Posisi Barlian dalam PRRI
Panglima Sumatra Selatan ini memilih netral dalam konflik pemerintah pusat dan PRRI. Untuk menghindarkan Sumatra Selatan jadi medan pertempuran.
Tiga perwira menengah di Sumatra membentuk dewan-dewan untuk mencari solusi atas permasalahan antara pusat dan daerah pada 1950-an. Letnan Kolonel Ahmad Husein memimpin Dewan Banteng di Sumatra Barat. Kolonel Muludin Simbolon memimpin Dewan Gajah di Sumatra Utara. Sedangkan Letnan Kolonel Barlian memimpin Dewan Garuda di Sumatra Selatan.
Barlian merupakan Panglima Tentara dan Teritorium II Sumatra Selatan yang belakangan wilayahnya menjadi bagian dari Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya, yang membawahkan Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Daerah-daerah itu dulunya bagian dari Keresidenan Palembang.
Sejarawan Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926–1998 menyebut Barlian sebagai pengusul diadakannya pertemuan yang kemudian diadakan di Sungai Dareh, Sumatra Barat, pada 9 Januari 1958. Barlian juga yang mengundang politisi sipil seperti mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri Burhanudian Harahap, dan mantan Ketua PDRI Sjafrudin Prawiranegara.
Baca juga: Sukarno dan Trauma PRRI
Pertentangan antara pusat dan daerah berkembang menjadi pemerintahan tandingan bernama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Mantan Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo juga ikut serta di dalamnya. Di antara dewan-dewan itu, posisi Dewan Garuda lebih dekat dengan Jawa. Jawa adalah kunci di mana pusat pemerintahan dan kekuatan terbesar militer berada.
“Karena dekat dengan Jawa dan keberadaan pasukan Jawa dalam jumlah besar di daerahnya, Barlian bertindak hati-hati, dan Dewan Garuda tidak memutuskan hubungannya dengan pemerintah pusat atau mengambil tindakan lanjutan untuk beberapa bulan lamanya,” tulis Kahin.
Barlian tidak benar-benar menjadikan Palembang sebagai milik PRRI. Meski Barlian pernah mengambil alih kontrol pemerintah sipil dari tangan gubernur pada 9 Maret 1958. Kahin menyebut Barlian meminta bantuan Dewan Banteng. Ahmad Husein bersedia mengirim 1.200 tentara untuk memperkuat Palembang jika didatangi tentara dari Jawa.
Baca juga: Kisah Jenaka Para Petinggi PRRI/Permesta
Beruntunglah pemerintah pusat, karena sebelum tahun 1958, ada seorang perwira TNI asal Jawa di Palembang yang menjabat komandan Resimen Infanteri 5, yakni Mayor Djuhartono. Dia menentang dewan-dewan perjuangan daerah yang melawan pemerintah pusat.
Djuhartono sempat menjadi penentang Barlian yang nyaris ikut PRRI. Djuhartono bergerak dan sempat mengungsi ke luar kota, di mana Lapangan Udara Talang Betutu berada. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution pun diminta datang ke Palembang. Peristiwa Mayor Djuhartono itu terjadi pada 30 Maret 1957.
“Kami mendarat dalam curah hujan yang keras, yang datang menjemput adalah komandan AURI Talang Betutu bersama pejabat komandan Resimen 5,” kata Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas: Jilid 4 Masa Pancaroba.
Barlian terus menjadi Panglima di Sumatra Selatan. Djuhartono lalu ditarik dari Palembang. Buku Untuk Diingat dan Dikenang Menyambut HUT KODAM IV Sriwijaya ke XXVII menyebut Djuhartono katanya terpengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) lantaran peristiwa itu. Belakangan Djuhartono menjadi Ketua Golongan Karya sebelum Orde Baru berjaya.
Setelah Peristiwa Mayor Djuhartono daerah Tentara dan Teritorium II kemudian terbelah menjadi dua. Ada yang menolak dan ada yang berpihak kepada PRRI. Mereka yang berpihak kepada PRRI adalah Mayor Nawawi.
Kahin menyebut Barlian tidak mendukung pemutusan hubungan terbuka dengan pemerintah pusat di Jakarta. Dia menolak PRRI tapi enggan menahan Mayor Nawawi ikut PRRI, meski Nasution sebagai atasannya memerintahkannya. Barlian tampak bersikap netral.
Tidak masuknya kawasan Sumatra Selatan ke dalam PRRI menjadi kabar buruk bagi PRRI pusat di Sumatra Barat. Jika Sumatra Selatan bergabung dalam PRRI, maka Sumatra Selatan akan menjadi medan perang antara tentara PRRI dengan tentara pemerintah yang akan dikirim dari Jawa.
Sumatra Selatan tentu menjadi sasaran pertama pemerintah pusat sebelum memasuki Sumatra Barat. Tanpa adanya Sumatra Selatan dalam PRRI, maka kerja tentara pemerintah pusat menjadi semakin mudah. Sumatra Barat dan sekitarnya segera menjadi sasaran penting.
Tanpa Sumatra Selatan, PRRI juga kekurangan sumber daya. Tak hanya sumber daya manusia tapi juga sumber daya alam. Sumatra Selatan sejak lama merupakan daerah yang kaya hasil perkebunan dan energi bahan bakar seperti minyak bumi dan batubara.
Baca juga: Meriam PRRI yang “Bikin Ngeri” A. Yani
Jika Sumatra Selatan terlibat penuh dalam PRRI, tentu PRRI akan mempunyai posisi yang kuat dan lebih sulit dihadapi oleh tentara pemerintah pusat. Namun, dengan posisi netralnya saja PRRI dengan cepat digulung pemerintah pusat.
“Letnan Kolonel Barlian selaku Panglima TT II/Sriwijaya tidak dapat menerima kekerasan bersenjata dalam menangani pergolakan daerah,” tulis Hendarmin Djarab dkk. dalam Mendahului Semangat Zaman: Letkol Barlian Panglima TT II Sriwijaya 1956–1958. Barlian melihat risiko kegagalan gerakan PRRI sendiri jelas sangatlah besar.
Barlian, yang kelahiran Tanjung Sakti, kaki Gunung Dempo dekat Pagaralam, 22 Juli 1922 itu adalah anak seorang wakil kepala marga. Pernah belajar di HIS di Bengkulu dan MULO di Malang, serta bekerja di kantor pemerintah. Di zaman Jepang, dia menjadi perwira Gyugun (tentara sukarela) yang dilatih di Pagaralam. Di masa revolusi kemerdekaan di Bengkulu, dia menjadi Komandan Brigade TNI.
Saat ini, Barlian adalah tokoh Sumatra Selatan yang cukup dikenang. Namanya telah menjadi nama jalan yang cukup penting di kota Palembang. Tempatnya dulu dihormati sebagai Panglima yang menjauhkan Sumatra Selatan dari perang dan pembantaian.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar