagaimana tertera di pusaranya, tanggal dan bulan serta tempat kelahirannya pun masih terselubung misteri. Pun dengan tanggal dan bulan serta penyebab kematiannya di tahun 1961, masih tetap misteri.
Menurut Ali Anwar dalam biografi KH. Noer Ali, Kemandirian Ulama Pejuang, Hasibuan di zaman pendudukan Jepang merupakan salah satu mandor pelabuhan Tanjung Priok. Bersama adik iparnya, Yakub Gani, ia hadir menyaksikan pembacaan proklamasi oleh Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur pada 17 Agustus 1945. Yakub Gani yang juga salah satu murid KH Noer Ali, kemudian pulang ke Bekasi untuk ikut menyebarkan berita proklamasi. Sementara, Hasibuan kembali ke pelabuhan.
Setelah Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jakarta lahir pada 27 Agustus 1945 dan dipimpin Moeffreni Moe’min, terjadi mobilisasi kalangan pemuda. Hasilnya adalah susunan seksi-seksi administratif dan tiga sektor lapangan. Bersama Raden Eddy Martadinata, Hasibuan yang sudah hafal wilayah pelabuhan dipercaya Moeffreni memegang sektor Jakarta Utara.
“Pembagian wilayah dipimpin komandan sektor dari masing-masing wilayah dipegang oleh: Jakarta Pusat oleh Sadikin dan Soedarsono, Jakarta Timur oleh Sambas Atmadinata dan Sanusi Wirasuminta, Jakarta Utara oleh Martadinata dan Hasiboean,” tulis Dien Madjid dalam Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min.
Baca juga: Moeffreni Moe'min, Putra Betawi dalam Pusaran Revolusi
Begitu BKR Laut Pusat didirikan pada 10 September 1945, BKR Sektor Jakarta Utara pimpinan Martadinata-Hasibuan dilebur ke dalamnya. BKR Laut ini kemudian terlibat bentrok dengan pihak Sekutu/Inggris pada pertengahan September 1945.
“Karena sikap serdadu-serdadu Inggris dan NICA sangat angkuh dan sama sekali tidak mau menghargai aparatur pelabuhan RI, maka terjadilah bentrokan senjata antara mereka dengan para pemuda pejuang (BKR Laut, red.) di sekitar Menara Air, Stasion (Stasiun Tanjung Priok), dan Zeeman’s Huis (mess pelaut),” ujar tim Dinas Sejarah Militer Kodam V Jaya dalam Sejarah Perjuangan Rakyat Jakarta, Tanggerang dan Bekasi dalam Menegakkan Kemerdekaan R.I.
Pada 6 Oktober 1945, tepat sehari setelah BKR Laut bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut, pecah pertempuran pertama antara pasukan kiblik dengan Sekutu dan NICA (Belanda) di Jembatan Kali Kresek. Walau berskala kecil, Hasibuan dan pasukannya yang mendapat tambahan kombatan dari pelosok utara Jakarta dan Bekasi mampu merepotkan Sekutu dan NICA semalaman.
Pertahanan pasukan Hasibuan itu baru dipatahkan keesokan harinya setelah Sekutu mengerahkan pesawat-pesawat tempur P-40 Warhawk. Pasukan Hasibuan lalu menyingkir ke Marunda, Ujungmalang, Kampung Muara, dan Babelan. Di Babelan, mereka berdampingan dengan Laskar Hisbullah pimpinan K.H. Noer Ali.
“Di sepanjang pantai utara dan rawa-rawa di sekitar delta Sungai Citarum terdapat unit dari Tanjung Priok yang dipimpin Matmuin Hasibuan. Sebagian besar anggotanya adalah orang Batak dan menyebut diri mereka ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). Walaupun mereka bekerjasama dengan Nurali di Babelan, ALRI hanya memiliki sedikit kontak dengan resimen Cikampek dan tidak ada kontak sama sekali dengan markas angkatan laut di Yogyakarta,” tulis Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.
Baca juga: BKR Laut, Garda Bahari di Awal Revolusi
Usai Jakarta dijadikan kota diplomasi pada 19 November 1945, yang mengharuskan militer keluar dari Jakarta, pasukan Hasibuan dan KH Noer Ali turut dalam pertahanan di tapal batas dengan wilayah TKR Resimen V pimpinan Letkol Moeffreni. Area timur Jakarta dan Bekasi jadi wilayah “pengungsian” TKR dan barisan-barisan perjuangan lain.
“Barisan Banteng RI dipimpin M. Husein Kamaly dan M. Thabrani Notosudirjo yang juga menjabat ketua KNI. Ada pula Brigade Macan Citarum yang dipimpin H. Riyan dan Thabrani di Desa Satria. KH. Nur Ali juga mendirikan Markas Perjuangan Hisbullah Sabilillah di Ujungmalang. Sedang BKR Laut (TKR Laut, red.) dipimpin M. Hasibuan bermarkas di Kampung Muara Babakan,” tulis S. Z. Hadisutjipto dalam Bara dan Nyala Revolusi Phisik di Jakarta.
Bentrokan-bentrokan antara laskar-TKR dengan NICA-Sekutu memuncak pada 23 November 1945. Pemantiknya adalah pembantaian tawanan asal Inggris yang selamat dari kecelakaan pesawat Dakota di Rawa Gatal, Cakung. Sepekan kemudian, Jenderal Christison mengerahkan pasukan infantri, artileri, dan kavaleri.
Di Kampung Sasak Kapuk, mereka dihadang dan terlibat pertempuran sengit dengan sekira 400 pasukan gabungan TKR Batalyon V Bekasi, TKR Laut pimpinan Hasibuan dan Laskar Hisbullah KH. Noer Ali pada 29 November 1945. Tiada yang menang dalam pertempuran itu.
Baca juga: Prahara di Pinggir Jakarta
Diungkapkan tim Dinas Sejarah Militer Kodam V Jaya, pada 5 Desember 1945 Hasibuan ditangkap NICA. Sebelumnya, dia dikuntit mata-mata saat berkendara dengan mobil bersama Wedana Tanjung Priok, Hindun Witawinangun, untuk berkoordinasi dengan kantor penghubung TKR di Pegangsaan Timur.
Keduanya jadi sasaran penyiksaan di Kamp Polonia. Hindun akhirnya tewas. Sementara, Hasibuan walau mengalami luka-luka akhirnya diselamatkan para pemuda pejuang yang menolak melakukan pengosongan area Tanjung Priok.
“Pemuda Pejuang akan terus bertahan dan bertempur sekuat tenaga, kecuali jika NICA membebaskan Komandan TKR Mayor Hasibuan dan pejuang-pejuang lainnya yang ditawan Belanda. Ternyata tuntutan para pemuda itu disetujui Belanda dan pada 15 Desember 1945 mereka dibebaskan. Mayor Hasibuan kemudian memindahkan markas TKR Laut ke Karang Congok, di utara Bekasi.”
Baca juga: Yang Hilang di Tengah Revolusi
Pada Agustus 1946, pertahanan republik di Bekasi makin mundur ke timur, Tambun, lalu Karawang. Ancaman paling nyata dihadapi Mayor Hasibuan dengan pasukan Batalyon III ALRI-nya datang dari utara Bekasi.
“Dalam kegentingan di Tambun ini, pasukan ALRI di bawah Mayor Hasibuan mendapat tembakan dari kapal-kapal Belanda pada 22 Agustus 1946 di Ujung Karawang, sehingga tersiar kabar bahwa musuh akan mendaratkan tentaranya. Demikianlah kita terdesak oleh musuh di dua front: front barat dan timur Jakarta,” kata Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan: Diplomasi Sambil Bertempur.
Memasuki Mei 1947, Hisbullah Noer Ali dan ALRI Hasibuan makin terdesak ke Karawang. Di bulan yang sama, mengikuti instruksi Presiden Sukarno agar laskar-laskar dilebur ke kesatuan reguler, pasukan Hisbullah KH Noer Ali menggabungkan diri ke pasukan ALRI Hasibuan yang bermarkas di Rengasdengklok. Setelah Tambun dan Karawang jatuh ke tangan Belanda pada Agresi Militer I, pasukan ALRI Hasibuan mundur ke Pangkalan ALRI Tegal.
Minim Catatan
Pasca-pengakuan kedaulatan oleh Belanda (27 Desember 1949), Hasibuan tak meneruskan kariernya di kemiliteran. Bersama KH. Noer Ali, ia masuk panggung politik. Medio Januari 1950, ia terlibat di Panitia Amanat Suara Rakyat Bekasi yang menuntut pemisahan Bekasi dari Distrik Federal Jakarta di dalam Negara Pasundan, serta mengubah nama Kabupaten Djatinegara menjadi Kabupaten Bekasi.
Mengutip buku Sejarah Bekasi: Sejak Pemerintahan Purnawarman sampai Orde Baru keluaran Pemda Tingkat II Bekasi (1992), tuntutan yang dirumuskan Noer Ali dkk. itu disampaikan Sukardi sebagai ketua panitia dan Hasibuan selaku penghubung ke pemerintah federal. Panitia itu juga menggelar rapat raksasa untuk menyusun pemerintahan sendiri tanpa izin pemerintah RIS. Akibatnya, Hasibuan dan Noer Ali ditahan Gubernur Militer Jakarta Raya Daan Yahya.
“Daan Yahya mengatakan tindakan mereka bertentangan dengan pemerintah RIS, sehingga dinilai sebagai coup. Tetapi setelah M. Hasibuan dan KH Noer Ali mengemukakan argumentasi yang mengatakan tindakan rakyat Bekasi justru memperjuangkan negara kesatuan, akhirnya Daan Yahya memaklumi, bahkan akan berupaya mengajukan masalah tersebut kepada DPR RIS,” tulis buku tersebut.
Baca juga: Bekasi Lautan Api di Mata Dua Saksi
Begitu Negara Pasundan bubar pada Februari 1950, Hasibuan masuk ke Partai Masyumi cabang Bekasi. Hasibuan lalu dipercaya menduduki jabatan ketua DPRDS Kabupaten Bekasi pertama menyusul keluarnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1950 tentang pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) Tingkat I dan Tingkat II.
Namun, lanjut buku tersebut, pembentukan DPRDS Kabupaten Bekasi pada 10 November 1950 itu justru dicibir Bupati Bekasi Suhandan Umar. Suhandan merasa eksistensi DPRDS akan menggembosi wewenangnya.
Hasibuan pun menuding Suhandan punya hubungan dekat dengan gerombolan Bambu Runcing yang berhaluan kiri. Suhandan meresponnya dengan menuduh Hasibuan memonopoli lahan rawa-rawa dan empang-empang di Bekasi. Klimaksnya, pada 5 Mei 1951 DPRDS Kabupaten Bekasi membuat mosi untuk memecat Suhandan. Sebulan kemudian, Suhandan ditahan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat lalu menempatkan Sampurno Kolopaking dari Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai penggantinya.
Menjelang Pemilu 1955, Hasibuan aktif sebagai sekretaris Partai Masyumi cabang Bekasi dan jadi anggota Panitia Pembagian Tanah Sawah Negara Kecamatan Babelan. Ia juga menjadi tameng bagi KH Noer Ali yang dituduh menyerobot tanah oleh PKI.
Baca juga: Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi, Siapa Peduli?
Namun, setelah itu Hasibuan menghilang dari pentas politik. Nama dan kiprahnya pun ikut memudar. Hanya diketahui, sebagaimana tertulis di pusaranya, Hasibuan wafat pada tahun 1961 dengan tanpa diketahui tanggal, bulan, dan penyebab kematiannya. Dinas Sejarah AL (Disjarhal) mengaku belum punya catatan riwayat lengkap Hasibuan.
“Karena kita mulai mendata personil itu kan tahun 1949 di zamannya KSAL (Laksamana) Subyakto. Setelah lepas dari ALRI kan ia gabung dengan KH. Noer Ali. Catatan mengenai beliau (Hasibuan) makanya tidak ada di buku personil. Tapi di sumber lain yang dituliskan Pak Ali Anwar ternyata ada. Kadisjarhal juga mendapat informasi tentang ini dari Pak Iwan Ong Santosa,” sambung Kolonel Heri.
Disjarhal masih akan melakukan riset lanjutan tentang sepakterjang Hasibuan. Selain dari sumber-sumber tertulis, keluarganya juga akan dilacak.
“Bagaimanapun kan beliau bagian dari sejarah ya. Meski di catatan kita enggak ada tapi kan di (buku) sejarah lain banyak memuat tentang dia. Setelah ini akan kita kejar (riset mendalam). Bahwa memang ada lho, BKR Laut di Jakarta yang dipimpin Mayor M. Hasibuan. Yang jelas kami juga ingin menelusuri keluarganya. Setelah itu kelanjutannya akan ada semacam tali asih atau perhatianlah dari kita,” tutupnya.
Baca juga: Petaka Menimpa Marinir di Perairan Nongsa