BAGI petualang seperti Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang kemudian menjadi pengusaha berjuluk “Raja Mobil Indonesia” dan sahabat Bung Karno, menjadi ajudan presiden atau birokrat di sekretariat wakil presiden sama-sama menyiksanya. Keduanya amat monoton dan membunuh dinamika kehidupannya.
Itulah yang dirasakan Hasjim di ibukota Yogyakarta pada awal 1946. “Aku sudah jemu di kota itu. Aktivitasku mandek. Dengan Ford Cabriolette-ku aku hanya mondar-mandir tanpa arti, selain mengantarkan pejabat negara sampai menteri yang mau bepergian ke luar kota,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Maka begitu KSAL Laksamana M. Nazir mengajaknya ikut menginspeksi pangkalan AL di Tegal dan Cirebon, Hasjim langsung mengiyakannya. “Setidak-tidaknya aku akan meninggalkan Kota Yogya yang menjemukan itu untuk beberapa hari,” sambungnya.
Menggunakan mobil pribadi Hasjim, mereka mengunjungi Tegal selama dua hari dan Cirebon juga dua hari. Darwis Djamin, panglima AL Tegal, ikut menemani ke Cirebon. Pada malam terakhir, Hasjim diajak Nazir berunding dengan Darwis. Hasjim diminta menyelundupan persenjataan, obat-obatan, spare part kendaraan, dan kain untuk kebutuhan AL di Tegal.
Baca juga: Saat Pengusaha-Pejuang Apes
Sejak Jakarta dinyatakan sebagai kota tertutup, AL Tegal kesulitan mendapatkan barang-barang itu. Kedua perwira AL itu sepakat melakukan penyelundupan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sebagaimana dilakukan pejuang lain di berbagai tempat untuk menyiasati blokade yang diterapkan Belanda.
Di AL, Laksamana John Lie merupakan nama penyelundup paling populer. Aksi John Lie bahkan sampai masuk Majalah Life. “John Lie disebut sebagai The Great Smuggler with the Bible,” tulis Julius Por dalam Laksamana Sudomo, Mengatasi Gelombang Kehidupan.
Kendati sempat ragu, Hasjim akhirnya menerima tugas itu. Banyaknya kenalan yang dimilikinya, besarnya akses ke petinggi republik, dan keinginannya meninggalkan Jogja menjadi alasan penerimaan tugas itu. Berbekal surat Muhammad Said, kepala bagian logistik markas AL Tegal, kepada seorang Cina di Perusahaan Lip Seng & Co di Glodok yang biasa memasok kebutuhan AL Tegal, Hasjim memulai petualangannya ke Jakarta dengan menumpang keretaapi isitmewa yang membawa rombongan PM Sjahrir.
Segera setelah tiba di Jakarta, Hasjim ke Glodok. Dari orang Cina itu Hasjim menerima setumpuk uang Jepang yang kemudian ditolak Hasjim karena AL Tegal lebih memerlukan uang NICA yang kala itu disebut Uang Merah. Uang itu berlaku di semua tempat yang diduduki Belanda. Namun karena tidak mudah menyediakan Uang Merah, Hasjim baru memperolehnya seminggu kemudian sejumlah f10 ribu alias jauh dari yang dibutuhkan pangkalan AL Tegal.
Baca juga: Si Penyelundup yang Humanis
Namun, petualangan paling menantang Hasjim sesungguhnya adalah ketika menyelundupkan senjata ke Tegal. “Mendapat barang-barang kebutuhan angkatan laut sebagaimana ia dipesankan tidak begitu sulit di Jakarta. Membawanya keluar dari Jakarta cukup sulit. Karena setiap jalan ke luar kota dijaga dengan berlapis-lapis. Penjagaan militer Inggris tidaklah masalah. Akan tetapi cegatan-cegatan serdadu NICA yang suka berpatroli sangat berbahaya,” kata Hasjim.
Hasjim pantang menyerah menghadapi rintangan. Dengan putar otak dan bantuan kenalan-kenalannya di berbagai tempat, Hasjim akhirnya sukses melakoni perannya. Mulai peluru, revolver, hingga granat menjadi suplai rutinnya ke Tegal. Terlebih ketika dia sudah diberi jalan oleh sahabatnya, pengusaha Agus Dasaad.
Namun, tetap saja Hasjim pernah gagal. Mayoritas disebabkan oleh ulah “orang-orang sendiri” yang tak amanah atau tak kuat godaan. Salah satu kegagalan itu terjadi saat Hasjim menitipkan beberapa ribu Uang Merah kepada seorang kawannya untuk diserahkan kepada Mayor Tumbelaka, petinggi AL di Jakarta. Uang itu ternyata tak sampai tujuan.
Lantaran tak ingin nama baiknya tercoreng, Hasjim langsung mencari kawan itu. Di Karawang, Hasjim hanya mendapat informasi kawan itu sudah dua hari berangkat ke Jogja. Lewat bantuan Syamsudin rekannya, Hasjim akhirnya menemui kawan itu di sebuah tempat di Jogja. Sambil marah-marah, Hasjim menanyakan kenapa uang itu tidak disampaikannya kepada Mayor Tumbelaka.
“Telah habis, Sjim. Ketika kami bersama-sama ke Solo dan Malang,” jawab kawan itu sambil ketakutan.
Baca juga: Hatta Bikin Pengusaha Hasjim Ning Pening
Hasjim pun makin naik pitam. “Bukan peluru dan granat yang aku suruh bawa padamu. Tapi uang. Kau hambur-hamburkan uang negara itu pada cabo-cabo. Dengan apa akan kau ganti? Atau aku yang harus mengganti uang yang kau foya-foyakan itu?”
Semua orang di ruangan pun terdiam ketakutan. Namun, kemarahan itu tak membuat Hasjim terlepas dari nahas. Kendati tak sedikit pun merasakan nikmat uang itu, dia tetap mesti bertanggung jawab mengganti uang negara yang ludes itu.
“Untuk mengganti uang itu, aku terpaksa melepaskan sedan Vauxhall-ku pada Mayor Tumbelaka.”