DALAM sekejap, air muka Kolonel (Tek,) Susanto yang datar berubah tegang. Tak lama kemudian, membuncahkan gelak tawa. Begitu seterusnya kala sosok personil staf Dinas Aeronautika TNI AU itu mengenang masa tugas dadakan dalam tiga hari pertama Peristiwa Mei 1998 (13-15 Mei 1998).
Tanpa mengurangi rasa hormat pada para korban sipil maupun aparat di periode mencekam itu, ia mengisahkan banyak kenangan yang membuatnya merinding bak beberapa adegan film sungguhan, lucu, dan bahkan bikin geleng-geleng kepala saking nyelenehnya. Ketika itu Susanto masih berpangkat letnan satu (lettu) teknik di Skadron 8 TNI AU yang berbasis di Pangkalan Udara Atang Sendjaja (Lanud ATS).
“Dulu kita itu, begini ya, saat ramai dolar melejit (krisis ekonomi) terus ada ancaman mahasiswa yang mau demo segala macam, kita lagi ngumpul di ruang biliar. Biasa, lagi waktu rehat. Terus salah satu kawan menyetel TV, lihat ada pom bensin dibakar. ‘Eh, Jakarta ramai,’ katanya. Itu kira-kira sebelum sore, kita belum apel siang kok,” ujarnya kepada Historia.
Baca juga: Selayang Pandang Lanud Atang Sendjaja
Baru ketika apel siang sekira pukul tiga, 12 Mei 1998, para personil Lanud ATS mendapat briefing untuk siaga. Sejumlah truk disiapkan dan masing-masing personil di-stand by-kan. Malam itu mereka dilarang keluar Bogor dan sekitarnya untuk menunggu perintah dari rantai komando.
“Yang bukan orang pesawat pakai (seragam) loreng, yang orang pesawat pakai coverall, kecuali saya. (Mulanya) saya enggak masuk daftar stand by, ya cuek saja, tidur di mess,” sambungnya.
Namun belum lama rehat di mess, Susanto dikontak atasannya agar ke markas skadron. Perintahnya untuk bantu memeriksa dan menyiapkan lima alutsista skadron: tiga unit helikopter angkut SA-330 Puma dan dua heli S-58 T Twin Pac.
“Dijejerin, diperiksa dulu, terus didaftar yang mau megang senjata siapa saja, bikin surat izin memegang senjata sementara. Paginya disuruh berangkat lagi ke skadron. Di situlah (heli) mulai berterbangan. Jadi itu surat perintah terbang pun dibikin malam itu juga. Besoknya langsung ke (Lanud) Halim Perdanakusuma,” lanjut Susanto.
Baca juga: Akhir Tragis Heli Legendaris
Hari itu Jakarta sudah rusuh. Menurut Femi Adi Soempeno dalam Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana, kekacauan bermula dari insiden penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei.
“Panglima Komando Operasi (Pangkoops) langsung memerintahkan keadaan siaga satu ke seluruh jajaran keamanan. Perubahan keadaan dari siaga tiga menjadi siaga dua lalu ke siaga satu diterima pukul 21.25 WIB. Kekuatan pengamanan terdiri atas 17 ribu anggota Polri dan 10.464 pasukan pendamping yang terdiri atas 5.764 pasukan lain-lain (17 unsur) serta 4.600 pasukan Kodam Jaya,” tulis Femi.
Pada 13 Mei 1998, kepolisian sudah kewalahan menangani amuk massa di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Lantas, lanjut Femi, sesuai prosedur SK 658 Pangab, Pangkoops Mantap Jaya III Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin mengambil alih kemudi pengamanan. Ia lantas meminta bantuan dari para panglima komando utama di Jakarta dan luar Jakarta.
“Kita sendiri (perintah) terbang dari danlanud (ATS) tapi sebetulnya meneruskan dari Pangkoops. Dari Pangkoops, bahwa situasi Jakarta begini, lalu danlanud yang kasih perintah,” sambung Susanto.
Lambaian Tangan dan Lemparan Batu
Di Lanud Halim, lima heli TNI AU itu bergabung dengan masing-masing dua heli Bell milik TNI AD dan TNI AL. Kesembilan heli gabungan itu pun dihimpun untuk menerima perintah battle taxi atau transpor pasukan pengamanan. Susanto berada dalam salah satu heli Puma sebagai JMU (Juru Montir Udara).
Seingat Susanto, ketika itu satu heli diawaki kru 4+1. Selain pilot, kopilot, dan dua JMU, operasinya turut didampingi satu perwira rendah dari Kopassus sebagai jumping master (pemberi aba-aba terjun).
“Waktu hari pertama malah kacau. Kita enggak tahu mau ke mananya, pokoknya terbang dulu. Sebelumnya memang di-briefing, areanya ini, ini, ini, lalu ketika sudah di udara baru dikasih tahu, pokoknya ke sana, ke sana. Kita ambil pasukan (Kopassus) di Cijantung, nanti di-drop di mana. Habis itu ada perintah lagi, kita mengambil pasukan (Marinir) di Cilandak. Hari pertama sudah target of opportunity. Kita ambil baret merah sama ungu. Paskhas (TNI AU) enggak di-drop karena jumlahnya cuma satu batalyon dan sudah untuk meng-cover Halim,” kata Susanto.
Baca juga: Cerita di Balik Helikopter NBO-105
Di antara beberapa kali sortie di hari pertama itu, Susanto dan ketiga sejawatnya mengalami satu momen yang hingga kini takkan pernah ia alami lagi. Kala itu, helinya sedang mengangkut belasan prajurit Marinir lengkap dengan tameng anti huru-hara menuju suatu tempat di dalam ibukota.
“Kita enggak tahu nama wilayahnya. Kan hanya diberi petunjuk koordinat saja. Kita habis ambil Marinir di Cilandak. Di Puma bisa muat 15-16 orang kalau rapi. Sebenarnya kalau asal masuk bisa sampai 20. Ketika mau mendarat, saya sudah sempat buka pintu. Karena panas kan di dalam. Saya buka, ‘jreek.’ Begitu terbuka, saya tutup lagi, ‘jreeek.’ Hahahaha…” kenangnya.
Rupanya ketika helinya hendak mendarat, sejumlah massa yang tengah berada di atas gedung dan di bawah sudah siap “menyambut” dengan segala macam benda. Susanto spontan menutup lagi pintunya demi mencegah benda-benda itu melayang ke dalam heli yang bisa melukai pasukan Marinir yang dibawanya.
“Saya sempat takut sebenarnya. Tapi pas saya duduk di floor, saya lihat dari jendela. Saya coba ‘haaaai’ (melambaikan tangan) sambil ketawa-ketawa gini. Kok ya ndilalah untungnya itu berpengaruh gitu. Yang (massa) di sana ngebalas, ‘haaai!’ Sudah kayak artis. Lagian kapan lagi saya ngartis, hahahaha…” ujarnya tertawa geli.
Baca juga: Heli TNI AU Juara di Udara
Baru ketika roda pendarat sudah menyentuh tanah, Susanto mendengar perintah dari radio di kokpit depan untuk membuka pintu.
“Saya masih sambil melambaikan tangan gitu ke arah massa saat (heli) makin turun, makin turun. Begitu helinya mendarat, ‘jreeeek…’ buka pintu lagi, Marinir turun. Makan nih Marinir. Makan nih! Habis itu kita take off lagi,” lanjut Susanto.
Dalam salah satu sortie lain yang juga di wilayah yang tak ia ketahui persis, lemparan batu membuahkan kerusakan kecil pada badan helinya. Suasana saat itu juga masih kacau. Amuk massa mengharuskan sembilan heli melakoni battle taxi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
“Makanya sempat ada kejadian juga kan itu hari pertama, dua Marinir meninggal yang jatuh dari heli lain. Dia di-drop pakai tali. Turunnya fast rope, bukan rappelling. Kejadiannya mirip film Black Hawk Down (2001). Helinya enggak stabil kena angin, lalu keangkat kencang, pasukan yang sudah di tengah jalan (menuruni tali) kaget. Jatuh menimpa pembatas jalan di Kuningan itu,” Susanto mengingat kejadian getir itu.
Baca juga: Ngeri-Ngeri Sedap Misi Heli di Long Bawang
Heli yang diawaki Susanto sedikit lebih beruntung. Kerugian hanya berupa lubang di badan heli. Pasukan tetap bisa didaratkan.
“Mulanya kita enggak tahu pasti. Kita udah melihat orangnya (massa) dari jauh. Tapi kan keadaannya, heli pertama turun, nge-drop, langsung berangkat. Yang lainnya juga mendekat dan turun, nge-drop, berangkat. Pas heli kita udah dekat (untuk mendarat), tiba-tiba, ‘duk.’ Saya kaget dan tanya serda Kopassusnya, ‘apa tuh?’ Kata serdanya, ‘perisai pasukan, Bang.’ Kita langsung berangkat lagi,” tambahnya.
Susanto dan ketiga sejawatnya baru menyadari lubang di bagian belakang pesawatnya saat di Lanud ATS pada malamnya. Adapun barang buktinya berupa sebongkah batu seukuran kepalan tangan, di kemudian hari baru ia temukan usai tiga hari tugasnya.
“Setelah kejadian kerusuhan itu kan pemeliharaan 25 jam. Ada satu filter bahan bakar yang harus dilepas. Kalau ngelepas itu, kita harus buka cover belakang itu. Pas dibuka, eh batunya ketemu,” sambung Susanto.
Baca juga: Saat Heli Trengginas Diganti Heli Bekas
Seiring banharlap (bantuan pemeliharaan lapangan) level ringan oleh para personil Skadron Teknik 024, Susanto dan ketiga koleganya mulai paham mengapa helinya bisa berlubang. Padahal jika terkena lemparan biasa, mestinya sekadar penyok. Nyatanya batu itu lebih dulu terkena baling-baling utama dan terpental kencang melubangi heli. Terbukti dari salah satu bilah baling-baling utama yang lecet.
“Kalau yang ngelempar itu sih kita enggak tahu. Kan banyak itu massanya. Cuma kita ngeliat, kok yang ngelempar itu bukan orang tampang-tampang penjahat gitu lho. Tampangnya kok ganteng-ganteng, berdirinya (tegap) begini. Lucu kan?” katanya tanpa mau memperpanjang cerita soal yang satu ini.
Berangkat masih gelap, pulang ke Lanud ATS pun sudah gelap. Begitulah tiga harinya di awal Peristiwa Mei 1998. Di hari pertama saja, banyak kesan yang diterima Susanto.
“Itu hari pertama pulang itu kan capek sekali ya. Menggeletakkan badan saja di floor karena heli enggak dikasih kursi. Sambil nggeletak ngeliat jendela, wah sampai sekarang masih merinding. Dari luar jendela kelihatan ada Puma sama Twin Pac lain, kita formasi pulang, matahari sudah terbenam, terus ada asap di Jakarta. Berasa kayak habis ngebom Berlin gitu lho,” paparnya.
Baca juga: Rencana Indonesia Menjual Helikopter ke Iran
Hal mengerankannya terjadi di hari kedua, yakni dalam sabuah sortie menjemput pasukan ke Cijantung untuk diangkut ke Balaraja, Tangerang. Wilayah Tangerang sejak hari pertama jadi salah satu wilayah paling parah terdampak kerusuhan dan penjarahan massa.
“Sebagian wilayah Tangerang yang berbatasan dengan Jakarta sudah dilanda kerusuhan sejak Rabu (13/5) malam. Kerusuhan terus berlanjut dan kemarin sekitar pukul 09.00 WIB Kota Tangerang sudah rusuh. Puluhan pusat perbelanjaan, pasasr, toko, ATM, dan bank dirusak dan dijarah isinya. Tiga pasar swalayan, enam unit mobil, satu hotel, serta sejumlah bangunan lainnya dibakar massa. Kerusuhan juga terjadi di wilayah Kabupaten Tangerang,” tulis harian Kompas, 15 Mei 1998.
Sebelum menuju Balaraja dari Lanud Halim, mereka menjemput barisan Kopassus untuk misi dropping. Susanto heran lantaran pasukan yang bakal diangkut ternyata belum tiba di waktu yang ditentukan. Padahal lapangan tempat mereka mendarat hanya muat dua heli, sementara tujuh heli lain terus terbang memutar menunggu giliran mendarat.
“Bang, pasukannya itu ada apa enggak?” tanya Susanto pada seorang Kopassus senior.
“Ada, Dek. Tunggu sebentar! Mereka masih di truk,” jawab sang Kopassus.
“Truknya di mana, Bang? Masih di jalan?” lanjut Susanto.
Baca juga: Naik Heli Cukup Bayar Pakai Kambing
Ketika truk-truk berisi pasukan itu tiba di lapangan, Susanto garuk-garuk kepala. Tak seperti di hari pertama, pasukan Kopassus yang datang di hari kedua berbeda sama sekali dari pasukan hari pertama.
“Saya bilang ke Pak Bintari (kru senior), ‘Waduh, Pakde, itu Kopassus? Kok saya enggak yakin ya.’ Mereka pake topi olahraga itu. Ternyata siswa komando, bukan pasukan dari batalyon mana, bukan. Pegang perisainya pun diseret. Pas masuk pada bilang ‘permisi.’ Saya perhatikan mukanya memang masih muda-muda, antara serda atau prada, enggak ada yang (pangkat) balok lebih dari satu,” kenangnya.
Toh Susanto beserta krunya tetap mengantar mereka ke Balaraja. Tujuannya untuk pengamanan di sekitar pusat perbelanjaan Walmart. Pasukan “Kopassus” itu di-drop di lapangan golf tak jauh dari Walmart.
Baca juga: Flypass Nekat Montir Pesawat Rayakan HUT RI
“Sebelumnya kita nge-drop Marinir dan Kopassus itu kan ketika turun tamengnya langsung di depan, berdiri sambil maju bawa pentungan, sementara bedilnya di belakang. Ini enggak. Begitu turun, mereka pada lari ke bawah pohon, tamengnya dijadikan alas untuk tiarap. Saya yang heran, teriak: ‘Woy! Kamu mau perang?’”
Seorang sersan Kopassus yang mendampingi lantas memberi instruksi pada mereka untuk bangun. Susanto tak mendengar jelas bagaimana tegurannya karena bising mesin Puma.
“Saya perhatikan, bagaimana gitu ya. Enggak bawa bekal makan lho mereka. Sampai sekarang kadang masih mikir, yang kasih makan siapa karena turun cuman pakai drahrim, isinya paling tempat minum. Ya tetapi itulah tiga hari yang berkesan. Hari pertama memang chaos, hari kedua sudah mulai teratur, hari ketiga lebih teratur lagi dropping-nya,” tandas Susanto.