Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Muhammad Adil meradang. Dia mengecam Kementerian Keuangan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pendapatan Daerah di Pekan Baru pada Kamis (8/12/2022). Menurutnya distribusi dana bagi hasil minyak bumi yang berasal dari Kabupaten Meranti tak adil. Dari produksi minyak mencapai 8000 barel per hari (1 barel 100 dolar AS), daerahnya hanya kebagian 700 juta rupiah. Betapa jengkel Adil sehingga menyebut pegawai Kementerian Keuangan semacam iblis atau setan.
Belum surut amarahnya, Adil melontarkan ancaman. Jika pemerintah enggan mengurus pemerataan, dia minta agar Kabupaten Meranti dibiarkan bergabung dengan negeri Malaysia. Atau, sambungnya, apa perlu rakyat Meranti mengangkat senjata demi keadilan.
Pihak Kementerian Keuangan tak terima dengan ucapan Adil yang dianggap ngawur. Diwakili staf khusus menteri keuangan, Adil dituntut untuk meminta maaf atas pernyataannya.
Kecaman sang bupati bukan tanpa alasan. Kabupaten Meranti merupakan daerah yang kaya minyak bumi. Namun, tingkat kemiskinan di sana mencapai 25,68 persen. Artinya, seperempat penduduk Kabupaten Meranti adalah warga miskin. Inilah yang membuatnya tergolong sebagai salah satu kabupaten termiskin di Indonesia.
Cari Dana dari Malaya
Apa yang terjadi di Kabupaten Meranti bukanlah cerita baru dalam sejarah negeri ini. Soal ketimpangan antara daerah dan pusat pernah menjadi masalah nasional pada dekade 1950-an. Kalau sekarang bupati yang berkicau, pada zaman dulu panglima teritorium (kini kodam) yang membangkang terhadap pemerintah pusat. Tersebutlah nama Kolonel Maludin Simbolon, panglima Teritorium I Bukit Barisan (TT I-BB).
Pada 1996, Majalah Mutiara mewawancarai Simbolon yang ketika itu menginjak usia sepuh 80 tahun. Simbolon berkisah tentang pemberontakan PRRI-Permesta. Dia mengenang keterlibatannya dalam usaha menentang pemerintah pusat tersebut.
“Kekuasaan itu terlalu sentralistis, semua dipusatkan di Jakarta. Sehingga ada kerinduan dari daerah-daerah, untuk diberikan lebih banyak otonomi, apalagi oleh karena bapak-bapak dari pemerintahan terlalu sibuk dengan dirinya sendiri,” kata Simbolon dalam Mutiara No. 832, 1-7 Oktober 1996.
Baca juga: Drama Malam Natalan: Kisah Penangkapan Kolonel Maludin Simbolon
Rakyat di daerah-daerah, menurut Simbolon, merasa dilupakan. Tapi, kalau ingin membuat sesuatu atas inisiatif sendiri harus ada izin dari Jakarta. Itulah yang dialami Simbolon ketika dia hendak mengusahakan kesejahteraan bagi prajurit TNI di teritoriumnya. Sejak 1950, setelah pengakuan kedaulatan, Simbolon adalah panglima Teritorium I pertama dengan wilayah komando Sumatra Utara.
Berlainan dengan di Jawa atau di daerah lain di luar Sumatra, di wilayah komando TT I-BB hanya sedikit tangsi militer yang ditinggalkan Belanda. Tangsi yang terbatas itu hanya mampu menampung pasukan eks KNIL dan Barisan Pengawal sebagai penghuni lama. Prajurit yang berasal dari TNI terpaksa tinggal di bangsal-bangsal perkebunan. Kondisinya banyak yang sudah reyot dan tak terpelihara. Itupun tak mencukupi sehingga mereka hidup bersesak-sesakan.
Perumahan dan asrama yang buruk tadi bukan semata-mata perkara fasilitas saja. Tapi, krisis kebutuhan papan itu menjadi masalah sosial budaya, yang berkaitan dengan nilai dan norma adat setempat. Terkhusus bagi prajurit dari kalangan suku Batak, apabila datang kerabat yang berkunjung atau sekadar kumpul keluarga di momen tertentu.
Baca juga: Kehidupan di Tangsi KNIL yang Kumuh
Simbolon telah berulang kali melaporkan kesulitan tersebut ke pusat sehubungan dengan ketiadan dana. Dia meminta perbaikan kesejahteraan disertai foto-foto asrama prajurit kepada pimpinan Angkatan Darat (KSAD) saat itu Mayjen Abdul Haris Nasution. Hasilnya nihil. Setiap kali Simbolon mengajukan anggaran, dia hanya memperoleh alokasi dana di bawah kebutuhan.
Terakhir kali, Simbolon meminta izin Menteri Kemakmuran I.J. Kasimo melakukan perdagangan barter karet. Barter adalah istilah yang lazim disebut untuk mengganti kata penyelundupan. Perdagangan jenis ilegal sebenarnya telah dilakukan di beberapa teritorium, seperti di Sulawesi Utara dan Selatan. Tapi, Kasimo menolak permohonan Simbolon.
Simbolon pada akhirnya tetap menjalankan perdagangan barter. Pertengahan 1956, TT-1 menyelundupkan hasil bumi dan perkebunan ke Malaya dan Singapura. Pelabuhan kecil dan terpencil di Teluk Nibung, pantai Asahan menjadi tempat pengiriman komoditas tersebut. “Penyelendupan Teluk Nibung” jadi sebutan populer untuk merujuk apa yang terjadi di TT-1. Nama Maludin Simbolon sendiri santer disebut-sebut dalam Markas Besar Angkatan Darat.
Baca juga: Di Balik Upaya Penangkapan Kolonel Simbolon
Dalam catatan Sejarah TNI-AD, 1945—1973, menurut penyelidikan dari hasil penyelendupan di Teluk Nibung telah mendulang uang sebesar 24 juta dolar Singapura. Dana itu dipergunakan untuk memperbaiki asrama TNI yang ada di wilayah TT-1. Penyelundupan ini baru dihentikan setelah ada instruksi Nasution tanggal 7 Juli 1956 yang ditujukan kepada Simbolon.
Para Panglima Pembangkang
Sejumlah asrama militer akhirnya dibangun. Sebuah asrama dan perumahan CPM di Balige. Kompleks Sekolah Kader Infantri (SKI) di Sipinggol-pinggol, Pematang Siantar. Kompleks di Sungaibuluh, Tebing Tinggi. Kompleks militer di Marindal dan perbaikan kompleks di Kampung Durian, Medan. Kompleks militer di Binjai, Tanjung Pura (Langkat), Delitua (Deli Serdang), Kabanjahae (Tanah Karo), dan di Riau. Semuanya dibiayai dari hasil perdagangan barter di Teluk Nibung.
Kendati demikian, riak-riak ketimpangan sudah kadung bergolak. Sejumlah daerah menuntut otonomi lebih luas. Seperti di TT-1, persoalan otonomi juga menjadi isu di TT-II/ Sriwijaya (Sumatra Selatan), dan TT-VII/Wirabuana (Sulawesi). Sejumlah panglima daerah maupun pejabat militer yang terkesan mendukung otonomi daerah turut menjadi sorotan. Mereka juga menentang kepemimpinan Nasution dalam Angkatan Darat.
“Gerakan dari dalam TNI, khususnya dari Siliwangi, beserta Seskoad, Kavaleri, RPKAD, dan lain-lain yang mirip dengan apa yang disebut ‘Young Turks’. Tokoh-tokoh seniornya tingkat panglima, ialah Kolonel Z. Lubis, Kolonel M. Simbolon, Kolonel A.E. Kawilarang, Letnan Kolonel Warouw dan Letnan Kolonel Sumual,” sebut Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua.
Baca juga: Alex Kawilarang, Kisah Patriot yang Dicopot
Nasution merencanakan pergantian dan pemindahan sejumlah pejabat Angkatan Darat. Kolonel Maludin Simbolon dipindahkan ke Bandung untuk memegang jabatan Inspektur Jenderal Infantri. Pengganti Simbolon ialah Kolonel Zulkifli Lubis yang telah digantikan Kolonel Gatot Subroto sebagai wakil KSAD. Penunjukan Lubis terbilang ganjil karena posisi barunya sebagai panglima seolah jadi turun kelas dibanding jabatan sebelumnya. Sementara itu, Panglima TT-3/Siliwangi Kolonel Alex Kawilarang dipindahtugaskan ke Amerika Serikat sebagai atase pertahanan di kantor kedutaan Indonesia di Washington DC.
Simbolon melihat ketiga mutasi perwira itu seperti dalam satu paket. “Paket itu terdiri dari orang-orang yang memang selama ini banyak menimbulkan ‘kesulitan’ bagi pimpinan dan atasan. Jadi semacam ‘pembersihan’ dari para perwira atau pejabat yang bersuara ‘keras’ (vokal),” kata Payung Bangun penulis biografi Kolonel Maludin Simbolon: Lika-Liku Perjuangannya Dalam Pembangunan Bangsa. Kendati demikian, Simbolon minta diri untuk melakukan serah terima jabatan setelah hari natal, yaitu 28 Desember 1956.
Namun, serah terima jabatan itu urung terjadi. Pada 22 Desember, Simbolon memaklumatkan pemutusan hubungan sementara dengan pemerintah pusat. Simbolon sekaligus membentuk Dewan Gajah yang mengambil alih TT-1. Simbolon mengikuti jejak Letkol Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng di Padang pada 20 Desember. Di Sumatra Selatan pun tampak usaha-usaha untuk membentuk Dewan Garuda di bawah pimpinan Letkol Barlian.
Baca juga: Posisi Barlian dalam PRRI
Di Makassar, dengan tujuan yang sama, Letkol Ventje Sumual mengumumkan Perjuangan Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957. Nun jauh di Washington, Alex Kawilarang meninggalkan posnya untuk bergabung dengan Permesta. Para perwira inilah yang kemudian menggerakan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bersama sejumlah politisi dari Partai Masjumi dan PSI. Atas dasar koreksi terhadap pemerintah pusat, mereka mengangkat senjata kendati setengah hati. Hingga akhirnya, PRRI ditumpas habis pemerintah pada 1961.
"(PRRI) itu sebetulnya puncak suatu proses," ujar Simbolon dalam Mutiara, "Proses penyelesaian dari tuntutan-tuntutan beberapa daerah yang bergolak (tetapi) mencapai titik buntu."