DI sejumlah daerah hingga 1980-an, masih banyak orang membersihkan badan dengan menggunakan batu. Rasanya memang tak nyaman, tetapi batu itu cukup ampuh menggerus daki di kulit. Padahal, saat itu, bahkan beratus tahun lalu, sabun sudah dikenal dan menemani rutinitas bersih-bersih nan menyegarkan.
Kini, nyaris sulit menemukan orang yang masih menggunakan batu. Sabun mandi, dari batangan hingga cair, menjadi barang kebutuhan sehari-hari yang pasti ditemukan di rumah-rumah. Sabun membuat badan menjadi bersih dan wangi.
2800 SM
Keterangan tertua mengenai pembuatan bahan seperti sabun diperoleh dari sebuah tabung dari tanah liat, hasil ekskavasi di Babilonia kuno. Tabung ini menulis soal lemak yang direbus dengan abu. Hasilnya, dipakai untuk membersihkan wol dan kapas dalam industri tekstil.
1550 SM
Ebers Papyrus, dokumen medis Mesir kuno, menjelaskan pencampuran minyak hewani dan nabati dengan garam alkali –dikenal dengan istilah saponifikasi– untuk membuat bahan layaknya sabun. Ia dipakai untuk mengobati penyakit kulit dan mencuci.
Baca juga: Membilas Sejarah Sabun
600 SM
Menurut Pliny the Elder, orang-orang Fenisia menggunakan lemak kambing dan abu kayu untuk membuat sabun.
300-an SM
Sabun mendapat namanya, menurut legenda Romawi kuno, dari Gunung Sapo di mana binatang dikorbankan. Lemak hewan ini bercampur dengan abu, kemudian mengalir turun ke Sungai Tiber. Campuran ini, berbentuk menyerupai lilin, digunakan para perempuan yang mencuci baju di sepanjang Sungai Tiber.
100
Penggunaan sabun demi kebersihan pribadi tampaknya belum muncul sampai Galen, dokter Yunani, merekomendasikan bahwa membersihkan tubuh dengan sabun sebagai tindakan pencegahan penyakit kulit.
400-an
Bangsa Romawi kuno dan Galia menemukan suatu zat yang disebut “sabun”, terbuat dari lemak kambing dan abu pohon ek. Campuran ini mereka gunakan untuk mewarnai rambut jadi merah.
Baca juga: Panduan Kebiasaan Mandi untuk Wisatawan Asing
600-an
Beberapa keluarga di Eropa mulai memproduksi sabun dalam skala kecil. Sabun ini dibuat dari campuran lemak nabati, minyak hewani, dan abu, dengan ditambahkan pula aroma. Mereka menggunakannya untuk keramas, mandi, dan mencuci.
Masyarakat Timur Tengah sudah mengenal pembuatan sabun, padat maupun cair. Aleppo di Suriah dan Nablus di Palestina dikenal sebagai sentra pembuatan sabun ini. Sabun dari Aleppo mengkombinasikan minyak zaitun dengan aroma daun salam atau laurel. Para ksatria Perang Salib lalu membawa cara pembuatan sabun ini ke Eropa, khususnya ke kota Marseilles, Prancis.
1300-an
Sempat terhenti karena Abad Kegelapan di Eropa dan runtuhnya kekaisaran Romawi, pembuatan sabun dihidupkan lagi di Italia, Prancis, Spanyol, dan Inggris.
1600-an
Pada 1608, koloni-koloni Amerika memproduksi sabun komersial setelah kedatangan para pembuat sabun dari Inggris yang tiba di Jamestown, Virginia. Pada 1622, Raja James I memberi monopoli kepada seorang pembuat sabun dan mengenakan pajak sabun yang tinggi. Sabun pun jadi barang mewah.
Baca juga: Gubernur Jenderal Van Imhoff Melarang Mandi di Kali
1700-1800
1791, ahli kimia Prancis, Nicholas Leblanc, mematenkan proses untuk membuat abu soda, atau sodium karbonat, dengan kualitas yang baik dan murah.
1823, ahli kimia Prancis, Michel Eugene Chevreul, menemukan hubungan antara lemak, gliserin, dan asam lemak, yang menjadi dasar lemak dan kimia sabun modern.
1861, ahli kimia Belgia, Ernest Solvay, menggunakan garam biasa, atau natrium klorida, untuk membuat abu soda, yang bisa mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas dan kuantitas abu soda untuk pembuatan sabun.
1865, bentuk sabun cair dipatenkan William Sheppard dari Amerika Serikat.
1900-an
Industri sabun mengalami kesulitan ketika Perang Dunia I. Langkanya lemak hewani membuat produsen sabun beralih menggunakan minyak nabati, dari minyak kelapa, sebagai bahan pembuat sabun. Pascaperang, industri sabun kembali bangkit. Pengembangan dan pemasaran sabun tangan cair mulai pada 1970-an.*
Sumber: soaphistory.net/frenchsoaps.co.uk.