SEBAGIAN besar atapnya rubuh. Beberapa temboknya juga hilang. Tanaman rambat menutupi sebagian tembok yang masih berdiri. Rumput liar tumbuh tak terurus. Rumah kolonial itu lebih mirip rumah hantu. Namun, jendela-jendela kacanya yang besar menunjukkan rumah itu bukan milik orang biasa.
Kini, rumah di Cimanggis itu diperbincangkan karena akan dirobohkan untuk membangun Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Wakil Presiden Jusuf Kalla justru menilai tak ada yang perlu dibanggakan dengannya, karena rumah itu bekas hunian istri kedua gubernur jenderal VOC yang korup.
Ratu Farah Diba, ketua Depok Heritage Community, menyayangkan pernyataan ketua Yayasan UIII itu. “Jangan menilai tinggalan sejarah dari kehidupan pemiliknya. Namun, dari segi peninggalan bersejarahnya,” kata Farah kepada Historia, Selasa (16/2).
Hal senada disampaikan Achmad Sunjayadi, dosen Departemen Sejarah di Universitas Indonesia, jika hanya melihat prilaku korupsi pejabat Hindia Belanda di masa lalu, maka akan banyak bangunan kolonial di Jakarta yang hancur.
“Kalau kita lihat bangunan (kolonial, red) di Jakarta semuanya hasil korupsi juga. Tapi jangan itu yang ditekankan. Sejarah tidak hanya baik-baik saja, yang negatif juga harus diceritakan agar kita bisa belajar untuk tidak melakukan hal negatif itu, seperti korupsi,” kata Achmad kepada Historia.
Baca juga: Depok, Tanah Warisan Saudagar VOC
Dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta, sejarawan Adolf Heuken menulis Rumah Cimanggis atau Landhuis Tjimanggis dibangun oleh David J. Smith antara 1775-1778. Rumah itu kemudian ditempati oleh istri gubernur jenderal VOC ke-27, Van der Parra. Letaknya pada kilometer 34 arah Bogor sebelum masuk kawasan Cibinong. Rumah itu kini ada dalam kompleks RRI (Radio Republik Indonesia).
Farah mengatakan 40-50 persen bangunan itu rusak. Meski begitu, batas ruangannya masih terlihat. “Jadi, masih terlihat bentuk aslinya. Kerusakan terbesar pada atap,” ujarnya.
Menurutnya, bangunan itu rusak sejak ditinggalkan karyawan RRI yang pernah menempati rumah itu sejak sekira 2002-2003. Pada 2005-2009 bangunan masih terlihat utuh. Namun, sudah berantakan, karena penuh barang-barang yang tidak dibawa pindah karyawan RRI itu.
Farah bilang, pihak RRI tidak melakukan perawatan. Hingga akhirnya pada 2010 bagian atap mulai berjatuhan. “Bangunan mulai ditelantarkan sejak ditinggalkan pada 2003,” tegasnya.
Gubernur Jenderal Korup
Windoro Adi dalam Batavia, 1740: Menyisir Jejak Betawi menulis Petrus Albertus van der Parra lahir pada 29 September 1714 di Kolombo, Sri Lanka. Ini membuatnya menjadi orang Belanda yang tak merasakan langsung kehidupan Eropa.
Dia tak begitu saja menjajaki karier gemilang sebagai pejabat papan atas di Hindia Belanda. Anak sekretaris kantor gubernur Sri Lanka itu memulai kariernya pada usia 14 tahun sebagai soldaar van de penne atau serdadu pena. Dia melanjutkan kariernya sebagai tenaga pembukuan saudagar junior, penyalin naskah, dan tenaga pembukuan sekretariat umum di Batavia.
“Dia mengawali karier dari bawah sampai posisi pejabat di VOC,” kata Achmad.
Pada 15 Mei 1761, Dewan Hindia Belanda mengangkat Van der Parra sebagai gubernur jenderal menggantikan Jacob Mossel. Dia merayakan pengangkatannya dengan upacara besar-besaran. Hari kelahirannya pun dia tetapkan sebagai hari pesta nasional.
“Dia memang terkenal glamor hidupnya mengikuti pendahulunya. Periode sebelumnya, Mossel, juga sama merayakan pelantikan secara mewah. Ini diteruskan, seperti ada tradisi dari para gubernur jenderal itu. Track record-nya bisa dibilang sering korupsi karena memang banyak kesempatan,” jelas Achmad.
“Pola hidup semacam ini,” lanjut Achmad, “ikut mempengaruhi keuangan VOC, yang memang sudah masuk dalam periode 40 tahun menjelang organisasi itu bubar (1799).”
Sementara itu, dia hanya meneruskan kebijakan-kebijakan gubernur jenderal sebelumnya.
Tak sedikit yang membenci Van der Parra karena korupsi dan gaya hidup mewahnya. Upaya menjatuhkannya termasuk dengan pembuhuhan.
“Perintah raja kan absolut. Harus terwujud. Sepertinya ini membuat banyak orang tidak suka dengan Van der Parra. Ada upaya menjatuhkan dengan pembunuhan oleh pihak yang merasa dirugikan,” kata Achmad.
Baca juga: Simpanan Gubernur Jenderal Van der Parra?
Van der Parra meninggal karena sakit di rumahnya yang mewah pada 28 Desember 1775. Kini rumahnya menjadi RS Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Penyebab kematiannya masih misteri, apakah alamiah atau diracun.
Ketika menjabat, Van der Parra sempat memberikan bantuan berupa kitab Injil ke gereja di Batavia. “Entah untuk mensucikan perbuatan di masa lalunya atau bagaimana, entah juga uangnya dari mana,” seloroh Achmad.
Van der Parra menikah dua kali. Istri pertamanya, Elisabeth Patronella van Aerden lahir di Batavia. Mereka menikah di Kolombo pada 1733. Dia kembali menikah dengan Adriana Johanna Bake, keturunan gubernur Belanda untuk Ambon. Mereka menikah pada 1743, dua tahun setelah kematian istri pertamanya. Istri keduanya inilah yang menempati Landhuis Tjimanggis.
Achmad menuturkan, tak lepas dari gaya hidup orang-orang Belanda beruang lebih di Hindia Belanda, Van der Parr pun membeli rumah tinggal di luar Batavia. Dia menjadikan Landhuis Tjimanggis sebagai rumah peristirahatan.
“Van der Parra tinggalnya sebenarnya di Batavia. Sama seperti yang lain dia memilih wilayah yang lebih ke selatan. Wilayah itu masih hijau, masih bersih. Landhuis itu vila,” jelas Achmad.
Situs Penanda
Menurut Achmad Landhuis Tjimanggis bisa dijadikan situs penanda perkembangan permukiman kolonial di luar Batavia, khususnya pada periode abad 18. Belum lagi, rumah itu, pernah menjadi markas tentara Belanda pada masa Perang Kemerdekaan.
Farah menambahkan bahwa Johanna, istri Van der Parra, adalah pemilik Pasar Cimanggis. Dulunya, di pasar inilah orang-orang dari Batavia mengistirahatkan atau mengganti kudanya baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Bogor.
“Artinya pada saat itu sudah digunakan sebagai jalur rintisan sebelum Daendles membuat jalur pos yang dikenal dengan Jalan Raya Bogor, yaitu jalan dari Jakarta menuju Bogor,” jelas Farah.
Baca juga: Historiografis Pemilik Rumah Cimanggis
Meski sarat kisah, bangunan itu tak juga mendapat perdikat Bangunan Cagar Budaya (BCB). Padahal, sejak 2013 Depok Heritage Community bekerja sama dengan pemerintah kota telah membuat dokumentasi dan inventaris BCB di Depok. Untuk menjadi BCB tak harus menjadi aset pemerintah kota. UU No. 11 tahun 2010 mengatakan, BCB bisa menjadi milik perorangan, lembaga, atau perusahaan. Dengan status BCB setidaknya pemerintah bisa memberikan perlindungan dengan payung hukum.
“Saat ini saya sudah mendaftarkan Rumah Cimanggis secara online ke Regnas Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman agar segera ditetapkan sebagai cagar budaya,” ucap Farah.
Menyoal pembangunan di sekitar situs, Farah mengusulkan, pihak pembangun dapat melakukan proyek di luar area mengingat lahan RRI masih sangat luas. “Selamatkan bangunan oleh pihak pembangun, lakukan kajian dan revitalisasi bangunan kembali seperti aslinya lalu jadikan museum Kota Depok, sebagai museum pertama di Kota Depok,” kata Farah.