Masuk Daftar
My Getplus

Ranjau di Setiap Suapan

Siasat dan humor menjadi cara para tapol menjaga kewarasan menghadapi jatah makan yang buruk di dalam kamp.

Oleh: Nur Janti | 07 Agt 2019
Ilustrasi memasak di Kamp 1965. Sumber: Koleksi Iman Brotoseno.

UNTUK menyiasati menu yang buruk dan jumlah makanan yang sedikit, para tahanan politik (tapol) pria di kamp Benteng Vredeburg diam-diam memasak sendiri di dalam sel. Caranya, mereka mengumpulan batu bata yang terserak di sekitar untuk dijadikan kompor. Bahan bakarnya mereka buat dari kayu kolom-kolom atap bangunan.

Dengan cara itu, perut mereka lebih terjaga dari lapar. Cara itu pula yang mereka gunakan ketika kamp tempat penahanan mereka dipindah ke Penjara Wirogunan. Para tapol pria di Blok L selalu mengumpulkan kayu pada siang hari. 

Mereka tak lupa terhadap rekan tapol dari kalangan perempuan yang ada di Blok F, letaknya saling membelakangi dengan Blok L. Kayu bakar yang mereka dapat mereka bagi dengan tapol perempuan di Blok F. Jika Blok F kehabisan kayu, mereka akan memberi kode ke Blok L.

Advertising
Advertising

Baca juga: Makanan para Tahanan

Antara Blok F dan L dibatasi pagar sehingga untuk mengirim kayu harus dilempar tinggi-tinggi. Pernah lemparan kayu jatuh tepat ketika para tapol perempuan sedang mementaskan ketoprak Rara Mendut di halaman kamar nomor 4. Bu Santo, salah satu tapol yang sedang menonton, hampir terkena lemparan itu. “Aku hampir dibutakan,” omelnya.

Kalau kayu habis dan tak ada kiriman dari Blok L, tapol perempuan akan memberitahu penjaga bernama Darsinah yang cukup baik dan pengertian. Namun, hal itu hanya dilakukan ketika komandan kamp sedang tidak ada di tempat.

“Bu, kayu bakarnya habis.”

“Ya sudah sana ambil, saya membelakangi kalian dulu,” kata Darsinah sambil memutar kursinya. Sejurus kemudian, Sumilah (sebelum jadi tapol merupakan mahasiswa) dan beberapa gadis muda yang masih lincah lari ke tumpukan kayu yang ada di dekat pintu Blok F.

Baca juga: "You Muslim, I Muslim: Teretet No!"

Kebiasaan memasak ini jadi rahasia umum di dalam tahanan. Namun, operasi kayu bakar acap dilakukan sebagai formalitas. Para tahanan tak ambil pusing, toh bisa cari lagi. Mereka cuma menganggapnya sebagai dagelan dan jadi bahan tertawaan.  

Upaya memasak sendiri itu baru terjadi setelah para tapol pria mengusulkan agar mereka diizinkan memasak. Usul itu keluar akibat buruknya menu makan di Kamp Wirogunan.

Sebelumnya, tugas masak di Kamp Wirogunan dijalankan oleh para narapidana lelaki. Dasar para napi, mereka memasak dengan asal-asalan hingga makanan selalu berbonus “kejutan” dan “tambahan protein”.

Suatu ketika, sayur kubis yang dibagikan tercampur sobekan sarung. Sobekan itu agaknya dipakai untuk menambal tong yang bocor. “Ranjau” lain yang pernah menyusup ke makanan yakni puntung rokok dan potongan sandal jepit. Para tapol tak ambil pusing. Mereka memilih menertawakannya, menganggap ranjau itu sebagai cakar ayam dan krecek. Lain waktu, bonus makanan berupa tambahan protein dari daging ulat dan lintah dalam campuran sayur kangkung.

Baca juga: Pesona Nasi Goreng

“Kami menganggapnya sebagai lelucon saja agar tidak merasa nelangsa,” kata Mia Bustam dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp.

TAG

tapol

ARTIKEL TERKAIT

Nasib Mereka yang Terbuang di Theresienstadt dan Boven Digoel Jenderal Pranoto, Ketua RT Para Tapol Kesaksian Tiga Eks Tapol 1965 Carmel Budiardjo, dari Praha ke Gulag Indonesia Pidato Kebudayaan Karlina Supelli: Menuturkan Kisah Korban 1965-66 Lewat Sastra Para Tapol dan Anjingnya Mabuk Pisang Kiriman Hari Raya Qurban di Kamp Plantungan Kesedihan di Hari Lebaran Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane