Masuk Daftar
My Getplus

Menghirup Aroma Camellia

Wangi Camelia mengundang selera untuk meminumnya.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 13 Okt 2011

ADA berbagai legenda seputar asal-usul teh. Salah satunya, dan paling terkenal, adalah kisah Kaisar Cina Shen Nung, yang juga seorang herbalis tersohor dan hidup pada 2737 SM. Kala dia duduk di bawah pohon dan merebus air minum, beberapa helai daun dari pohon tertiup dan masuk ke kuali. Aroma sedap menyebar. Shen Nung pun ingin meminumnya dan langsung menyukai rasa sepat dan pahitnya. Dia percaya minuman ini bisa menyegarkan tubuh dan menyembuhkan beberapa penyakit. Sejak itu Kaisar Shen Nung kerap meminum teh. Daun itu berasal dari pohon Camellia sinensis, dan minuman yang dihasilkannya kini kita sebut teh. 

Proses pengolahan daun teh pun berkembang. Pada masa Dinasti Tang (618-906 M), teh diproduksi dengan menumbuk daun teh dan menekannya ke dalam cetakan berbentuk bata lalu dikeringkan. Penerusnya, Dinasti Song (960-1279 M), mengembangkan teh bubuk dari daun teh hijau. Teh menjadi minuman kenikmatan maupun kesehatan. Minum teh menjadi gaya hidup mewah. Teh digunakan dalam berbagai upacara pengadilan kekaisaran, juga oleh bangsawan dan sastrawan. Pada masa Dinasti Song pula teh diperkenalkan ke Jepang. 

Mulanya, pada 1191, seorang biksu Buddha Zen bernama Eisai tiba dari belajar di China. Selain membawa bibit-bibit teh baru, dia juga memperkenalkan upacara minum teh. Upacara ini didasarkan pada ritual minum teh biksu Buddha Zen di Cina, yang percaya sifat teh sebagai stimulan yang membantu dalam meditasi. Perlahan-lahan minum teh menjadi populer di luar lingkaran agama, dan upacara minum teh dipandang sebagai ekspresi klasik kecanggihan sosial dan keanggunan. 

Advertising
Advertising

Pasca-Dinasti Song, tu status sosial teh melorot. Dinasti Yuan (1280-1368) –yang dianggap sebagai dinasti asing karena didirikan bangsa Mongol, bukan Han– tak setuju dengan budaya minum teh. “Tapi karena tradisi yang dibangun dari budaya Han dan kebutuhan menyeimbangkan makanan berat mereka yakni daging dan produk susu, Mongol akhirnya merangkul budaya teh dan menyederhanakannya menjadi elemen-elemen paling dasar,” tulis Ling Wang dalam Tea and Chinese Culture. 

Dinasti Yuan membuat teh menjadi minuman biasa dan tak pernah mendapatkan kembali status sosialnya yang tinggi. “Teh mewakili kebiasaan rakyat pada saat itu,” tulis Ling Wang.

Penggantinya, Dinasti Ming (1368-1644) menjadikan teh sebagai salah satu unsur kebangkitan China. Semua jenis teh –hijau, hitam, dan oolong– mudah ditemukan di China. Proses menyeduh daun teh utuh dalam cangkir atau teko menjadi populer.

Budaya teh lalu menyebar ke Eropa. Menurut Djoehana Setyamidjaja dalam Teh: Budidaya dan Pengolahan Pascapanen, kendati pada abad ke-6 orang-orang China telah memperdagangkan teh dengan Turki, tapi komoditas ini baru masuk Eropa awal abad ke-17. Pada 1610, pedagang-pedagang Belanda mengambil teh dari China bagian selatan. Teh segera menjadi minuman gaya hidup di kalangan Belanda, dan dari sana menyebar ke negara-negara lain di benua Eropa Barat. Karena harganya mahal, teh tetap menjadi minuman untuk orang kaya. Dengan pesat komoditas ini menjadi barang perdagangan penting.

Di Inggris, teh menjadi minuman elit setelah putri Raja Portugis King John IV, Catherine dari Braganza, menikah dengan Charles II. Segera setelah tiba di Portsmouth, Catherine minta secangkir teh, yang harganya mahal sehingga menjadi minuman gaya hidup di lingkungan istana dan bangsawan Portugis, tapi tidak tersedia. Sebagai gantinya, sang putri ditawari segelas bir, yang justru membuatnya sakit. Setelah menikah pada 21 Mei 1662, kendati mengadopsi mode Inggris, dia tetap memilih masakan dan minuman Portugis, termasuk teh. Seleranya minum teh segera menjadi trend di istana kerajaan Inggris dan menyebar ke kalangan bangsawan dan kelas kaya, lalu kelas menengah. Teh juga menjadi minuman populer di rumah-rumah kopi di London, tempat orang-orang kaya bertemu untuk urusan bisnis maupun berdiskusi. Meski kehidupan Catherine sebagai ratu Inggris tak bahagia, tapi inilah putri asing muda yang membuat bangsa Inggris harus berterima kasih. Berkat dialah teh menjadi minuman populer di Inggris sampai saat ini.

Nusantara mulai mengenal teh ketika Andreas Cleyer, seorang ahli botani dan dokter yang bekerja sebagai pegawai VOC asal Jerman, membawa biji teh dari Jepang pada 1684. Alih-alih dibudidayakan, biji teh itu “ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta,” tulis Djoehana.  

Dalam Nusantara, Bernard H.M. Vlekke menjelaskan bahwa teh merupakan tanaman eksperimen yang penting di Indonesia. Ekseperimen penanaman teh dilakukan pada 1826 dengan mengimpor benih teh dari Jepang untuk ditanam di Taman Botani Buitenzorg (Kebun Raya Bogor), dan setahun kemudian ditanam di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut. Selain itu, Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, ahli teh dari Perusahaan Dagang Belanda, belajar di China. Dilakukan pula impor benih dan pohon teh dari China yang membuka landasan bagi usaha perkebunan teh di Jawa. 

“Setelah enam tahun mempelajari pembudidayaan dan penyiapan teh di China, pada 1832 Jacobson kembali ke Jawa ditemani beberapa pekerja China yang ahli,” tulis Vlekke. 

Meski sudah mencobanya, penanaman teh di perkebunan ternyata terlalu sulit dan membutuhkan biaya besar. Keuntungan yang diharapkan pun tak kunjung datang. Pemerintah memutuskan menjual perkebunan teh kepada pihak swasta. Nyatanya, menurut Vlekke, para petanam swasta tak lebih berhasil daripada pemerintah, dan kultur teh tidak maju-maju sampai 1873 ketika pohon teh dari Assam dari Ceylon (Sri Lanka) diperkenalkan. Teh Assam tumbuh jauh lebih subur dalam iklim Indonesia daripada teh China, dan pelan-pelan semua kebun yang ditanami teh China ditebang dan digantikan dengan pohon teh Assam. Dan sejak itu pula perkebunan teh di Indonesia berkembang semakin luas. 

Perkembangan komoditas teh dunia mendorong inovasi pengemasan teh. Kantong teh pertama dibuat oleh Joseph Krieger di San Francisco pada 1920. Sumber lain menyebut penemunya Thomas Sullivan, pemilik kedai teh dan kopi di New York, dengan cara dijahit-tangan dari bahan kain muslin sutra dan dipatenkan pada 1903. Sebuah mesin segera diciptakan untuk menggantikan jahit tangan kantung teh. Sekalipun teh telah dikemas dalam kantung sehingga praktis disajikan tanpa harus membuang ampas teh, teh bubuk atau teh tubruk masih tetap disukai. Alasannya, terutama, aromanya lebih wangi ketimbang teh celup. Apapun, teh kemudian menjadi minuman yang merakyat.

Dalam perkembangannya, teh bukan hanya diminum dalam kondisi hangat atau panas tapi juga dingin. Es teh, seperti halnya teh, ditemukan tanpa sengaja. Es teh sering dikaitkan dengan pedagang dan pemilik perkebunan teh Inggris, Richard Blechynden, yang memperkenalkannya pada pameran makanan dan minuman di St. Louis World Fair 1904. Blechynden, sebenarnya menyajikan teh panas, namun karena musim panas di St. Louis begitu menyengat, teh panas tak diminati pengunjung. “Blechynden membuang es ke dalam tehnya untuk menciptakan minuman yang ‘memukul’ di pameran,” tulis Lyndon N. Irwin, 1904 St. Louis Worlds Fair. The Iced Tea Question. 

Teh juga tersedia dalam bentuk minuman ringan, di Indonesia disebut teh botol. Produk teh siap minum dalam kemasan botol beling atau disebut RGB (returnable glass bottle) untuk kali pertama diluncurkan di Indonesia dan di dunia sejak 1974. Lalu tersedia juga teh kotak, dalam kemasan karton. Umumnya tersedia di warung-warung dan toko. Sementara di rumah-rumah, orang lebih memilih teh celup atau teh bubuk. Belakangan orang mengenal blossom tea, teh berbentuk bola kecil yang segera mengembang dan mekar bak bunga yang cantik di dalam air panas. 

Siapa mau minum teh? Selain nikmat, juga menyehatkan.

TAG

minuman asal usul asalusul asalusul teh teh teh manis teh tawar teh hangat teh panas kuliner

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Dari Manggulai hingga Marandang Ranah Rantau Rumah Makan Padang Peristiwa PRRI Membuat Rumah Makan Padang Ada di Mana-mana Diaspora Resep Naga Wisata Kuliner di Tengah Perang Babak Awal Sejarah Sepeda Motor Pilih Cabai atau Lada? Aroma Pemberontakan di Balik Hidangan Pasta Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina