Rencana Indonesia Menjual Helikopter ke Iran
B.J. Habibie akan menjual helikopter ke Iran. Benny Moerdani menggagalkannya.
Dalam rapat intelijen, Letjen TNI L.B. Moerdani, Asintel Hankam/Kepala Pusintelstrat/Asintel Kopkamtib/Waka Bakin, menyampaikan bahwa Menristek/Ketua BPPT B.J. Habibie melaporkan dalam rapat kabinet akan menjual helikopter Super Puma kepada Iran.
Rencana penjualan helikopter Super Puma itu bagian dari kerja sama perdagangan Indonesia-Iran yang ditandatangani pada 1987 dalam bentuk imbal beli (counter trade). Sesuai dengan persetujuan, Indonesia akan membeli minyak mentah dari Iran sebanyak 30.000 barel per hari. Sebaliknya, Iran mengimpor barang dari Indonesia dalam nilai yang sama. Namun, pembelian dari pihak Iran kurang lancar sehingga neraca perdagangan Indonesia selalu defisit.
Menurut Habibie, Indonesia selama ini mengimpor minyak mentah dari Iran dengan nilai sekitar 100–150 juta dolar Amerika Serikat per tahun. Sementara Iran biasanya membeli barang-barang dari Indonesia, seperti jeans, tekstil, plywood, kopi, dan sepatu. Namun, pasar Iran menjadi jenuh.
“Iran masih harus membelanjakan sekitar 200 juta dolar Amerika Serikat untuk barang Indonesia agar neraca perdagangan kedua negara bisa berimbang. Sebagai pilihan lain, Iran tertarik membeli pesawat helikopter dari Indonesia. Ini nilainya jauh lebih tinggi dibanding plywood dan tekstil,” kata Habibie, dikutip Antara, 21 November 1993.
Dalam kesempatan memimpin delegasi Iran ke Indonesia pada pertemuan Komisi Bersama Ekonomi Indonesia-Iran kedua (1-3 November 1993), Mohammad Gharazi, menteri pos, telegraf, dan telepon, menyampaikan bahwa Iran ingin membelanjakan sekitar 80 juta dolar Amerika Serikat untuk membeli helikopter dari Indonesia.
Sebenarnya, Iran ingin membeli helikopter buatan IPTN sejak awal dasawarsa 1980-an. “Delegasi dari Iran datang ke Indonesia awal 1980 untuk melihat barang yang mungkin bisa dibeli dan mereka tertarik pada helikopter Super Puma buatan IPTN,” kata Habibie.
Saat itu tengah berkecamuk perang Iran-Irak (September 1980–Agustus 1988). Pada masa ini, menurut M. Riza Sihbudi dan Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek, hubungan Indonesia-Iran berada pada fase pertama (1979-1988) pasca revolusi Iran. Dalam konflik Iran-Irak, Indonesia bersikap netral, berusaha menjaga jarak dengan Iran maupun Irak.
Oleh karena itu, rencana penjualan helikopter Super Puma mengundang intelijen untuk menelusurinya.
“Kami orang intel ingin tahu apakah Iran hanya akan membeli helikopter kosong atau dengan senjata? Kalau dengan senjata, apa senjatanya?” kata Teddy Rusdy kepada pengamat militer, Salim Haji Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Saat itu, Kolonel Teddy Rusdy membantu Benny Moerdani sebagai Paban (Perwira Diperbantukan) VIII Staf Intel Hankam.
Baca juga: Saat Heli Trengginas Diganti Heli Bekas
Dari kajian tentang jual beli senjata dalam perang Iran-Irak, rapat intelijen yang dipimpin Benny Moerdani dan dihadiri Teddy Rusdy menyimpulkan ada sesuatu yang disembunyikan di balik rencana penjualan helikopter Super Puma itu.
“Akhirnya, Pak Benny dapat menyingkap bahwa ‘secara tertutup’ helikopter Super Puma akan dipersenjatai dengan peluru kendali Exocet buatan Euromissile negara Prancis dan Jerman,” tulis Servas Pandur dalam biografi Teddy Rusdy, Think A Head.
Benny kemudian menugasan Teddy Rusdy segera terbang ke Prancis untuk memastikan apakah pemerintah Prancis mengizinkan Indonesia menjual Exocet ke Iran. Dari Jakarta, Teddy naik pesawat Garuda menuju Singapura. Dari Singapura, dia naik pesawat supersonik Concorde menuju Paris. Sebelum berangkat, dia menelepon rekannya dari Euromissile untuk membuat janji pertemuan.
Esok harinya, tepat jam 11.00 pagi waktu Paris, di hotel tempatnya menginap, Teddy bertemu pejabat dari Euromissile. Setelah berbasa-basi, dia menanyakan apakah Menristek/Kepala BPPT B.J. Habibie mendapat persetujuan menjual Exocet kepada Iran?
Pejabat Euromissile itu menjawab dengan tegas: “Tidak!” Dia juga menambahkan kalau Habibie melakukannya, akan di-blacklist dan dituntut oleh negara anggota NATO.
“Mereka terkejut dan mengancam mengembargo Indonesia jika senjata itu dijual ke negara ketiga,” kata Teddy.
Baca juga: Saat Pesawat Sipil Dihantam Misil
Sesampainya di Jakarta, Teddy melaporkannnya kepada Benny bahwa Euromissile tidak tahu dan tidak setuju penjualan Super Puma dilengkapi Exocet kepada Iran. Benny kemudian melaporkannya kepada Presiden Soeharto.
“Mendengar laporan intelijen itu, Presiden Soeharto tersenyum, mengangguk-anggukan kepalanya perlahan tapi pasti, sampai hilang senyumnya,” tulis Servas Pandur.
“Akhirnya, rencana penjualan senjata itu berhenti di tengah jalan setelah Benny dan saya melapor ke Pak Harto,” kata Teddy.
Salim Haji Said mengkonfirmasi kepada Habibie pada 9 Januari 2012. Habibie membantah akan menjual helikopter Super Puma dengan senjata Exocet kepada Iran.
“Saya ini seorang profesional dan tahu mengenai apa arti embargo. Bagaimana mungkin saya akan menjual helikopter kepada Iran yang waktu itu perang dengan Irak dan sedang diembargo oleh Barat. Saya sampaikan rencana penjualan helikopter di sidang kabinet? Never. Silakan periksa semua laporan sidang kabinet di Setneg,” kata Habibie.
Baca juga: Kekecewaan Soeharto pada Habibie
Selanjutnya, Habibie mengakui, “Saya memang pernah diundang ke Iran waktu itu. Tapi, saya tolak. Saya tidak mungkin kerja sama dengan mereka. Saya tidak mau melanggar embargo. Bisa saja ada orang lain yang menggunakan nama Habibie. Lagi pula kita di Bandung tidak membikin Exocet. Dari mana ceritanya saya mau ekspor Exocet?”
Dalam laporan majalah Angkasa disebut bahwa IPTN pernah memodifikasi satu unit AS332F Super Puma milik TNI AL dengan dummy rudal AM39 Exocet yang dipasang di kiri dan kanan. Namun, proyek coba-coba ini tak pernah lagi terdengar kelanjutannya. Pupus bersama krisis moneter yang menghantam pada 1997-1998.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar